Mimbar Jumat

Jalan Raya, Ego dan Kesempurnaan Iman

Tidak ada batasan dalam mencintai & menyayangi. Jangankan sesama manusia, terhadap hewan dan tetumbuhan-pun seorang muslim harus bersikap kasih sayang

Editor: Bejoroy
SRIPOKU.COM/Istimewa
John Supriyanto Dosen Ilmu Alquran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Raden Fatah Palembang dan Sekolah Tinggi Ilmu Alquran (STIQ) Lathifyyah Palembang. 

Oleh : John Supriyanto
Dosen Ilmu Alquran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Raden Fatah Palembang dan Sekolah Tinggi Ilmu Alquran (STIQ) Lathifyyah Palembang.

SRIPOKU.COM -- DI ANTARA problem sosial yang kerapkali terjadi di kota-kota besar khususnya adalah kemacetan. Kemacetan dalam hal ini dipahami sebagai suatu keadaan terhentinya atau tidak berjalannya proses transportasi sebagaimana mestinya. Kata ‘macet’ sangat lumrah dan seringkali dijadikan alibi untuk menjelaskan kata ‘keterlambatan’.

Ketika kemacetan sudah dianggap hal yang biasa, maka oleh sebagian orang tidak lagi dipandang sebagai masalah. Padahal sesungguhnya kemacetan adalah sebuah masalah dan sekaligus sumber masalah yang membutuhkan solusi. Tidak sedikit kerugian yang diakibatkan oleh kemacetan. Bukan hanya pada aspek ekonomi, tapi juga sosial, politik, keamanan, bahkan juga nilai-nilai etika dan keagamaan.

Banyak faktor yang menjadi sebab terjadinya kemacetan. Pemerintah juga telah banyak melakukan kajian untuk mencari solusi dalam mengatasinya. Berbagai kebijakan-pun telah diambil dan diterapkan dalam sistem transportasi tanah air. Namun hingga saat ini macet masih menjadi persoalan yang belum dapat diatasi secara permanen.

Salah-satu faktor penyembab kemacetan adalah aspek mental masyarakat pengendara itu sendiri. Mengapa demikian?. Karena egoisme seseorang antara lain akan tampak pada saat ia mengendara. Selain itu, jalanan juga punya karakter hukum sendiri. Di setiap lampu merah atau titik-titik kemacetan, biasanya setiap pengendara berpikir bagaimana ia dapat melajukan kendaraannya dengan lancar, cepat dan segera sampai pada tujuannya. Karenanya, serobot kanan serobot kiri adalah pemandangan yang biasa, terlebih di kota-kota yang tinggi tingkat kemacetannya. Siapa pandai menggunakan trik, -meskipun mungkin terkadang harus curang-, maka ia yang akan melaju terlebih dahulu.

Jangan lupa subscribe, like dan share channel Youtube Sripokutv di bawah ini:

Di jalan raya tidak berlaku hukum santun seperti yang berlaku di tempat-tempat lain. Misalnya, yang muda mendahulukan yang lebih tua atau seorang murid lebih mendahulukan gurunya. Dengan kaca dan atau helm yang tertutup, jalan raya tidak mengenal atasan bawahan, senior junior dan lain sebagainya.

Jalan raya juga tidak mempedulikan siapa pengendara dan atau siapa penumpang. Pun tidak mengenal identitas atau status apapun tentang siapa anda. Siapapun atau apapun identitas anda, hukum jalan raya hanya mengenal anda sebagai pengendara dan memiliki kedudukan yang sama sebagai pengguna jalan. Karenanya, di jalan raya seringkali terjadi ‘benturan’ antara satu hak dengan hak yang lainnya. Masing-masing ingin mengambil haknya tanpa mempedulikan hak orang lain.

Karakter seseorang biasanya terlihat jelas pada saat mengendara. Apakah ia seorang penyabar, pemarah, toleran, solider atau egois. Namun biasanya, karakter-karakter negatif akan muncul lebih dominan, baik disadari atau tidak.
Coba perhatikan, misalnya ketika ada motor yang berhenti di depan dan menghalangi kendaraan di belakangnya, padahal bukan tempat dan saatnya berhenti. Ia merasa bahwa haknya untuk melaju menjadi terhalang. Apa yang terjadi?. Ia akan marah, kesal bahkan menggerutu, lalu menampakkan kekesalan itu dengan menekan klakson panjang sekerasnya, kemudian menerobos kanan atau kiri. Padahal, ketika ia menerobos kanan atau kiri, sebenarnya ia juga telah menghalangi pengendara lain di sampingnya untuk melaju.

Di sisi lain, apa yang terjadi dengan pengendara motor tersebut? Ternyata ia-pun marah, kesal dan menggerutu. Bukankah adalah haknya untuk berhenti, karena motornya mogok dan sebenarnya ia-pun tidak menginginkannya. “Mengapa harus membunyikan klakson sekeras itu, kalau mau jalan, ya jalan saja”. Dua posisi berbeda dengan respon dan sikap yang sama.

Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Instagram Sriwijayapost di bawah ini:

Logo instagram.com/sriwijayapost/

Terkadang seseorang hanya mengukur kebenaran menurut kacamata sendiri tanpa mempertimbangkan perspektif orang lain. Begitulah egoisme di jalan raya. Parahnya lagi, tidak jarang terjadi, yang dinyalakan adalah lampu sein kiri, tapi ternyata ia belok ke kanan. Meski begitu, ia tetap berusaha membela diri dan bahkan masih sempat menyalahkan orang lain.

Ada beberapa prinsip dasar agama yang sangat bijak dipedomani ketika mengendara. Tujuannya, agar kita terbebas dari sifat buruk “keakuan” atau egoisme tersebut. Pertama, Al Qur’an mengingatkan bahwa menyakiti orang lain adalah dosa besar (Qs. al-Ahzab: 58). Karena itu, berpikirlah berulang kali sebelum malakukannya.

Setiap perlakuan akan membawa konsekuensi hukum di hadapan Tuhan. Menyakiti orang lain -sekecil apapun- berarti menabung kezhaliman untuk diri sendiri. Kata Nabi Saw. “az-zhulm zhulumat yaum al-qiyamah”, kezhaliman (di dunia) adalah (penyebab) kegelapan dan kesusahan di akhirat.

Kedua, agama mengajarkan sikap “at-tafassuh”, yakni bergeser posisi demi memberikan rasa nyaman untuk orang lain (al-Mujadilah : 11). Artinya, lapangkanlah tempat orang lain agar ia merasa senang, tenang dan nyaman. Bukan justru didesak dan disempitkan tempatnya hingga ia tersakiti.

Sumber: Sriwijaya Post
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved