Mimbar Jumat
Pesantren: Bullying dan Asusila?
Menurut Abdul Fattah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam adalah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. (Tafsir, 2005).
Selanjutnya pada tahun 1989 pemerintah memberlakukan UU No. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan, diantaranya pendidikan keagamaan. Pendidikan Keagamaan dalam Undang-Undang ini dikategorikan ke dalam jalur pendidikan sekolah. Waktu terus berjalan, ketika globalisasi telah menjadi realitas yang harus dihadapi umat manusia, termasuk pesantren dan masyarakat Indonesia, dimana kondisi ini dicirikan dengan adanya pemberian ruang bebas dan keterbukaan terhadap perdagangan dan kawasan pertumbuhan yang bebas dari birokrasi negara.
Menghadapi kenyataan ini, pesantren tidak gamang merespons modernitas dan sekaligus tidak kehilangan identitas dan jati dirinya. Bahkan pesantren mampu menghadapi peliknya globalisasi dengan penuh kemandirian dan keadaban.
Realitas yang demikian menunjukkan, bahwa perkembangan pesantren terus menapaki tangga kemajuan, bahkan ada kecenderungan menunjukkan trend, di sebagian pesantren telah mengembangkan kelembagaannya dengan membuka sistem madrasah, sekolah umum, dan di antaranya ada yang membuka semacam lembaga pendidikan kejuruan seperti bidang pertanian, peternakan, teknik, dan sebagainya.
Meskipun perjalanan pesantren mengalami banyak perubahan sejalan dengan tuntutan zaman, secara umum pesantren tetap memiliki fungsi-fungsi sebagai:
(1) Lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi al-din) dan nilai-nilai islam (Islamic Values),
(2) Lembaga Keagamaan yang melakukan kontrol sosial (social control), dan
(3) Lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering). (Masykuri Abdillah, 2002: 409).
Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Pendidikan Islam bukan hanya dimengerti sebatas “pelajaran agama”, namun juga berimplikasi luas pada seluruh aspek menyangkut agama Islam, untuk melahirkan pribadi- pribadi Islami yang mampu mengembangkan misi yang diberikan oleh Allah, yakni sebagai khalifah yang ditugaskan untuk menyembah Allah, melaksanakan segala perintah-Nya, dan menjauhi segala larangan-Nya.
Ali Ashraf menyebutkan, “The ultimate aim of muslim education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of the individual, the community and humanity at large” (tujuan tertinggi dari pendidikan Islam adalah merealisasikan kepasrahan penuh pada Allah pada tingkat individual, komunitas dan umat).
Tujuan pendidikan Islam yang utama ialah untuk melaksanakan perintah Allah. Oleh karena itu dapat kita pahami bahwa pendidikan Islam dalam Ajaran Agama Islam berperanan penting dalam upaya mewujudkan manusia yang berakhlak mulia.
Seperti sabda Nabi Muhammad SAW; “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (Riwayat Abu Dawud No. 4682 di Kitab as- Sunnah dan Tirmidzi No. 1162 di Kitab ar-Radha’ah). Demikian juga dalam sabda Rasullullah yang lain “Tidaklah Aku diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlak manusia.” Menurut hadist di atas dijelaskan bahwa agama islam menjujung tinggi akhlak dan moralitas umatnya.
Dewasa ini, tantangan Pendidikan Agama Islam khususnya di negara Indonesia adalah bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai agama Islam kepada peserta didik secara utuh (kaffah) yang tidak saja menguasai pengetahuan, akan tetapi mempunyai kualitas iman, dan akhlak mulia. Hal tersebut dikarenakan tujuan dari pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang mempunyai kepribadian yang serasi dan seimbang; tidak saja dalam bidang agama dan keilmuan, melainkan juga keterampilan dan akhlak.
Al-Abrasyi menjelaskan bahwa aspek pendidikan akhlak sebagai tujuan pendidikan Agama Islam dan merupakan kunci utama bagi keberhasilan manusia dalam menjalankan tugas kehidupan. Indonesia saat ini, khususnya di pesantren dimarakkan dengan perilaku remaja yang kurang berakhlak, yang mana perilaku tersebut bukan hanya berdampak pada dirinya, tetapi, juga kepada orang lain.
Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:

Hal tersebut bisa dilihat dengan banyaknya kasus bulliying sebagai salah satu kasus remaja yang semakin parah dari waktu kewaktu. Terbukti, Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sejak tahun 2011 hingga 2016 ditemukan sekitar 253 kasus bullying, terdiri dari 122 anak yang menjadi korban dan 131 anak menjadi pelaku.
Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak pasal 12-18 nomor 23 tahun 2002, perlakuan yang harus dilindungi dari anak adalah diskriminasi, eksploitasi, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya. Seharusnya anak-anak dapat merasakan Undang-Undang Perlindungan Anak yang tertuang dalam Kesejahteraan Anak.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti menilai sepanjang 2017-2019, kasus kekerasan anak yang terjadi di pondok pesantren cukup tinggi, meski tidak seluruhnya dilaporkan kepada KPAI. Namun hingga saat ini penyelesaian kasus-kasus yang terjadi sangat minim. "Kerap kali ketika terjadi kekerasan kepada santri, kiai hanya memanggil orang tua yang marah anaknya mendapatkan kekerasan, kemudian diberikan air putih dengan doa, kemudian masalah selesai, bahkan mereka mencabut laporannya dari kami" ujar dia kepada Republika.co.id, Selasa (14/1).