Sampai-sampai Harus Diskor, Rapat Paripurna DPRD Muara Enim 'Dihujani' Interupsi, Apa yang Dibahas?
Rapat paripurn DPRD Muara Enim ke III 'dihujani' interupsi bahkan harus diskor. Rapat ini dihadiri langsung oleh Pj Bupati Muara Enim.
Penulis: Ardani Zuhri | Editor: Refly Permana
Laporan wartawan Sripoku.com, Ardani
SRIPOKU.COM, MUARAENIM - Rapat paripurn DPRD Muara Enim ke III 'dihujani' interupsi.
Rapat ini digelar soal Penyampaian Laporan Hasil Pembahasan Panitia Khusus Terhadap 4 Raperda Kabupaten Muara Enim dan Penandatanganan Keputusan Bersama Penyampaian Pendapat akhir Bupati Muara Enim terhadap 4 Raperda Kabupaten Muara Enim.
Pasalnya, dewan menilai harmonisasi antara legislatif dan eksekutif saat ini hanya sekedar retorika dan life of service saja.
Rapat paripurna penyampaian laporan hasil pembahasan panitia khusus terhadap 4 Raperda dipimpin langsung Ketua DPRD Kabupaten Muara Enim Liono Basuki BSc bersama pimpinan dewan dan anggota dewan.
Selain itu dihadiri Pj Bupati Muara Enim Dr H Nasurun Umar, Pj Sekda Drs Emran Tabrani MSi, Asisten para OPD dan Forkopimda.
Dalam awal rapat paripurna tersebut, suasana langsung tegang pasalnya beberapa anggota dewan langsung meminta interupsi sehingga pimpinan dewan terpaksa men-skor rapat sampai pukul 16.30.
"Kami benar-benar sangat kecewa sebab pada pembahasan terhadap 4 Raperda tidak maksimal karena OPD mengirimkan orang mengikuti pembahasan tidak bisa mengambil keputusan.
Jadi Kami menilai keharmonisan antara Legeslatif - Eksekutif hanyalah retorika dan life of service saja," tegas anggota Pansus III DPRD Kabupaten Muara Enim. Dwi Windarti SH M Hum.
Dikatakan Dwi, bahwa pihaknya menyadari Raperda inisiatif DPRD tidak bisa dieksekusi karena Perda ini akan dilaksanakan oleh OPD terkait, namun kenyataannya sepertinya tidak ada komitmen sedikit pun dari OPD untuk menjalankan dengan sungguh-sungguh dalam melakukan penegakan terhadap Perda tentang Perlindungan Perempuan dan Anak nanti.
Karena dari data dikepolisian, menunjukkan bahwasanya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Muara Enim cukup tinggi dan terus berulang-ulang namun sepertinya tidak ada tindakan atau pendampingan yang nyata dari OPD terkait untuk menurunkan kasus tersebut.
“Terakhir, yang paling viral adalah kasus perempuan yang dibakar oleh oknum aparat penegak hukum yang sampai saat ini belum mendapatkan pendampingan apa pun dari pemerintah Kabupaten Muara Enim,” tegas Dwi dengan nada tinggi.
Untuk penanganan hal-hal seperti ini (Perlindungan perempuan dan anak), lanjut Dwi, sangat dibutuhkan tenaga phsikoklinis.
Dan ternyata, di Kabupaten Muara Enim belum ada satu pun tenaga phsikoklinis, bahkan di rumah sakit RSUD dr HM Rabaian Muara Enim yang menjadi rumah sakit rujukan, padahal seharusnya tenaga tersebut ada.
Dan jika belum ada, apakah Pemkab Muara Enim telah menganggarkan atau merencanakan akan menerima tenaga tersebut.
Dan hal tersebut, tidak bisa dijawab oleh wakil yang dikirim oleh OPD, sedangkan ia ingin jawaban yang pasti karena hal ini urgen.
“Saya mempresentasikan diri sebagai wakil dari perempuan-perempuan di Kabupaten Muara Enim, memprensentasikan diri sebagai wakil dari ibu-ibu yang ada di Kabupaten Muara Enim, penuh dengan keprihatinan melihat respon seperti ini dari OPD,” sesalnya.
Maka pada dari ini, lanjut Dwi, belum ada persetujuan Raperda, sebelum ada penandatanganan komitmen bersama, fakta integritas bahwasanya seluruh OPD terkait akan memberikan support seluruhnya untuk komitmen terutama dalam hal penegakan peraturan daerah perlindungan perempuan dan anak.
Pembangunan di Kabupaten Muara Enim harus memperhatikan perempuan dan anak.
Sebagi contoh lihatlah trotoar yang ada di Kabupaten Muara Enim tidak layak untuk anak dan lansia, begitupun sekolah-sekolah di Kabupaten Muara Enim belum ada yang layak untuk membimbing moral-moral mereka.
Empat tahun yang lalu, sambung Dwi, Muara Enim dipermalukan dengan 12 orang anak pelajar menjadi korban sodomi.
Tiga tahun yang lalu, ada 6 orang anak pelajar juga menjadi korban asusia.
Dalam kasus tersebut, Pemerintah Kabupaten Muara Enim tidak pernah hadir.
Oleh karena itu, ia meminta kepada Bupati Muara Enim dan perangkatnya memerintahkan seluruh OPD untuk menandatangani komitmen bersama untuk menegakkan peraturan daerah perlindungan perempuan dan anak.
Dan mengenai masalah harmonisasi, sambung Dwi, sebagai contoh kegiatan Musrenbang adalah hak dewan untuk turut serta didalamnya. Karena dewan bagian penyelenggaraan pemerintah di Kabupaten Muara Enim.
Oleh karena itu, untuk kegiatan Musrenbang minta dipaparkan secara khusus kepada Badan Anggaran (Banggar) hasil kegiatan Musrenbang karena legislatif tidak tahu apakah pokok-pokok pikiran dewan telah terakormodir atau tidak.
Dan masih terkait harmonisasi kegiatan Musrenbang ini bukan kali pertama dewan tidak diajak, namun sudah yang kedua kalinya.
Tentu ini preseden buruk dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam Kabupaten Muara Enim.
Oleh karena itu, mungkin ini harus menjadi evaluasi tersendiri bagi DPRD terhadap kinerja perangkat daerah.
Nanti akan menjadi bagian satu kesatuan dalam LPPD setelah dokumen LKPJ selesai disampaikan langsung kepada Menteri Dalam Negeri, agar miss harmonasi seperti ini tidak terulang dikemudian hari.
“Sudah kita sampaikan didepan pak asisten yang mengawal Pansus III, seolah-olah kami (Dewan, red) yang ada disini sudah menjadi almarhum dan almarhumah, tidak lagi didengar suaranya.
Untuk rapat hari ini, dirinya meminta untuk di skor karena ingin mendengarkan langsung komitmen OPD terkait,” katanya.
Sementara itu, Pj Bupati Muara Enim Dr H Nasrun Umar, menyampaikan akan mengambil alih tanggung jawab semua apa yang menjadi komplain, keluhan dan ketidak puasan khususnya dari Pansus III meminta rapat paripurna untuk ditunda keputusannya ditangan pimpinan.
Kemudian Raperda inisiatif dari DPRD Kabupaten Muara Enim tentang perlindungan perempuan dan anak.
Mengingat rangkaian peristiwa kelihatannya Perda ini (Perlindungan Perempuan dan Anak) harus ada yang memarjinalkan kaum perempuan dan anak.
Dan dirinya menangkap merupakan suatu keharusan dan di apresiasi. Dan jika kepala OPD tidak bisa menjawab pertanyaan Pansus, artinya yang bersangkutan tidak mampu menjadi kepala OPD.
“Saat ini juga OPD-OPD yang terlibat pada rancangan peraturan daerah harus siap menandatangani komitmen dan harus mau bertanggungjawab terhadap komitmen itu, kalau OPD tidak mampu silakan mundur,” tegas HNU disambut riuh tepuk tangan.
Namun, kata HNU, dirinya sebagai nahkoda penyelenggara pemerintahan di Kabupaten Muara Enim, tidak pernah menganggap perjalanan penyelengaraan pemerintahan ini hubungan baik legislatif dan eksekutif hanya retorika.
Buktinya, begitu tidak disetujui tidak jadi Raperda. Artinya tidak bisa sendiri eksekutif berjalan tanpa dukungan sepenuhnya dari legislatif.
Mudah-mudahan ini hanya merupakan dinamika, harmonisasi yang kita lakukan didalam penyempurnaan pembahasan Raperda.
"Insya Allah kami semua komitmen atas apa yang menjadi inisiasi dari dewan yang terhormat untuk mengajukan perda inisiasi tentang perlindungan perempuan dan anak,” jelasnya.