Mimbar Jumat
Membangun Harmoni Melalui Pendidikan Moderasi
Perbedaan dari sisi agama, bahasa, suku, & golongan politik sekalipun tidak boleh menghambat untuk membangun suasana harmoni antar sesama warga bangsa
Padahal secara substantif, pemahaman moderat itu adalah esensi dari sikap beragama yang sangat relevan dengan konteks kebangsaan Indonesia yang plural dan multikultural.
Perjalanan sejarah politik kebangsaan Indonesia diwarnai oleh tarik menarik kepentingan ideologi politik yang bernuansa Islam diwakili oleh peristiwa PRRI. Selain itu tarikan ideologi politik yang menolak tradisi agama yang diwakili PKI.
Sebenarnya semua itu cukup menyadarkan kita untuk memilih sikap moderat dalam beragama dan berbangsa.
Memilih pandangan moderat dalam beragama adalah penegasan atas jati diri se-bagai warga bangsa Indonesia.
Moderasi beragama adalah perekat antara spirit beragama dengan komitmen berbangsa dan bernegara.
Bagi warga Indonesia bahwa beragama pada hakikatnya ber-Indonesia dan ber-Indonesia pada hakikatnya adalah beragama.
Karena itu, moderasi beragama harus dijadikan sebagai wasilah untuk mengejawantahkan kemaslahatan kehidupan beragama dan berbangsa secara rukun, guyub, harmonis, toleran, damai, dan tenteram.
Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:

Untuk membangun sikap moderat pada diri seseorang membutuhkan proses pen-didikan agama yang benar dalam perspektif konsep moderasi.
Posisi pendidikan dengan berbagai komponennya seperti guru, kurikulum, bahan ajar, fasilitas, dan metodologi pengajaran menjadi sangat penting.
Sebab jika semua komponen pendidikan itu tidak diarahkan, maka proses pendidikan moderasi beragama menjadi kurang efektif.
Kualifikasi guru sebagai pengajar (teacher) dan pendidik (educator) kurikulum moderasi menempati posisi yang sangat strategis.
Guru agama yang mumpuni akan mampu menjelaskan teks yang tertulis dalam kitab suci dengan konteksnya yang benar.
Sebaliknya guru agama yang tidak mencerahkan hanya mengajarkan teks tanpa menjelaskan konteks, sehingga cenderung sempit dalam memahami teks suci.
Cara pandang sempit dalam memahami teks suci akan melahirkan sikap tertutup (ekslusif) dan sangat potensial membentuk sikap extreme dan radikal.