Mimbar Jumat

Memaknai Kesalihan Kita dalam Berislam

Iman dan amal salih adalah dua topik perbincangan yang senantiasa aktual dan selalu menarik di ka-langan umat beragama.

Editor: Bejoroy

Perbincangan tentang iman di kalangan ahli tersebut lebih banyak dikaitkan dengan kekufuran.

Sementara itu, kaitan antara iman dan amal salih terkesan kurang mendapatkan porsi yang cukup memadai.

Padahal iman yang mantap mestinya melahirkan amal salih, yang justeru disanalah akan terlihat keluhuran dan kerahmatan Islam sebagai misi utama Nabi Muhammad SAW.

Persoalannya adalah apa yang dimaksud amal salih dan apa indikatornya.

Apakah seseorang dapat dikategorikan sebagai orang salih apabila yang bersangkutan rajin melaksanakan ibadah-ibadah ritual?

Namun pada saat yang sama justeru terlibat pula dalam aktivitas yang cenderung merusak tatanan kehidupan masyarakat.

Atau sebaliknya, apakah seseorang dapat dikatakan sebagai orang salih apabila yang bersangkutan tampil secara intens melakukan aktivitas yang bermanfaat bagi kemanusiaan, tetapi cenderung mengabaikan aturan ibadah mahdah (wajib) yang telah disyariatkan Allah dan Rasul-Nya.

Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Instagram Sriwijayapost di bawah ini:

Istilah salih, kesalihan, amal salih, dan orang salih adalah istilah yang demikian populer di kalangan kita umat Islam.

Kata salih berasal dari bahasa Arab salaha atau saluha, yang secara literal berarti baik/bagus, sebagai antonim dari kata fasada yang berarti rusak/jelek (Ahmad bin Faris, 1994:574).

Karena itu, kata salaha dalam bentuk lazim (intransitif) memiliki dua arti, di satu sisi berarti baik dan bermanfaat, dan pada sisi lain dapat pula berarti keadaan rusaknya sesuatu telah berhenti (M.Quraish Shihab, 1997: 158).

Dalam bentuk muta’addi (transitif), aslaha- yuslihu berarti memperbaiki sesuatu yang telah rusak.

Sehingga mendamaikan individu dan kelompok yang bersengketa/berselisih faham, menjadikan se-suatu berguna/bermanfaat serta berfungsi sebagaimana mestinya tercakup pula dalam pengertian as-laha.

Kata kerja bentuk pertama (salaha) mengandung konotasi sifat, sehingga tidak memerlukan obyek penderita, maka kata kerja kedua (aslaha) lebih berkonotasi aktivitas, sehingga selalu memerlukan obyek penderita.

Kata kerja bentuk pertama berkait erat dengan kata kerja bentuk kedua.

Bentuk pertama yang tidak memerlukan obyek penderita itu memberikan pengertian terhimpunnya sejumlah nilai tertentu pada sesuatu, sehingga ia dapat berguna dan bermanfaat atau berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuan kehadirannya.

Sumber: Sriwijaya Post
Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved