Kebakaran LP Dan Reformulasi Sistem Pemindanaan
Sebanyak 41 orang narapidana tewas terpanggung dalam kebakaran yang terjadi Rabu (8/9/2021) dini hari.
Tragedi kemanusiaan terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang.
Sebanyak 41 orang narapidana tewas terpanggung dalam kebakaran yang terjadi Rabu (8/9/2021) dini hari.
Dugaan sementara kebakaran bermula dari Chandiri Nengga 2 (Blok 2) akibat hubungan pendek arus listrik.
Banyaknya korban yang meninggal disebabkan LP Tangerang tersebut mengalami kelebihan penghuni (over kapasitas), sehingga petugas kesulitan untuk memberikan pertolongan.
Sudah jamak diketahui bahwa LP yang ada di Indonesia, kecuali di Nusa Kambangan dan Sukamiskin, mengalami kelebihan penghuni.
Berdasarkan data Ditjen Pemasyarakatan per September 2021, LP Kelas I Ta-ngerang dihuni 2.072 tahanan dan narapidana.
Padahal kapasitas LP itu untuk 600 orang. Artinya, ada kelebihan jumlah penghuni hingga 245 persen (Kompas,9/8/2021).
Menurut Wakil Menkumham, Eddy OS. Hiariej (2021), idealnya, jumlah rutan dan lapas di Indonesia hanya bisa untuk menampung 160.000 narapidana dan tahanan.
Faktanya, jumlah narapidana dan tahanan saat ini sebanyak 247.364 orang.
Jumlah ini belum termasuk tahanan yang berada di kepolisian, kejaksaan ataupun Komisi Pemberantasan Korupsi.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel Youtube Sripokutv di bawah ini:

Over kapasitasnya lapas menimbulkan tingkat kerawanan. Idealnya, seorang petugas keamanan mengawasi lima narapidana/tahanan, tetapi kenyataannya perbandingan antara jumlah petugas dan narapidana/tahanan adalah satu berbanding 15.
Bahkan di Cipinang, sebanyak 3.560 narapidana/tahanan hanya diawasi 50 petugas keamanan dalam sehari semalam.
Kondisi over kapasitas di LP dapat menimbulkan efek domino seperti perkelahian, peredaran narkoba, kerusuhan, pemberontakan, homoseksual, penularan berbagai je-nis penyakit (HIV/AIDS, TBC dan kulit) serta berbagai dampak lainnya.
Dalam konteks demikian, tidak terjadi kerusuhan di rutan/lapas saja sudah merupakan prestasi tersendiri, ujar Eddy OS Hiariej.
Problema lain yang seringkali muncul dalam LP adalah hak-hak warga binaan pema-syarakatan tidak terpenuhi, fasilitas dasar (kesehatan, kerja, MCK, pendidikan) mi-nim.
Juga sering kali terjadi praktik kekerasan dan pemerasan.
Masalah lainny adalah kurangnya pemahaman konsep pemasyarakatan dari petugas (fokus utama masih pengamanan, belum pembinaan).
Penghuni Lapas masih melakukan berbagai kejahatan dari balik jeruji.
Praktik “mafia peradilan” untuk fasilitas dan jasa tertentu.
Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Instagram Sriwijayapost di bawah ini:
Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Instagram Sriwijayapost di bawah ini:

Terlalu banyak keterbatasan, yang semakin menjauhkan cita-cita ideal dengan kenyataan.
Keadaan cenderung memburuk, karena hingga hari ini lapas tidak saja memiliki ke-terbatasan tenaga petugas, dana dan fasilitas, namun juga keterbatasan cara berpikir dan profesionalisme pengelolaan.
Yang paling berbahaya adalah manakala para pengelola lapas terjebak dalam cara berpikir yang menempatkan lembaganya sebagai tempat hukuman semata, bukan sebagai lembaga pemasyarakatan yang sarat dengan tugas mendidik.
Di Indonesia, kehidupan di penjara bisa membuat narapidana saling berbagi peng-alaman dalam melakukan kejahatan.
Begitu keluar penjara mereka akan mengulangi perbuatan jahatnya dengan modus baru yang telah ia dapat dari pergaulan di penjara.
Kritik yang cukup menarik dilihat dari sudut politik kriminal ialah adanya pernya-taan bahwa orang tidak menjadi lebih baik tetapi justru menjadi lebih jahat setelah menjalani pidana penjara; terutama apabila pidana penjara ini dikenakan kepada anak-anak atau para remaja.
Sehingga ada ungkapan bahwa LP cenderung menjadi Sekolah Tinggi Kejahatan.
Mengenai kritik terhadap pidana penjara ini, The American Correctional Association pada tahun 1959 telah mengemukakan bahwa pidana penjara yang dilaksanakan ber-dasarkan pandangan yang bersifat pemidanaan semata-mata, akan lebih banyak menghasilkan penjahat daripada mencegahnya (Teguh Prasetya, 2010)
Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:
Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Seharusnya, sebuah LP memang dapat menjadi tempat untuk membina para penjahat agar kembali ke jalan yang benar.
Tetapi, ini tentu tidak mudah dilakukan.
Persoalan utamanya, karena masalah dana yang sangat minim, sehingga Ditjen Pe-masyarakatan, lembaga yang terlibat langsung mengelola LP, tidak dapat berbuat banyak.
Suatu hasil pengamatan yang sudah diketahui semua orang adalah, bahwa dalam ke-nyataannya, LP kita masih tak ada bedanya dengan penjara (jail atau prison).
Ada berbagai hal yang secara kasat mata saja bisa dipergunakan sebagai landasan untuk mendukung pernyataan itu.
Misalnya saja, situasi bangunan (fisik LP), sistem pengamanannya, serta pola kehidupan para penghuninya (Adrianus Meliala, 1992).
Atas pertimbangan kemanusiaan, pidana penjara semakin tidak disukai oleh karena jenis pidana ini mempunyai dampak negatif yang tidak kecil tidak saja terhadap narapidana, tetapi juga terhadap keluarga serta orang-orang yang kehidupannya tergantung dari narapidana tersebut.
Selain atas pertimbangan di atas, kecenderungan untuk selalu mencari alternatif pidana penjara juga bertolak dari kenyataan, bahwa biaya yang harus dikeluarkan un-tuk membiayai pelaksanaan pidana penjara sangat besar.
Misalnya biaya hidup narapidana seperti makan dan biaya kesehatan.
Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:

Biaya tersebut semakin besar mengingat banyak penjara yang over kapasitas.
Kurang logis orang-orang yang di luar penjara harus memberi makan (lewat pembayaran pajak yang kemudian diolah menjadi APBN dan APBD) bagi para pembunuh yang dipenjara yang berkemungkinan akan mengulangi kejahatannya.
Semakin lama mendiami penjara semakin tinggi biaya ekonomi yang harus dibayar oleh pajak yang dibayarkan rakyat (Paisol Burlian, 2015).
Menurut Menkumham bahwa biaya membiayai seluruh narapidana di Indonesia ini membutuhkan biaya yang sangat besar yaitu kurang lebih 1 triliun per bulannya.
Tentu saja tidak adil jika persoalan pemasyarakatan hanya diserahkan kepada Kementerian Hukum dan HAM.
Hal ini mengingat pemasyarakatan hanyalah tempat pembuangan akhir dari bekerjanya sistem peradilan pidana secara keseluruhan tanpa bisa mengintervensi berbagai proses tersebut dari awal.
Kompleksitas permasalahan di lembaga penjara, hendaknya juga menjadi pertimbangan hakim, jangan sampai setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan justru menjadi lebih jahat.
Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pidana penjara masih tetap dapat dipertahankan.
Namun, perlu kebijakan yang selektif dan limitatif penggunaannya dengan mem-pertimbangkan keseimbangan antara kepentingan perlindungan masyarakat di satu pihak dengan perlindungan dan perbaikan individu (pelaku kejahatan) di lain pihak (Barda Nawawi Arief, 2015).

Update 12 September 2021. (https://covid19.go.id/)
Dalam konteks ini, tidak lagi dikedepankan keadilan retributif berupa pemenjaraan dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana, tetapi berorientasi pada keadilan restoratif yang lebih mengutamakan pemulihan terhadap korban berupa ganti kerugian.
Dalam tujuan pemidanaan yang terdapat dalam RKUHP menganut aliran neo-klasik dengan beberapa karakteristik yang diatur, yaitu adanya perumusan tentang pidana minimum dan maksimum, mengakui asas-asas atau keadaan yang meringankan pe-midanaan, mendasarkan pada keadaan obyektif dan mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan inividual dari pelaku tindak pidana.
Senada dengan pendapat di atas, pendapat Bernard L. Tanya (2009) menyatakan bahwa tujuan pidana harus diarahkan pada perlindungan massyarakat dan pembi-naan pelaku, termasuk lewat metode pemberdayaan yang memungkinkan pelaku benar-benar fungsional dan bermanfaat dalam masyarakat, modifikasi putusan pe-midanaan yang telah berkekuatan hukum tetap berdasarkan perbaikan si terpidana, elastisitas pemidanaan.
Menurut Eddy OS Hiarief, konsep Rancangan KUHP baru telah mengacu pada paradigma modern yang berorientasi pada keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif.
Di sini, pidana penjara bukanlah pilihan utama, tetapi ada beberapa alternatif pidana lain.
Pun demikian dengan RUU Pemasyarakatan. Dalam RUU a quo, pemasyarakatan tidak lagi sebagai tempat pembuangan akhir, tetapi sudah terlibat sejak tahapan pra-ajudikasi dan ajudikasi dalam sistem peradilan pidana.
Peran pemasyarakatan in line dengan konsep pemidanaan dalam RUU KUHP.
RUU tersebut juga mengubah perihal remisi, asimilasi, cuti mengunjungi keluarga, pembebasan bersyarat, dan cuti menjelang bebas menjadi hak dengan persyaratan tertentu.*
(Mahendra Kusuma, SH, MH. / Dosen PNSD LLDIKTI Wilayah II Dpk FH Universitas Tamansiswa Palembang)
