SIAPA Sosok Wiji Thukul, Orang yang Paling Dicari di Rezim Orde Baru, Keberadaannya Masih Misterius
Hingga saat ini, Wiji Thukul menjadi salah satu aktivis yang dicari karena nasibnya tidak jelas setelah diburu aparat di Rezim Orde Baru.
Maret 1997 Thukul kembali ke Jakarta dan aktif lagi di PRD. Ia menjabat sebagai ketau Divisi Propaganda PRD. Ia sempat tinggal di rumah kontrakan aktivis PRD di Pekayon, Bekasi, dan rumah susun Kemayoran. Saat di Pekayon, ia sempat mengajak Sipon dan anak-anaknya datang.
Agustus 1997
Ketika berkunjung ke rumah adiknya, Thukul mengaku sedang di Tangerang bersama Linda Christanty untuk mengorganisasi buruh dan tukang becak.
Di Karawaci, ia tinggal di rumah kontrakan bersama Lukman dan Andi Gembul. November 1997 Thukul meminta izin kepada Linda, yang berada di sekretariat Mahasiswa Universitas Indonesia di Margonda Raya, Gang Salak, untuk pulang ke Solo, menengok Fajar Merah, anaknya, yang akan berulang tahun ketiga.
Desember 1997 Thukul bertemu dengan Sipon dan anak-anaknya di Yogyakarta dan tinggal satu pekan di Parangtritis. Januari 1998 Thukul pindah ke Cikokol.
Sebelum Idul Fitri, yang jatuh akhir Januari, ia menelepon adiknya dan mengatakan hendak pulang ke Solo untuk berlebaran.
April 1998 Thukul menelpon Cempe Lawu Warta, gurunya di Teater Jagat, menanyakan kabar Sipon dan anak-anaknya. Ia berkata sedang di Bengkulu, Sumatera, dan menitipkan anak-anaknya kepada Lawu.
Mei 1998 Kerusuhan meledak di Jakarta. Thukul menelepon Sipon, khawatir terhadap keadaan istri dan anak-anaknya karena Solo ikut rusuh. Ia juga mengatakan kondisinya baik-baiknya saja dan saat itu sedang di Jakarta. Dan tidak ada kabar dari Thukul setelah itu.
Maret 2000 Sipon melaporkan kehilangan Wiji Thukul ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pada tahun 2000.
Hilangnya Thukul terlambat disadari
Sebenarnya, hilangnya Wiji Thukul terlambat disadari. Setelah Soeharto jatuh dan para aktivis kembali muncul ke permukaan, Thukul tetap hilang.
Para aktivis menganggap Thukul dilindungi keluarga. Sebaliknya keluarga mengira Thukul disembunyikan partai. PRD kemudian membentuk tim pelacak Thukul.
Pencarian juga dilakukan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia, yang didirikan September 1998. Orang yang secara terbuka mencium tanda-tanda hilangnya Thukul adalah Jaap Erkelens, peneliti Koninklijk Instituut voor Taal-Land-en Volkenkunde (KITLV), penerbit Belanda.
Pada 18 Februari 2000, Erkelens mengirim surat pembaca ke Harian Kompas. Dalam surat itu, ia meminta pembaca yang mengetahui keberadaan Thukul menghubunginya.
Tapi, tidak ada tanggapan yang serius. Pada Maret 2000, Sipon melapor ke Kontras. Pencarian dilakukan. Hasilnya nihil. Diduga kuat Wiji Thukul sudah meninggal. Wiji Thukul memang hilang, tapi puisinya abadi dan menjadi teriakan wajib para demonstran: "Hanya ada satu kata: Lawan!".
Pada 2002, perjuangan Wiji Thukul dalam menegakkan demokrasi di Indonesia dianugerahi Yap thiam Hien Award dari Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia, Indonesia. Kisah pelarian Wiji Thukul pun diabadikan dalam sebuah film yang berjudul Istirahatlah Kata-kata (2016).
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jejak Persembunyian Wiji Thukul Usai Dituding Terlibat 27 Juli 1996"