Kilas Balik

PESAWAT Menancap di Gunung,Capt Fierda Terjebak Cuaca Buruk:Nasib Tragis Pilot Pertama Wanita CN235

Fierda Panggabean menjadi salah satu dari sedikit perempuan di zamannya yang memilih karir sebagai penerbang

Editor: Wiedarto
ist
Pesawat CN-235 produksi PT Dirgantara Indonesia 

Lokasi jatuhnya pesawat itu pertama kali dilaporkan penduduk yang tinggal di sekitar kaki gunung. Pesawat Merpati itu tepatnya ditemukan di blok Barukaso Pasir Uji, Desa Cipaganti, Kecamatan Cisurupan, Garut, sekitar 80 km dari kota Bandung. Badan pesawat terlihat menancap di gunung. Kedua sayap pesawat nampak terlipat, sementara hanya bagian ekor yang terlihat masih utuh. Di sekitar lokasi jatuhnya pesawat, pepohonan menghitam bekas terkena hembusan api dari pesawat.

Sampai petugas tiba di lokasi pada Senin siang, asap bekas terbakarnya pesawat masih mengepul di udara. Tempat jatuhnya pesawat, cukup sulit dijangkau karena terletak diantara dua lereng bukit yang sangat terjal. Petugas yang hendak mengevakuasi korban, terpaksa harus berjalan kaki selama tiga jam dengan mendaki gunung yang cukup terjal.

Keadaan tubuh sejumlah korban nampak sudah hangus terbakar, sedangkan korban lainnya terlihat tidak utuh. Namun berkat kerja keras Tim SAR, seluruh jenazah korban bisa dievakuasi. Black box pesawat juga bisa ditemukan. Penyebab Kecelakaan Berdasarkan analisis black box, diketahui pesawat CN-235 itu jatuh akibat cuaca buruk dan sedikit kesalahan manusia.

"Faktor kesalahan manusia itu ialah karena pilot tidak segera mengembalikan posisi pesawatnya pada jalur penerbangan semula, setelah ia membelokkan pesawatnya ke jalur yang lain," kata Dirjen Perhubungan Udara Zainuddin Sikado.

Kesimpulan itu merupakan hasil analisa terhadap kotak hitam pesawat yang diteliti di National Transport Safety Board (NTSB) dan Federal Aviation Administration (FAA), dua badan resmi yang berkedudukan di Amerika Serikat.

Penelitian itu dilakukan terhadap data Cockpit Voice Recorder (CVR) dan Flight Data Recorder (FDR), yang berisi pembicaraan antara pilot dan menara serta antara pilot dan co-pilot. Menurut dia, ketika berangkat dari Semarang, cuaca dan kondisi pesawat yang dipiloti oleh Fierda dinyatakan baik dan tidak terdapat gangguan teknis dan akan terbang pada jalur yang ditentukan.

Namun, ketika berada di atas Cirebon pada jalur 261 derajat, pilot meminta turun dari ketinggian 12.500 kaki ke 8.500 kaki. Pilot juga membelokkan pesawatnya ke arah selatan untuk pindah ke jalur 240 derajat. Fieda juga memutuskan untuk terbang secara visual tanpa pengendalian alat navigasi dan hanya mengandalkan pandangan mata. Berubahnya jalur pesawat itu dimaksudkan untuk menghindari badai awan gelap yang tebal di jalur 261.

"Ternyata, ketika pesawat menuju selatan, keadaan cuaca juga lebih buruk, kecepatan angin diperkirakan mencapai 25 - 40 knot per jam, sehingga kecepatan pesawat dengan kode penerbangan Mz 5601 itu makin bertambah, kata Zainuddin.

Zainuddin mengatakan, seharusnya setelah pesawat berbelok segera kembali ke jalur semula (261). Namun hal itu tidak dilakukan pilot padahal waktunya cukup lama sebelum pembicaraan dengan menara Bandung terhenti pada pukul 13.42 WIB.

"Mungkin saja pilot masih berusaha mencari-cari celah pada cuaca yang buruk itu," kata Zainuddin.
Sampai terjadinya musibah tersebut, Fierda Panggabean sudah mengantungi 6.362 jam terbang. Dari jumlah ini, 3.059 jam adalah sewaktu menjadi ko-pilot CN-235 dan 230 jam diraihnya setelah meraih captain pada 24 Juni 1992. Dengan total 3.289 jam terbang di CN-235, Captain Fierda Panggabean bisa dibilang tidak diragukan lagi atas pengalamannya menerbangkan jenis pesawat ini.

Namun, takdir berkata lain. Fierda harus berpulang menyusul ibunya yang telah meninggal akibat stroke, 11 bulan sebelum tragedi di Gunung Puntang itu. Fierda, yang menggantikan fungsi ibu bagi adik-adiknya, harus meninggalkan ayah dan lima adiknya tercinta. Perempuan 29 tahun itu juga meninggalkan seorang seorang kekasih yang dalam waktu dekat akan menikahinya.

Suasana duka pun menyelubungi rumah keluarga Wilson Panggabean (54) di Jalan Cibulan IV/ 17 kebayoran Baru Jakarta. Senin pagi, sekitar pukul 10.00, sedu-sedan tangis sanak- keluarga memenuhi rumah, bergema keluar sampai ke jalanan setelah pihak Merpati, melalui telepon, mengabarkan, lokasi jatuhnya pesawat sudah ditemukan. Harapan yang masih dipupuk sejak pemberitahuan mengenai hilangnya pesawat, seketika lenyap.

"Tuhan, beri kami kekuatan untuk menerima apa yang harus kami terima, walau pun hati kami teramat hancur," potongan doa Pendeta Pakpahan yang memimpin doa bersama, diucapkan dengan suara tertahan.

Fierda dimakamkan pada 22 Oktober 1992 di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Para pilot penerbang yang mewakili Merpati Nusantara Airlines memberikan penghormatan terakhir kepada sang kapten. Tak hanya keluarga dan sanak terdekatnya yang kehilangan Fierda. Dunia penerbangan Indonesia pun harus kehilangan salah satu bibit unggulnya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kapten Fierda Panggabean dan Tragedi Merpati CN-235 di Gunung Puntang",  https://megapolitan.kompas.com/read/2021/04/21/09161231/kapten-fierda-panggabean-dan-tragedi-merpati-cn-235-di-gunung-puntang?page=all#page2.
Penulis : Ihsanuddin
Editor : Egidius Patnistik

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved