Kilas Balik
PESAWAT Menancap di Gunung,Capt Fierda Terjebak Cuaca Buruk:Nasib Tragis Pilot Pertama Wanita CN235
Fierda Panggabean menjadi salah satu dari sedikit perempuan di zamannya yang memilih karir sebagai penerbang
SRIPOKU.COM, JAKARTA--Fierda Panggabean menjadi salah satu dari sedikit perempuan di zamannya yang memilih karir sebagai penerbang. Mengutip pemberitaan harian KOMPAS, ketertarikan Fierda pada dunia dirgantara sudah muncul sejak duduk di bangku sekolah. Ia mantap bercita-cita jadi pilot setelah membaca berita di koran tentang kisah pilot perempuan pertaman Indonesia, Kapten Indah Yuliani, atau yang lebih dikenal dengan nama Kapten Cipluk.
Begitu lulus dari SMA Negeri 6 Jakarta pada 1982, ia langsung mendaftar untuk menempuh pendidikan sebagai pilot di Juanda Flying School, Surabaya. Dua tahun kemudian, 1984, ia dinyatakan lulus dan segera menyebarkan lamaran ke maskapai Bouraq, Mandala, dan Merpati. Perempuan kelahiran Jakarta 15 Desember 1962 ini pun akhirnya memilih maskapai Merpati Nusantara Airlines sebagai tempat berlabuh.
Pada karir awalnya, ia dipercaya untuk mengawaki pesawat Twin Otter jalur Jakarta, Cirebon dan Cilacap. Setelah cukup lama melayani rute pendek itu, atas permintaannya sendiri, Fierda ditempatkan di Papua, saat itu masih bernama Irian Jaya. "Kalau mau rasa terbang, di situlah tempatnya," kata Fierda tentang pengalaman terbangnya.
Setelah digodok di Papua, Fierda pun dipercaya untuk menerbangkan pesawat CN-235, pesawat penumpang sipil angkut turboprop kelas menengah bermesin dua.
Pesawat ini dirancang bersama antara PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio (sekarang PT Dirgantara Indonesia) dengan CASA Spanyol. Ia mulai duduk di kursi kokpit CN-235 tahun 1988. Fierda saat itu menjadi satu- satunya penerbang wanita pertama yang mengambil rating pesawat CN- 235.
Sampai bulan Februari 1991, gadis asli Tapanuli itu sudah mengantongi 5.000 jam terbang. Banyak penumpang CN-235 Merpati jalur Jakarta-Bandung mengenalnya. Ia sering pula dijumpai para penumpang pada rute CN-235 ke Lampung dan wilayah Sumatera Selatan.
Tak hanya bertugas menerbangkan CN-235, Fierda juga dipercayai Merpati atas nama IPTN untuk mengenalkan pesawat CN-235 di Asian Aerospace '90 di Singapura. Selama pameran dirgantara seminggu itu, Fierda Panggabean sibuk melayani terbang tamasya para penumpang Asian Aerospace. "Yang saya heran banyak peserta dari negara lain yang terkesan dan baru mengetahui Indonesia juga punya penerbang wanita," kenang Fierda dalam wawancaranya dengan majalah Angkasa, Februari 1991.
Puteri sulung dari enam anak keluarga Wilson Panggabean itu dikenal sebagai pribadi yang ramah, pandai bergaul, disiplin, dan sangat bertanggungjawab atas tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Ia selalu berusaha mengenal para penumpang saat penerbangannya.
Ia juga pandai menenangkan perasaan orang lain sehingga orang merasa aman berada di dekatnya. Perempuan yang gemar main piano itu bukan tak tahu konsekuensi pilihannya, karena medan yang dijelajahinya selama delapan tahun bersama Merpati Nusantara tidak selalu mulus.
"Cuaca yang kurang baik adalah hambatan yang biasa ditemui," ujarnya dalam wawancara dengan RCTI. Lalu ia menceritakan pengalamannya terbang dengan satu mesin pada rute CN-235 ke Lampung. "Tapi Puji Tuhan, kami bisa mendarat dengan selamat," lanjutnya.
Fierda, yang tak pernah absen mengikuti kebaktian pada hari Minggu itu sudah menyerahkan dirinya secara total kepada Tuhan. Ia teramat sadar, dalam pekerjaannya, batas antara kehidupan dan kematian acapkali begitu tipis. "Saya pasrah. Saya menyerahkan semuanya kepada Yang di Atas," katanya.
Saat itu pun tiba, Minggu siang, 18 Oktober 1992. Pesawat CN-235 jurusan Semarang-Bandung yang dipiloti Fierda mengalami kecelakaan tragis. Pesawat itu menabrak Gunung Puntang di Garut. Fierda, seluruh awak kabin lain dan seluruh penumpang tewas dalam tragedi tersebut. Pesawat CN-235 Merpati Nusantara Airlines dengan nomor penerbangan MZ-5601 jurusan Semarang-Bandung itu hilang kontak pada Minggu, 18 Oktober 1992, pukul 13.30 WIB.
Pesawat yang membawa 27 penumpang dan empat awak ini berangkat dari Semarang pukul 13.05 dan seharusnya tiba di Bandung pukul 14.00 WIB. Kontak terakhir dengan CN-235 beregistrasi PK-MNN yang dikemudikan Captain-pilot Fierda Panggabean dan ko-pilot Adnan S Paago terjadi sekitar pukul 13.30, sewaktu pesawat berada di sekitar Cirebon.
"Fierda ketika itu menghubungi menara Husein untuk minta izin turun dari 12.500 kaki ke ketinggian 8.500 kaki," ujar Humas Merpati Ilyas Jufrie.
Pesawat naas itu baru ditemukan keesokan harinya atau pada Senin. Sebanyak 31 penumpang termasuk awak pesawat tewas. Sedangkan badan pesawat ditemukan hancur setelah menabrak Gunung Puntang (6.800 kaki) yang berada di wilayah gugusan Gunung Papandayan.