Kudeta Militer Myanmar

PELURU Aparat tak Bermata, WNA Diminta Angkat Kaki: Kerusuhan Myanmar Kini Bak Medan Pembantaian

 Inggris mendesak warganya pada hari Jumat (12/3/2021) untuk meninggalkan Myanmar

Editor: Wiedarto
AFP/Tribunnews.com
Para pengunjuk rasa menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar, berlarian saat diserang aparat militer dengan gas air mata. Pemerintah Inggris telah menyerukan warganya tinggalkan Myanmar, kerusuhan di negara itu kian tak terkendali. 

SRIPOKU.COM, MYANMAR -- Kekerasan karena kudeta militer di Myanmar makin memanas. Inggris mendesak warganya pada hari Jumat (12/3/2021) untuk meninggalkan Myanmar. Jika mereka tidak dapat keluar dari negara itu, untuk tinggal di rumah saja.

Kekerasan meningkat setelah tentara menggulingkan pemerintah Aung San Suu Kyi dalam kudeta 1 Februari.  Ada pun seruan tinggalkan Myanmar terjadi setelah sebuah kelompok hak asasi mengatakan pasukan keamanan menewaskan 12 pengunjuk rasa.

Kala itu pemimpin yang digulingkan Aung San Suu Kyi mengejek tuduhan penyuapan baru terhadapnya.

"Kantor Luar Negeri, Persemakmuran & Pembangunan (FCDO) menyarankan warga Inggris untuk meninggalkan negara itu dengan cara komersial, kecuali ada kebutuhan mendesak untuk tinggal," kata kementerian luar negeri dalam sebuah pernyataan.

"Ketegangan dan kerusuhan politik meluas sejak pengambilalihan militer dan tingkat kekerasan meningkat," imbuh pernyataan itu seperti dikutip https://www.channelnewsasia.com/

Inggris mengutuk kekerasan di Myanmar dan menyerukan pemulihan demokrasi, menandakan awal pekan ini bahwa mereka sedang menjajaki sanksi tambahan di negara itu.

Gunakan Taktik Militer

Kelompok hak asasi Amnesty International merilis laporan besar tentang krisis pada hari Kamis, menuduh junta menggunakan senjata medan perang pada pengunjuk rasa yang tidak bersenjata dan melakukan pembunuhan yang direncanakan.

Kelompok hak asasi manusia Amnesty International telah memverifikasi lebih dari 50 video insiden kekerasan yang beredar di media sosial.

Di sebuah jalan yang sibuk di Yangon, polisi sedang mengawal seorang pria ketika terdengar tembakan di belakangnya.

Pria itu tampaknya ditahan dan tidak menunjukkan perlawanan — kemudian tiba-tiba seorang aparat keamanan menembaknya dari belakang, menendangnya saat dia terbaring di tanah.

Insiden ini, yang terekam dalam video, adalah satu dari lusinan yang telah dilaporkan semenjak kudeta militer di Myanmar pada 1 Februari yang menyebabkan para pengunjuk rasa turun ke jalan.

Tindakan kekerasan terhadap aksi protes ini telah menewaskan lebih dari 70 orang, menurut perkiraan PBB.

Namun militer, atau Tatmadaw, berkeras bahwa pasukan keamanan mampu menahan diri dalam menghadapi "tindakan rusuh para pengunjuk rasa" yang mereka tuduh menyerang polisi.

Dalam laporan terbaru, kelompok hak asasi manusia Amnesty International telah memverifikasi lebih dari 50 video insiden kekerasan yang beredar di media sosial.

Milter Myanmar juga dianggap menggunakan kekuatan mematikan dalam menghadapi para pemrotes pada pekan-pekan terakhir.

Berdasarkan bukti ini, walaupun pasukan keamanan juga menerapkan taktik tidak mematikan terhadap pendemo, mereka disebutkan meningkatkan penggunaan senjata untuk digunakan dalam medan perang.

Milter Myanmar juga dianggap menggunakan kekuatan mematikan dalam menghadapi para pemrotes pada pekan-pekan terakhir.

Dalam satu video, seorang anggota Tatmadaw di Dawei terlihat meminjamkan senapannya kepada seorang petugas polisi yang ditempatkan di sampingnya.

Aparat polisi itu lantas berjongkok, membidik dan menembak, dan disambut sorak-sorai anggota lainnya di sekitarnya.

Beberapa pengunjuk rasa di Yangon, kota terbesar di Myanmar, telah mengkonfirmasi kepada BBC bahwa mereka telah melihat aparat militer menembakkan peluru tajam ke arah kerumunan demonstran, yang menyebabkan kematian dan cedera.

Amnesty mengatakan militer telah menggunakan berbagai senjata di berbagai aksi protes — dari senapan sniper hingga uzi. Terkadang mereka memuntahkan pelurunya tanpa pandang bulu.

Satu potongan video memperlihatkan pasukan keamanan di kota Mawlamyine mengendarai truk dan diduga menembakkan peluru tajam secara acak, termasuk yang diarahkan ke beberapa rumah.

Baca juga: Link Live Streaming Lamaran Aurel Hermansyah dan Atta Halilintar Sabtu 13 Maret Pukul 12.30 WIB

Sejumlah warga Yangon, yang tidak terlibat dalam aksi protes, juga mengatakan kepada BBC bahwa rumah mereka telah ditembaki oleh pasukan keamanan.

Amnesti juga mengungkapkan keprihatinannya perihal penempatan unit militer yang sebelumnya diduga terlibat dalam kejahatan perang terhadap komunitas etnis seperti Rohingya.

"Mereka adalah anggota militer dan komandan yang memiliki catatan sangat buruk dan mengkhawatirkan dalam hal pertempuran militer.

"Penempatan mereka untuk melatih aparat kepolisian merupakan kesalahan," kata Joanne Mariner, salah-seorang pimpinan Amnesty.

Amnesty mengatakan militer telah menggunakan berbagai senjata di berbagai aksi protes — dari senapan sniper hingga uzi.

Terkadang mereka memuntahkan pelurunya tanpa pandang bulu.
"Jelas sekali militer tidak setuju dengan apa yang disuarakan pelaku protes, tetapi di bawah hukum internasional mereka memiliki hak untuk mengungkapkan pandangan mereka secara damai," tambahnya.

Di bawah hukum internasional dan standar PBB, pasukan keamanan tidak boleh menggunakan senjata api dalam menghadapi pengunjuk rasa, kecuali ada ancaman kematian atau cedera serius, dan alternatif yang tidak terlalu berbahaya tidak tersedia.

Sebaliknya, "aturan kekuatan minimum" harus diterapkan pada pengunjuk rasa, kata Ian Foxley, peneliti di Centre for Applied Human Rights, Universitas York.

Tapi senjata api hanyalah bagian sistem persenjataan junta militer.

Dokumen anggaran pemerintah dari dua tahun fiskal terakhir, seperti dilaporkan New York Times, menunjukkan militer mengalokasikan jutaan dolar untuk teknologi pengawasan — termasuk drone, peretasan perangkat lunak, dan alat untuk melacak lokasi warga secara real time.

Para kritikus menunjukkan bahwa kemampuan teknologi ini telah memberikan kekuatan yang luas kepada militer untuk memantau warga sipil dan mengoordinasikan tindakan terhadap para demonstran.

Dengan jumlah kematian yang meningkat, lembaga advokasi seperti Justice for Myanmar menyerukan agar diberikan sanksi terhadap Tatmadaw dan kepentingan bisnisnya yang luas.

"Mengingat pembunuhan yang sistematis dan eksesif serta persenjataan yang secara historis telah digunakan terhadap komunitas etnis selama beberapa dekade, Dewan Keamanan PBB harus segera memberlakukan embargo senjata global," tambah kelompok itu.

Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Pemerintah Inggris Serukan Warganya Tinggalkan Myanmar, Kekerasan Kudeta Militer Kian Tak Terkendali, https://wartakota.tribunnews.com/2021/03/13/pemerintah-inggris-serukan-warganya-tinggalkan-myanmar-kekerasan-kudeta-militer-kian-tak-terkendali?page=all.
Penulis: Wito Karyono
Editor: Wito Karyono

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved