Arab Saudi Secara Tidak Langsung Akui Palestina Sebagai Negara Merdeka dan Berdaulat
Baru-baru ini, Arab Saudi memasukan beberapa negara ke dalam aliansinya.
Oleh : Dasman Djamaluddin SH.Mhum
Mantan Wartawan Sriwijaya Potst, Jurnalis,Sejarawan.
Baru-baru ini, Arab Saudi memasukan beberapa negara ke dalam aliansinya.
Negara-negara tersebut adalah Arab Saudi, Bahrain, Bangladesh, Benin, Chad, Komoro, Jibuti, Mesir, Gabon, Guinea, Pantai Gading, Yordania, Kuwait, Lebanon, Libia, Malaysia, Maladewa, Mali, Maroko, Mauritania, Niger, Nigeria, Pakistan, Palestina, Qatar, Senegal, Sierra Leone, Somalia, Sudan, Togo, Tunisia, Turki, Uni Emirat Arab, dan Yaman.
Sejumlah negara memang pernah mengaku terkejut dimasukkan ke dalam koalisi militer baru untuk memerangi terorisme sebagaimana diumumkan pada Selasa, 15 Desember 2020 lalu.
Tetapi yang penting untuk digarisbawahi, masuknya Palestina sebagai sebuah negara merupakan pengakuan tidak langsung, bahwa Palestina memiliki kekuatan militer sendiri dan pantas bergabung.
Mengapa dikatakan tidak langsung?
Iya, karena sekarang ini Palestina hanya secara "de facto" diakui sebagai Negara.
Itu pun dikarenakan inisiatif almarhum Ketua Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Yasser Arafat.
Ia mengangkat dirinya sebagai Presiden Palestina dan memiliki berbagai Kedutaan Besar (Kedubes) Palestina di beberapa negara, termasuk di Indonesia memiliki sebuah Kedutaan Besar Palestina.
Memang usaha tersebut tidak bisa membuat Palestina merdeka secara "de jure," karena tidak mau mengakui keberadaan negara Palestina.
Di masa pemerintahan Presiden AS Donald Trump lebih rumit lagi, ia malah berkunjung ke Jerusalem dan mengakui sebagai ibukota Israel.
Itulah sebenarnya mengapa ketika Menteri Pertahanan Arab Saudi, Mohammed bin Salman, mengatakan, bahwa aliansi terdiri dari 34 negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, adalah usaha ke arah tersebut, ingin mengakui Palestina secara "de facto" dan "de jure."
Menjadi negara merdeka dan berdaulat, hidup berdampingan secara damai dengan negara-negara lain yang sudah merdeka terlebih dahulu.
Masuknya Palestina sebagai salah satu di antara 34 negara itu memperkuat posisi Palestina di dunia internasional.
Apalagi Amerika Serikat (AS) juga di bawah Presiden Joe Biden telah pula menyatakan melalui Duta Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Richard Mills pada hari Selasa, 26 Januari 2021, bahwa di masa Joe Biden perundingan damai antara Palestina dan Israel dilanjutkan lagi.
Ini merupakan upaya perdamaian yang sama dengan langkah Arab Saudi yang dimulai dengan aliansi militer.
Biasanya di sebuah Pakta Militer, meski tujuan utama untuk menggalang persatuan di bidang teroris, tetapi Israel sekarang berhati-hati pula, jika Palestina diserang Israel, maka negara lain di dalam anggota bisa bersatu menyerang Israel.
Masalah Pemukiman

Masalah pemukiman di masa pemerintahan Presiden AS Donald Trump, rumah-rumah penduduk Palestina sering dibongkar oleh alat-alat berat milik negara Yahudi itu.
Bahkan, bukan hanya di wilayah Palestina Jalur Gaza, tetapi juga di Tepi Barat.
Pembongkaran rumah-rumah penduduk Palestina dan membangun perumahan baru untuk penduduk Israel, di masa Pemerintahan Presiden AS Joe Biden diharapkan tidak lagi terjadi.
Kesimpulannya, apa yang dilakukan Arab Saudi dan rencana mengembalikan lagi upaya perdamaian Palestina dan Israel di masa pemerintahan AS di bawah kendali Joe Biden, sungguh merupakan upaya untuk mewujudkan Negara Palestina merdeka dan berdaulat.
Sikap Teguh Indonesia
"Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel."
Inilah pernyataan Presiden Republik Indonesia Pertama, Dr. (HC) Ir. Soekarno pada tahun 1962.
Dukungan Presiden Soekarno terhadap kemerdekaan Palestina tak terbantahkan dan selalu konsisten hingga hari ini di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), pun demikian.
Pernyataan Bung Karno tersebut bukan sekadar kata-kata, tetapi juga dibuktikan melalui tindakan nyata.
Meski Bung Karno belum pernah menjejakkan kaki di tanah Palestina, namun jejak dukungan Sang Proklamator Indonesia untuk kemerdekaan Palestina telah terpatri dalam catatan sejarah dan di dalam jiwa bangsa Indonesia.
Bukanlah di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan antara lain: "Sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan."
Rakyat Palestina sekarang ini masih berada di bawah jajahan penduduk Yahudi.
Bahkan wilayahnya bernama tanah Palestina itu dibagi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara tidak adil.
Awalnya tanah itu milik Palestina, sekarang terbalik, malah penduduk Palestina banyak mengungsi ke berbagai negara tetangga.
Tentang Indonesia, yang terjadi sekarang ini adalah Israel selalu berkeinginan menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Simak pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu:

"Mereka (Indonesia.red) memiliki umat Muslim dan puluhan juta umat Kristen. Kami ingin melihat Indonesia di sini. Kami ingin memiliki hubungan baik dengan mereka."
Presiden Jokowi pun waktu itu belum memberikan balasan resmi atas permintaan Nentanyahu.
Sudah tentu Presiden Jokowi menolak, seperti sikap tegasnya atas Israel selama ini, sebagaimana dikatakan bahwa Indonesia tetap mendukung penuh Palestina.
Pernyataan Jokowi tersebut dikeluarkan saat Amerika Serikat secara sepihak mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel.
Fakta lain bahwa Indonesia lebih mengutamakan Palestina dibandingkan Israel adalah kebijakan terbaru Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Indonesia terhadap Palestina yang tidak berubah.
Bahkan Kemenlu Indonesia, Indonesia berkomitmen memberikan bantuan kepada Palestina.
“Ini kontribusi konkret satu kesatuan Indonesia, baik dari masyarakat maupun pemerintah, untuk Palestina,” tegas Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, saat pernyataan pers bersama dengan Menteri Luar Negeri Palestina, Riad Malki di Jakarta, pada tanggal 16 Oktober 2018.
Riak-Riak Kecil
Benar, bahwa dalam perjalanan bangsa Indonesia muncul riak-riak kecil, tetapi tidak akan mengubah sikap Indonesia terhadap Israel.
Jika rakyat Palestina sudah merdeka dan berdaulat, Indonesia akan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.
Selama Palestina belum merdeka sulit kiranya untuk menjalin hubungan diplomatik dengan negara Yahudi tersebut.
Riak-riak kecil itu memang pernah terjadi pada hari Sabtu, 16 Juni 2018, di mana "twitter " Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu terlihat foto, ia sedang bersama Yahya Cholil Staquf, Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB. NU) waktu itu.
"Pertemuan khusus hari ini di Jerusalem dengan Yahya Cholil Staquf, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU).
Saya sangat berbahagia menyaksikan negara-negara Arab dan banyak negara Muslim semakin dekat ke Israel," demikian tulisan Netanyahu di "twitter" nya.
Netanyahu hanya tahu bahwa Yahya adalah Sekjen PB NU, tetapi sebetulnya Yahya Cholil Staquf adalah juga Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sekarang ini.
Mengapa tidak disebut?
Menurut pendapat saya, Indonesia sejak pemerintahan Presiden Soekarno tidak memiliki hubungan diplomatik, karena bangsa dan negara kita konsisten mendukung perjuangan bangsa Palestina agar bisa merdeka dan berdaulat penuh seperti negara-negara lainnya yang merdeka di dunia.
Sebelum Israel merdeka tanggal 14 Mei 1948, wilayah Palestina sebagaimana terlihat dalam gambar sangat luas. Tidak ada wilayah negara Yahudi di sana.
Setelah Perang Dunia II, negara pemenang Perang Dunia II, terutama AS dan sekutunya, juga Uni Soviet membagi wilayah Palestina secara tidak adil.
Pada tahun 1947, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengganti peranan Liga Bangsa-Bangsa (LBB), karena dianggap gagal melaksanakan tugasnya. PBB malah lebih gagal lagi dengan memecah wilayah Palestina secara tidak adil.
Coba bayangkan, PBB memecah wilayah Palestina yang luas itu menjadi tiga.
Bahkan wilayah untuk penduduk Yahudi lebih luas dari penduduk Arab Palestina (Muslim dan Kristen).
Kaum Yahudi mendapat 56 persen dari seluruh wilayah Palestina.
Arab Palestina hanya memperoleh 42 persen. Dua persennya, termasuk kota tua Jerusalem, masuk dalam pengawasan internasional.
Adalah hal wajar apabila bangsa Arab lainnya di Irak, Mesir, Jorsania sangat marah.
Beberapa kali pertempuran terjadi dengan Israel. Negara Yahudi ini selalu menang.
Bahkan dalam keadaan tidak perang, pemerintah Israel menerapkan pembangunan pemukiman baru, bukan untuk warga Palestina, tetapi pemukiman baru untuk penduduk Yahudi.
Banyak warga Yahudi pulang ke Israel, sebaliknya sejak 1948, penduduk Palestina yang banyak menjadi pengungsi.
Tujuh puluh tahun jadi pengungsi, tetapi negara Palestina yang merdeka secara "de jure," belum terwujud.
Indonesia baru-baru ini terpilih sebagai Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan3 PBB).
Prioritas utama menurut Presiden Jokowi dan Menlu RI, memperjuangkan kemerdekaan bangsa Palestina.
Memang untuk menyeksaikan perdamamaian di Palestina, Indonesia harus menjembataninya dengan Israel.
Sebelum Sekjen PB NU ini, sudah pernah membuat Indonesia heboh, karena Delegasi Majelis Ulama Indonesia (MUI), beranggotakan tujuh orang, bertemu dengan Presiden Israel Reuven Rivlin.