Hutan Tanaman Industri
Praktek Pengelolaan Hutan Tanaman Industri yang Lestari
Pengelolaan lahan gambut sangat membutuhkan pemahaman lokasi dan kawasan serta keterkaitan antar pengguna lahan di kawasan tersebut.
Oleh : Suhendri
Silvikulture Spesialist di Sumsel
Pengelolaan lahan gambut sangat membutuhkan pemahaman lokasi dan kawasan serta keterkaitan antar pengguna lahan di kawasan tersebut.
Pemahaman ini tidak hanya pemahaman aspek fisik tetapi juga aspek social, budaya, ekonomi dan kelembagaan yang ada.
Hal ini hendaknya dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan terintegrasi serta berkelanjutan. (Susanto, HR. 2016)
Beberapa perusahaan HTI selama ini membagi strategy penanggulangan kebakaran hutan dan optimalisasi pengelolaan lahan gambut secara berkesinambungan menjadi 4 perspektif yaitu persfektif fisik, sosial-budaya, ekonomi dan kelembagaan.
Keempat perspektif yang ingin diterapkan diintegrasikan didalam visi dan misi perusahaan.
Penjabaran Ini dicoba dijabarkan seperti apa yang telah dilakukan oleh Perusahaan PT. Sumber Hijau Permai
A. Perspektif Fisik Gambut
Adalah Proses pengelolaan areal gambut dimana penekanan yang dilakukan adalah pengelolaan fisik dari lahan tersebut yaitu bagaimana cara agar areal dapat dipertahankan kelembabannya sebesar 40 persen baik itu dimusim hujan maupun musim kemarau.
Untuk pengelolaan fisik lahan yang lestari ada tiga aspek yang mempengaruhi yaitu: 1.Water management, 2.Silvikultur tanaman, 3.Fire.
Yang mana ketiga unsure ini yang paling dominan dalam pengelolaan lahan Hutan Tanaman di lahan gambut adalah Water Management.
Diharapkan dengan adanya pengelolaan yang tepat dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dan dapat menjaga kelembaban lahan yang akan memperkecil terjadinya bahaya kebakaran.
Pengelolaan tata air (water management) di lahan gambut merupakan kunci keberhasilan keberlanjutan usaha HTI di lahan gambut.
Prinsip utama pengelolaan air di lahan gambut adalah: “elevasi muka air di saluran pembuang harus dipertahankan setinggi mungkin, tapi masih mampu memberikan kedalaman air tanah optimum (kedalaman air tanah minimum yang masih memungkinkan pertumbuhan tanaman yang baik)untuk pertumbuhan tanaman”.
Faktor dasar untuk melakukan Pengelolaan tata air dilahan gambut/rawa meliputi :
(1) Perencanaan Water Management,
(2) Makro Water Management,
(3) Mikro Water Management,
(4) WM For Fire Management.
Perspektif Sosial Budaya
Sebagian masyarakat desa dengan keterbatasan sumber daya sejak beberapa dekade yang lalu melakukan aktifitas ‘tebas, tebang, bakar’,yang merupakan budaya e mereka untuk mulai bertanam pada lahan yang memang selalu mereka tanami setiap tahunnya (Robiyanto ,2017).
Mengembangkan pemikiran dari Prof Robiyanto managemen menerjemahkan bahwa perlu adanya pendekatan yang mengarah bagaimana caranya masyarakat yang berada di sekitar areal IUPHHK-HT PT. SHP tidak melakukan pembukaan areal untuk bertanam dengan system tebas, tebang dan bakar lagi (Budaya Masyarakat Setempat).
Akan tetapi lebih dengan cara mekanis untuk menghindari terjadinya kebakaran Lahan yang jika tidak terkendali akan menjadi kebakaran besar.
Menyambut pemikiran di atas managemen PT. SHP membuat sebuah program yang dinamai dengan SIGAKAR untuk masyarakat yang berdomisili didaerah yang berbatasan langsung dengan konsesi dimana di kesehariannya mereka membuka lahan pertanian dengan membakar maka managemen memberikan program SIGAKAR (Aksi Pencegahan Kebakaran) dengan menyumbang Handtractor, Mesin Potong Rumput dan herbisida dengan harapan proses pembukaanlahannya dapat dilakukan secara mekanik atau pun dengan penggunaan bahan kimia.
B. Perspektif Ekonomi
Dalam konteks hidup dan penghidupan, yang paling utama tentunya pengelolaan lahan gambut harus mengedepankan hidup dan kehidupan masyarakat yang ada di wilayah pedesaan yang rawan terbakar, umumnya masih hidup dibawah garis kesejahteraan.
Sebagai contoh, sebagian anggota masyarakat yang melakukan illegal logging karena terdorong oleh kebutuhan untuk dapat bertahan hidup.
Salah satu yang dapat dilakukan untuk kawasan yang ada kegiatan perusahaan mungkin saja dengan menerapkan konsep“Corporate Sosial Value (CSV)”.
Dalam hal ini,intinya adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mengajari memancing bukan dengan hanya memberikan ikannya saja.
Perlu dikaji lebih dalam berbagai upaya pemberdayaan masyarakat.
Upaya-upaya pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh PT. SHP terhadap masyarakat yang berada di sekitar merupakan salah satusolusi yang menekankan pada Ekonomi, kelembagaan dan peningkatan kapasitas Peran Sinergis multipihak secara keberlanjutan yaitu adalah program DMPA (Desa Makmur Peduli Api)
Program DMPA ini merupakan sebuah pendekatan yang terpadu bersama dengan masyarakat desa untuk melindungi lahan hutan, terutama dari bahaya kebakaran.
Dengan berbasis konsep agroforestry dalam implementasinya, DMPA bertujuan untuk:
1. Meningkatkan ekonomi dan ketahananpangan
2. Kejelasan Tata batas desa dalam kawasan hutan
3. Menguatkan relasi yang harmonis
4. Memperkuat dukungan terhadap implementasi pengelolaan hutan lestari yang terpadu
5. Meningkatkan partisipasi masyarakat untuk mencegah gangguan hutan
6. Mencegah dan menyelesaikan konflik lahan.
C. Persfektif Kelembagaan
Adalah sebuah perspektif yang lebih menekankan pada peningkatan kapasitas kelembagaan baik diinternal perusahaan maupun di luar dari perusahaan yang bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Peningkatan ini bersifat menyeluruh dimulai dari Sumber Daya Manusia, Alat dan Strategy/Standar Operating Prosedur (SOP), untuk menangani area yang terbakar khususnya di area gambut.
Di dalam Peningkatan kapasitas lembaga untuk mempertahankan target ZERO FIRE PT. SHP membentuk Unit kerja khusus Fire Organization Managemen (FOM) diinternal perusahaan dan Kelompok Masyarakat PeduliApi (KMPA) serta Desa Makmur Peduli Api (DMPA) diluar perusahaan, Pada Kelembagaan ini penulis akan lebih banyak mengulas masalah FOM, ada empat strategi yang dilakukan oleh Tim FOM meliputi :
1.Pencegahan terhadap bahaya Api (Prevention),
2.Persiapan antisipasi bahaya api (Preperation)
3.Pendeteksian api sejak dini (Early detection)
4.Respon cepat terhadap terjadinya Kebakaran (Rapid Respon).
Secara garis besar strategi pencegahan kebakaran hutan tidak jauh berbeda dengan sebelum sebelumnya, tahun 2021 ini ada peningkatan dan perbaikan pada beberapa bagian demi untuk mencapai “ZERO FIRE & HAZE FREE”.
Fire Organization Managemen (FOM) PT.SHP membuat target pendeteksian untuk hotspot dan fire spot sampai pada luasan 0,1 ha.
Artinya tiap 100 meter persegi di areal konsesi harus dapat dipantau oleh tim Regu Pemadam kebakaran.
Dan jika terjadi firespot dilokasi areal IUPHHK maka pasukan harus dapat mencapai lokasi dalam kurun waktu selambat-lambatnya 1 jam setelah terdeteksi dan untuk pemadaman api harus dapat dikontrol atau dipadamkan selambat-lambatnya dalam kurun waktu 4 jam.