Kekerasan Berbasis Gender Online Atau Via Internet di Palembang Naik 3 kali Lipat Selama Pandemi

Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan diperingati 25 November 2020, berdasarkan data WCC Palembang Kekerasan Berbasis Gender Online meningkat

Penulis: maya citra rosa | Editor: adi kurniawan
SRIPOKU.COM/WAHYU KURNIAWAN
Direktur Eksekutif WCC Yeni Roslaini Izi, Kekerasan Berbasis Gender Online Atau Via Internet di Palembang Naik 3 kali Lipat Selama Pandemi 

Laporan wartawan Sripoku.com, Maya Citra Rosa

SRIPOKU.COM, PALEMBANG -- Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang diperingati bertepatan pada tanggal 25 November 2020 hari ini.

Women’s Crisis Centre atau WCC Palembang kembali menyoroti banyaknya kasus kekerasan pada perempuan di Sumsel khususnya Kota Palembang. 

Direktur Eksekutif WCC Yeni Roslaini Izi mengatakan, bahwa sangat penting adanya payung hukum yang melindungi perempuan dan anak korban kekerasan seksual. 

Dari data WCC Palembang, sebanyak 96 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ditangani WCC Palembang pada Januari-Oktober 2020, 45,1 persen atau sebanyak 47 kasus adalah kasus kekerasan seksual. 

"Mereka yang mengalami kekerasan seksual, juga mengalami satu atau lebih kekerasan lainnya, terutama psikis, fisik, atau ekonomi," ujarnya melalui rilis yang diterima. 

Kekerasan seksual yang bermuara dari adanya ketimpangan relasi gender, terus bertahan kuat karena berlakunya penilaian moralitas yang cenderung mempersalahkan dan menstigma korban. 

Selain itu, WCC Palembang menerima pengaduan yang cukup tinggi terkait Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) atau Cyber Crime pada masa Pandemi ini. 

Selama bulan Januari-Oktober 2020 terdapat 27 kasus dibandingkan dengan Januari-Desember 2019 terdapat sebanyak 8 kasus. 

"Kekerasan Berbasis Gender Online atau kekerasan via internet yang terjadi juga sebagian besar berkaitan dengan kekerasan seksual," ujarnya. 

Hingga saat ini hak-hak korban kekerasan seksual belum sepenuhnya terlindungi, terutama hak atas keadilan dan pemulihan. 

Terbatasnya tindakan kejahatan seksual yang dikenali oleh KUHP dan sistem pembuktian yang tidak peka pada kondisi korban, menyebabkan sebagian besar pelaku kejahatan seksual bebas dari jeratan hukum. 

Selain itu belum adanya regulasi yang secara khusus menjamin dilaksanakannya pemulihan bagi korban kekerasan seksual, hal ini menyebabkan penanganan kasus-kasus kekerasan seksual hanya berfokus pada penghukuman pelaku dan mengabaikan aspek pemulihan korban. 

Padahal dampak dari tindakan kekerasan seksual tidak saja terhadap fisik, psikis dan organ atau fungsi seksual korban, tapi juga terhadap keberlangsungan kehidupan korban dan keluarganya.

"RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) hingga saat ini ditunda pembahasannya, sehingga tidak ada payung  hukum yang melindungi korban kekerasan seksual," ujarnya. 

Halaman
12
Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved