Fakta Donald Trump Dibenci Tetapi Juga Disenangi Negara Asia, Joe Biden Masih Unggul Jajak Pendapat

Berbeda dengan Capres Joe Biden yang memang lebih kalem dan berpengalaman, namun para voters masih mempertanyakan kapasisten Joe Biden apakah mampu?

Editor: Hendra Kusuma
Ist/handout
Fakta Donald Trump Dibenci Tetapi Juga Disenangi Negara Asia, Joe Biden Masih Unggul Jajak Pendapat 

SRIPOKU.COM, PALEMBANG-Kontroversi dan kerap mengeluarkan kata-kata pedas bahkan cenderung meremehkan selama menjadi Presiden Amerika Serikat, Donald Trump banyak dibenci.

Berbeda dengan Capres Joe Biden yang memang lebih kalem dan berpengalaman, namun para voters masih mempertanyakan kapasisten Joe Biden apakah mampu memimpin Amerika Serikat karena belum pernah menjadi Presiden.

Namun banyak harapan dari para voters, jika Joe Biden bisa lebih hebat dari Donald Trump.

Terkait dengan figur Donald Trump, presiden Amerika Serikat periode 2016-2020 ini dkenal sebagai sosok ceplas-ceplos meski kebijakan-kebijakan populernya dirasakan oleh masyarakat dunia termasuk Indonesia.

Di negara Asia misalnya satu sisi Donald Tump dibenci, namun di sisi lain justru dia disenangi karena kepemimpinannya.

Kompas.com memberikan catatan khusus bagi Donald Trump bagaimana bos MC Donald dan beberapa perusahaan besar di Amerika Serikat itu disenangi dan juga dibenci oleh negara-negara Asia.

Soal First Amerika Serikat

Meski, begitu dia didamba sebagian masyarakat Asia untuk dapat menang dalam Pilpres AS 2020.

Mengejar kebijakan "America First" secara terbuka ia menghina berbagai negara, seperti menyebut para pemimpin Eropa lemah hingga menggambarkan orang Meksiko sebagai pemerkosa, dan bersitegang dengan China karena berbagai konflik.

Meski begitu, sebagian masyarakat Asia masih ada saja yang mendukungnya dengan berbagai alasan, berikut seperti yang dilansir dari BBC pada Sabtu (31/10/2020):

Hong Kong telah melihat tindakan keras Beijing setelah protes besar-besaran pro-demokrasi dan anti-China, disusul dengan pemberlakukan UU Keamanan Nasional baru untuk Hong Kong, untuk menghukum siapa pun yang dianggap separatis atau merusak aturan Beijing.

Para aktivis dan pengusaha mengatakan bahwa prioritas Hong Kong adalah untuk mendapatkan presiden AS yang akan "memukul Partai Komunis China (Chinese Communist Party/CCP) dengan keras, itulah satu-satunya hal yang diharapkan pengunjuk rasa Hong Kong".

"Ketika Donald Trump terpilih 4 tahun lalu, saya pikir AS sudah gila," kata Erica Yuen kepada BBC. "Saya selalu menjadi pendukung Demokrat. Sekarang, saya mendukung Trump, bersama dengan banyak pengunjuk rasa Hong Kong," ujar Yuen.

Hongkong Turut Mendukung

Harapan ini dipicu oleh kritik vokal Trump terhadap China, khususnya yang berkaitan dengan Hong Kong.

Di bawah masa jabatannya, Kongres telah mengeluarkan undang-undang yang mencabut status khusus Hong Kong, yang memberikan perlakuan ekonomi preferensial kepada negara karena mereka mengatakan Hong Kong tidak lagi "otonom".

Sanksi juga dijatuhkan kepada kepala eksekutif Hong Kong Carrie Lam dan 10 pejabat tinggi lainnya dari Hong Kong dan China daratan.

Lawan Trump, Joe Biden, juga telah berjanji untuk "menghukum" China atas tindakannya terhadap Hong Kong, dan menyebut pemimpin China, Xi Jinping sebagai "preman".

Namun bagi Yuen, yang membuat berbeda adalah bahwa pemerintahan saat ini telah menjadi "yang pertama mengambil keputusan bahwa CCP merugikan dunia".

"Saya tidak tahu mengapa pemerintahan Obama dan Clinton tidak menyadarinya. Mereka terlalu naif dan berpikir CCP akan memilih jalan demokrasi dan menjadi masyarakat modern. Tapi, itu terbukti tidak benar."

Dia sadar bahwa Hong Kong rentan terhadap dampak ekonomi apa pun dari konflik antara Washington dan Beijing. "Anda tidak dapat merugikan CCP tanpa merugikan Hong Kong. Tapi, kami siap untuk penderitaan jangka pendek, kami bersedia berkorban," ujarnya.

Ketegangan telah meningkat antara China dan pulau Taiwan. Keduanya terpecah selama perang saudara pada 1940-an, tetapi Beijng bersikeras mengklaim pulau itu adalah bagian China. Washington mengatakan resolusi apa pun dari perpisahan panjang mereka harus dilakukan dengan damai. Pemberlakuan tarif perdagangan dan sanksi kepada China juga mengesankan beberapa orang di Taiwan.

"Sikap Donald Trump baik bagi kami dan bagus untuk memiliki sekutu seperti itu. Ini memberi kami kepercayaan lebih dalam hal urusan luar negeri, secara militer dan perdagangan," kata Victor Linh, yang bekerja di e-commerce, kepada BBC Taiwan. "Kami memiliki kakak laki-laki yang bisa kami andalkan," tambahnya.

Trump jelas telah memperluas jangkauannya ke Taiwan. Selama beberapa bulan terakhir, kedua pemerintah ini telah membuat langkah besar untuk menyelesaikan kesepakatan perdagangan bilateral. Kesepakatan perdagangan dengan AS akan memungkinkan Taiwan untuk menjauh dari ketergantungannya yang besar pada China, kata Linh, mungkin akan "secara aktif mengundang perusahaan-perusahaan besar Taiwan untuk mendirikan pabrik di AS".

Dia khawatir bahwa Biden tidak akan mengambil langkah yang "provokatif ini" dalam menghadapi kemarahan Beijing. Biden secara tradisional dikenal sebagai pendukung keterlibatan dengan China. Meskipun, ia telah mengubah pendiriannya tentang hal ini baru-baru ini, hal itu belum sampai ke telinga banyak orang Taiwan yang khawatir "invasi" China mungkin akan terjadi.

Faktanya, sebuah jajak pendapat baru-baru ini menunjukkan bahwa Taiwan adalah satu-satunya negara di mana mereka yang menginginkan Trump selama bertahun-tahun jauh melebihi mereka yang ingin Biden menang. Beijing telah bereaksi keras, memperingatkan AS "untuk tidak mengirimkan sinyal yang salah kepada elemen "kemerdekaan Taiwan" untuk menghindari kerusakan parah pada hubungan China-AS".

Baik Washington dan Beijing telah berperang di tanah Vietnam dalam 50 tahun terakhir, tetapi sebagian besar telah dimaafkan AS, negara Asia Tenggara itu tetap takut dengan "ancaman China". Penggemar Trump di Vietnam menjadi dua kelompok, menurut analis politik dan vlogger Linh Nguyen.

Mereka yang menyukainya hanya karena hiburan dan glamour, dan mereka yang "mati-matian pendukung Trump" hingga mengikuti politik AS karena mereka percaya, seperti banyak orang di Hong Kong dan Taiwan, dialah satu-satunya benteng yang dapat melawan pemerintah Komunis di China dan Vietnam.

Beberapa seperti aktivis politik Vinh Huu Nguyen percaya bahwa hanya seseorang seperti Trump "yang berani sampai pada titik sembrono dan bahkan agresi" yang benar-benar dapat membuat perbedaan.

"Dan itulah yang membedakannya dari para pendahulunya. Berurusan dengan China membutuhkan orang-orang seperti itu." Ketika Donald Trump berkuasa, Nguyen mengatakan dia merasa dunia akhirnya akan "sadar akan bahaya China" dan "bentuk baru kapitalisme negara komunis".

Jepang telah lama dianggap sebagai mitra dan sekutu yang berharga bagi AS. "Donald Trump adalah sekutu kami. Untuk Jepang, alasan terbesar kami mendukungnya adalah keamanan nasional," kata Yoko Ishii, seorang YouTuber yang membuat vlog dengan nama Random Yoko.

Ishii merujuk pada gangguan yang sering terjadi pada pesawat dan kapal militer China ke wilayah udara dan perairan Jepang. Sebagian besar berpusat di sekitar Kepulauan Senkaku yang disengketakan, diklaim oleh Tokyo dan Beijing yang menyebut mereka Kepulauan Diaoyu.

"Kami benar-benar menginginkan seorang pemimpin dari AS yang dapat melawan China secara agresif," katanya. "Saya tidak berpikir siapa pun bisa begitu blak-blakan dan memiliki kehadiran yang kuat, itu benar-benar harus Donald Trump," imbuhnya.

Ishii melihat Jepang dalam aliansi semu dengan negara dan wilayah Asia lainnya yang akan meminta dukungan AS terhadap Beijing. Meskipun dia sangat mendukung Trump untuk tetap berada di Gedung Putih, pendukung vokal seperti dia adalah minoritas di Jepang.

Meskipun secara umum, pandangan positif tentang AS diterima oleh mayoritas, hanya seperempat orang Jepang yang memiliki kepercayaan kepada Trump. Tidak seperti beberapa tetangga Asia sebelumnya, banyak yang berharap Biden sebagai presiden baru, karena dipandang sebagai seseorang yang akan terlibat dengan sekutunya dengan cara yang tidak dilakukan Trump, yaitu dengan akan kembali memasuki proses Kemitraan Trans-Pasifik dan terlibat lebih dekat dengan Tokyo, secara ekonomi dan militer.

==

Biden Konsisten di atas 50 Persen

Seminggu jelang hari pemungutan suara pemihan presiden (pilpres) Amerika Serikat (AS) 2020 pada 3 November, deja vu menyelimuti warga dunia terutama rakyat "Negeri Paman Sam" dan pendukung Partai Demokrat.

Calon presiden (capres) Partai Demokrat Joe Biden saat ini menurut jajak pendapat memimpin atas lawannya capres Partai Republik Donald Trump. Empat tahun yang lalu capres Demokrat Hillary Clinton juga unggul di survei atas Trump.

Tentunya kita semua tahu siapa yang memenangkan pilpres 2016. Tidak sedikit yang percaya underdog Trump dapat mengulangi kemenangan mengejutkannya itu.

Selain itu muncul juga keraguan akan akurasi survei. Apakah memang angka-angka survei yang menunjukan keunggulan Biden dapat dipercaya. Analisa Kompas.com menunjukan walau sama-sama memimpin atas Trump, keunggulan Biden dan Clinton sangat berbeda jika dikaji lebih dalam. Biden konsisten di atas 50 persen Perbedaan paling krusial antara keunggulan Biden dan Clinton adalah angka yang mereka raih di survei nasional dan survei swing states.

Biden konsisten perkasa memimpin dengan raihan 50 persen atau lebih. Rataan agregasi survei nasional oleh FiveThirtyEight menunjukan mantan Wakil Presiden Barack Obama itu selalu berada di zona 50 persen, sejak menjadi calon unggulan Demokrat pada Maret 2020. Politisi kawakan berusia 77 tahun itu juga tak tergoyahkan mendekati atau berada di zona 50 persen di swing states krusial, terutama di negara bagian Rust Belt yaitu Pennsylvania, Wisconsin, dan Michigan.

Hal ini sangat berbeda dengan Clinton. Mantan Menteri Luar Negeri AS itu tidak pernah menyentuh angka 50 persen. Angka tertinggi Clinton pada survei nasional menurut akumulasi data FiveThirtyEight adalah sekitar 46 persen. Hasil suara nasional atau popular vote istri mantan presiden Bill Clinton itu tidak berbeda jauh yaitu 48,2 persen.

Keunggulan Biden di survei nasional atas Trump juga jauh lebih besar dari keunggulan Clinton atas presiden berusia 74 tahun itu.

Biden saat ini memimpin dengan rataan 52 persen dan unggul 9,1 poin menurut data terakhir Five Thirty Eight, Minggu malam (26/10/2020) waktu setempat. Clinton seminggu sebelum pemilu hanya memimpin dengan rataan keunggulan 3 poin. Angka 50 atau lebih persen kerap disebut magic number karena mengacu kepada angka yang dijadikan acuan untuk meraih kemenangan pada pemilu.

Angka ini juga identik dengan mayoritas suara. Biden saat ini berada pada zona aman untuk mengunci kemenangan. Di survei, mayoritas rakyat "Negeri Paman Sam” menjatuhkan pilihan kepada politisi senior dari Delaware itu.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengapa Keunggulan Joe Biden 2020 Berbeda dengan Hillary Clinton 2016?", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/global/read/2020/10/26/155845870/mengapa-keunggulan-joe-biden-2020-berbeda-dengan-hillary-clinton-2016?page=2

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved