Kini Janda Bolong Dihargai Rp100 Juta, Siapa 'Penggorengnya' yang Bikin Harga Jadi Irasional
Kelatahan terhadap gejala yang ada di tengah masyakarat pun bisa mengalahkan hal-hal yang tak masik akal.
SRIPOKU.COM –Sikap kelatahan masyarakat kadang kala mampu mengalah yang rasional.
Kelatahan terhadap gejala yang ada di tengah masyakarat pun bisa mengalahkan hal-hal yang tak masik akal.
Salah satu contoh terhadap kegilaan dan kelahatan terhadap hal yang lagi ngetren padahal seharusnya biasa-biasa saja.
Salah satu contoh seperti yang diwartakan Intisari-Online.com yang menyebutkan harga janda bolong yang tembus hingga Rp100 juta mengingatkan kita dengan anturium yang bahkan dikabarkan ditukar dengan mobil Toyota Innova.
Situasinya dianggap mirip, yaitu di mana sebuah tanaman yang awalnya dianggap biasa-biasa saja tiba-tiba dihargai sangat tinggi.
Bahkan beberapa orang menganggap harga tanaman tersebut sudah sangat tidak irasional.
Lalu, mengapa fenomena tersebut bisa terjadi? Siapakah yang berperan 'menggoreng' harga janda bolong maupun anturium?
Ya, jika kita ingat ke belakang, jenis tanaman yang hits dan menjadi tren adalah anturium, aglaunema, dan sebagainya.
Sempat dijual dengan harga fantastis, kini harga tanaman itu sudah mulai turun, tidak setinggi di masa puncak popularitasnya.
Apa yang sebenarnya terjadi pada fenomena pasar yang seperti ini?
Ekonom dari Institute Development of Economics and Financial (Indef), Bhima Yudhistira menyebut fenomena semacam ini disebut sebagai gelembung ekonomi atau bubble economy.
"Teorinya adalah gelembung ekonomi (bubble economy) di mana harga aset menyimpang jauh dari nilai intrisiknya," kata Bhima saat dihubungi Kompas.com, Minggu (27/9/2020).
Bhima menjelaskan, dalam sejarahnya fenomena ini pertama kali tercatat pada 1637.
Saat itu, bunga tulip dihargai 3.000-4.200 Gulden di Eropa.
"Kemudian Charles Mackay, menulis buku terkenal Extraordinary Popular Delusions and the Madness of Crowds, bahwa harga tulip bisa melambung tinggi karena pasar irasional," sebut Bhima.
