Rumah Kapitan
Selain Objek Wisata, Rumah Kapitan Digunakan Tempat Sembahyang dan Simpan Abu dari Keturunan Kapitan
“Tahun 2008 itu paling ramai pengunjung datang, dalam sehari bisa sampai 600 pengunjung, mulai dari pengunjung lokal, luar kota dan luar negeri datang
Penulis: maya citra rosa | Editor: aminuddin
SRIPOKU.COM, PALEMBANG -- PADA masa kepemimpinan Tjoa Han Him, wilayah 7 Ulu ini, semakin berkembang dan menjadi sentral perdagangan di bawah pemerin tahan Belanda.
Warga kemudian menyebut daerah itu sebagai Kampung Kapitan untuk menghormati jasa Sang Kapten.
Luas bangunan 165 x 85 meter, sudah berusia 400 tahun, kampung ini adalah sebuah kawasan yang terdiri dari 15 bangunan rumah panggung milik etnis Tionghoa pada masa kolonial Belanda.
Nama Kampung Kapitan diilhami dari kisah seorang pemimpin masyarakat Tiongkok Palembang bernama Tjoa Kie Tjuan.
Saat itu, Tjoa Kie Tjuan memimpin sejak 1830-1855 dan berpangkat mayor.
Kekuasaannya diteruskan oleh sang putra, Tjoa Han Him dengan pangkat kapten atau kapitan.
• 8 Objek Wisata di Kepulauan Natuna Ini Boleh Kamu Singggahi Karena Sangat Memesona Hati dan Indra
Kampung Kapitan dulunya langsung menghadap Sungai Musi, tanpa ada rumah atau bangunan di depannya.
Yang ada hanya rumah be rukuran sekitar 25 x 50 meter, warisan dari seorang perwira Cina berpangkat mayor, dikenal Mayor Temenggung.
Kemudian dilanjutkan Tjoa Kie Tjuan, dan turun temurun diwariskan hingga akhirnya menjadi milik seorang Kapitan atau Kapten, setingkat walikota, bernama Tjoa Ham Ling, seorang residen yang diangkat oleh Belanda untuk memimpin Kota Palembang pada sekitar tahun 1855.
Tepat di sebelah rumah Kapitan, terdapat rumah bangunan batu bercat putih, bernuansa Tionghoa namun sudah bergaya Eropa, yang dibangun pemerintah Belanda untuk menjadi perkantoran bagi Kapitan.
Pewaris keturunan ke 14 Rumah Kapitan, Tjoa Tiong Jie atau Mulyadi, bercerita tentang keturunan Kapitan yang berawal setelah runtuhnya Kerajaan Sriwijaya, para pedagang dari Cina, pada masa Dinasti Ming, sekitar Tahun 1377, datang ke Palembang, dilanjutkan dengan Dinasti Cing yang merupakan keturunan saat ini.
• Wisatawan tak Pakai Masker Saat Berkunjung ke Kota Pagaralam akan Didenda Rp 250 Ribu atau Dipenjara
Kawasan Kampung Kapitan dulunya terbentang dari Sungai Kelenteng hingga Sungai Seko, tapi sungainya sekarang sudah tidak ada lagi, sudah jadi daratan,” ujarnya.
Mulyadi sudah diwariskan rumah Kapitan sejak tahun 2008 silam.
Kala itu, masyarakat mulai mengenal Kampung Kapitan sebagai objek wisata Pecinan di Kota Palembang.
“Tahun 2008 itu paling ramai pengunjung datang, dalam sehari bisa sampai 600 pengunjung, mulai dari pengunjung lokal, luar kota maupun luar negeri datang,” jelasnya.
Rumah Kapitan, selain tempat wisata, juga digunakan sebagai tempat sembahyang dan menyimpan abu dari keturunan Kapitan.
Rumah Kapitan sendiri memiliki makna sebagai tempat ibadah menghormati para leluhur dan menyembah dewa.
Terdapat delapan pilar atau tiang di setiap rumah yang melambangkan tidak putusnya hubungan.
• WISATAWAN Asing Nihil Datang ke Kota Palembang, Sektor Pariwisata Makin Memprihatinkan
“Seperti angka 8, tidak ada putusnya, bersambung, seperti itu juga hubungan atau garis keturunan Kapitan,” kata dia.
Saat ini, Mulyadi setia menjaga rumah Kapitan. Menghuni kamar yang dulunya dipakai Kapitan untuk beristirahat.
Information:
Page: 2
Order by page: 0
Edition date: Wed, 23 Sep 2020
Created date: Mon, 10 Feb 2020 20:18