Berita Lahat

Kisah Dibalik Nama Desa Tunggul Bute Lahat, Berawal dari Misteri Butanya Mata Tentara Belanda

Kabupaten Lahat, merupakan salah satu kabupaten tertua di Sumatera Selatan.

Penulis: Ehdi Amin | Editor: Yandi Triansyah
SRIPOKU.COM / Edhi Amin
Desa Tunggul Bute Lahat 

Laporan wartawan Sripoku. com Ehdi Amin

SRIPOKU.COM, LAHAT -- Kabupaten Lahat, merupakan salah satu kabupaten tertua di Sumatera Selatan.

Saat ini, kabupaten berjuluk Bumi Seganti Setungguan ini berusia 143 tahun.

Selain memiliki kekayaan yang berlimpah seperti di bidang pertambangan, Kabupaten Lahat, juga memilik destinasi wisata dan salah satu yang cukup terkenal yakni megalit yang berusia ribuan tahun.

Kabupaten Lahat, memiliki 22 kecamatan dan 360 desa.
Nah, dari ratusan desa yang ada, ada satu desa yang cukup menarik untuk diketahui.

Gempa di Bengkulu Terasa hingga ke Pagaralam, Benda Tergantung Sampai Bergoyang

 

Polisi Buru Terduga Pelaku Asusila yang Rumahnya Dirusak Warga di Sukaraja Muratara

Tidak saja soal nama, desa ini berada 'di atas awan' karena keberadaanya di dataran tinggi hingga mencapai 1400-2000 di atas permukaan laut.

Itulah Desa Tunggul Bute. Desa ini berada di Kecamatan Kota Agung, Kabupaten Lahat.

Desa ini berada di wilayah perbukitan di lembah gugus bukit barisan.

Nama Tunggul Bute, cukup menarik tidak saja bagi warga lokal namun bagi warga pendatang.

Terlebih, mungkin hanya desa ini satu satunya di tanah air yang bernama Tunggul Bute.

Jika mengacu kepada kamus besar bahasa indonesia kata 'Tunggul' bermakna pangkal pohon yang masih tinggal tertanam di dalam tanah sehabis ditebang.

Sementara, 'Bute' yakni buta artinya tidak dapat melihat.

Namun, bagi warga Desa Tunggul Bute, makna nama desa tak didapat sesederhana itu.

Beredar di Medsos, Seorang Wanita di Palembang Berlumuran Darah, Diduga Korban Begal di Arah Bandara

 

9 Helikopter Rusia dan Amerika Siap Padamkan Api di Sumsel dengan Kapasitas 4-5 Ton Air

Ada makna lain dan history kenapa warga menamakanya Tunggul Bute.

H. Abastuni, tokoh masyarakat sekaligus salah satu warga yang lahir di Desa Tunggul Bute, tahun 1953 menceritakan kepada kami asal muasal nama desa Tunggul Bute.

Menurutnya, nama Tunggul Bute tidak bisa lepas dari adanya pengaruh tentara belanda kala itu.

Abustoni mengatakan jauh sebelum Indonesia Merdeka, tentara Belanda kerap melintasi wilayah Semendo (Kabupaten Muara Enim, dan Pasemah (Kabupaten Lahat).

Gerakan tentara belanda itu, membuat warga khawatir akan terjadinya penyerangan kepada warga.

Apalagi, tentara belanda dipersenjatai dengan senjata api hingga membuat warga salah satunya Abdul Manaf, orang yang pertama kali bermukim di Tunggul Bute, memilih bersembunyi di tengah rimbahnya hutan di Tunggul Bute kala itu.

Tiket Promo Pesawat Garuda Indonesia Palembang- Jakarta Rp 454 Ribu

 

Cara Klaim Token Listrik Gratis PLN Bulan Agustus, Cek Kode Rekening, Begini Cara Mendapatkannya!

"Orang yang pertama kali menempati desa Tunggul Bute adalah nenek moyang kami bernama Abdul Manaf, yang merupakan warga keturunan Semendo.

Beliau datang ke sini untuk menghindar dari serangan tentara belanda lantaran sering mendatangi Semendo dan Pasemah, hingga perlahan banyak warga yang datang untuk bersembunyi ke Tunggul Bute, "cerita, Abustoni, saat dibincangi Sripoku.com, Minggu (2/8/2020).

Perlahan, banyak warga yang datang ke Tunggul Bute, termasuk orangtua saya.

Nah, ternyata Tunggul Bute ini menjadi perlintasan bagi tentara Belanda baik akan ke Semendo maupun ke Pesemah.

Bahkan, tak jarang bermalam dengan menempati rumah warga.

Namun, dari cerita para orang tua terdahulu, tentara Belanda selalu 'kecele' dengan warga Tunggul Bute.

Saat, tentara itu meneropong dari jarak jauh mendapati banyak warga yang ada di desa Tunggul Bute ini.

Asal Usul Nama Kota Palembang, Dulunya Tempat Mencuci Emas dan Timah di Muara Ogan Kertapati

 

Cara Kepoin Nomor Paling Sering Chattingan di WhatsApp, Jangan-jangan Kamu Bukan Prioritas Doi

Namun, saat meraka tiba di sini warga tersebut khususnya laki laki menghilng tanpa jejak.

Tentara hanya mendapati para perempuan.

"Kala itu tentara Belanda sempat marah kepada ibu ibu yang ditemukan.

Mereka bertanya kemana laki laki desa ini, tapi dijawab ibu ibu sudah pergi jauh.

Bahkan ada yang bilang jika sudah meninggal demi menyelamatkan suaminya dari kejaran tentara Belanda.
Padahal dari pantaun belanda melalui teropong terlihat adanya laki laki. Mereka sering bermalam di sini dan menghuni rumah warga yang ditinggalkan. Yang dicari itu laki laki, "ujarnya.

Dikatakan Abustuni, langkah lain untuk mengecoh belanda warga menebang pohon dan menyisakan tunggul.

Setelah itu, di atas tunggul dibalutkanla pakaian hingga dari kejauhan terlihat orang namun setelah didekati hanya sebatas tunggul.

Rumah Syariah di Lubuklinggau Bermasalah, Walikota Setop Aktivitas Pembangunan hingga Pemasaran

 

Balik Nama Kendaraan Bekas Gratis di Sumsel, Berikut Jadwalnya

Itu juga awal mula nama desa disebut tunggul bute.

Karena warga sini bisa membuat mata belanda menjadi buta karena tidak dapat melihat orangnya.

"Dalam bahasa kami Tentara belanda kala itu disebut limu'an (dibutakan matanya), "sampai Abustuni, didampingi Syarif, yang merupakan anak dari Mat Syeh, yang merupakan anak Abdul Manaf.

Mat Syeh sendiri merupakan seorang kepala desa selama puluhan tahun menggantikan Abdul Manaf.

Diceritakan Abustuni, nama Tunggul Bute sendiri sempat ingin dirubah menjadi tunggul Buta, dengan menyesuaikan KBBI.

Namun, warga sini lebih memilih dengan sebutan Tunggul Bute, sesuai dengan bahasa sehari hari warga di Kabupaten Lahat, dengan akhiran 'e'.

Ada juga yang menyebut desa di atas awan itu karena ketingiannya dan kerap ditutupi kabut dan embun.

H Abustoni
H Abustoni (SRIPOKU.COM / Edhi Amin)

Disampaikannya, jika penduduk sudah majemuk meski mayoritas dari keturunan Semendo.

"Pasemah banyak, jawa juga banyak. Saat ini jumlah penduduk sudah ribuan.

Untuk adat istiadat masih banyak menggunakan adat semendo yang merupakan peninggalan nenek moyang. Sementara, rata rata warga merupakan petani kopi, padi dan sayuran, "ujarnya.

Kendati saat ini sudah berubah pesat jika dibandingkan puluhan lalu, namun Abustuni, melihat jika desanya itu masih tertinggal jauh dari desa lain yang ada di kabupaten Lahat.

Masih banyak warga yang miskin, belum adanya listrik tiangnya sudah satu tahun berdiri tapi belum ada kabel atau aliran listriknya.

Warga hanya memakai turbin sebagai pencahayaan yang sangat terbatas dan hanya hidup malam hari.

Jalan masih jauh dari kata layak hanya di tengah desa yang diaspal itu juga tak menyeluruh.

Petani hanya bertani dengan mengandalkan tenaga karena tidak ada bantuan alat pertanian. Begitu juga dibidang pendidikan.

"Harapan kita kepeda pemerintah meski kami berada jauh dari kota dan berada diperbukitan tolong perhatikan kami,"sampainya

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved