Logika Hukum Titipan Diterima JPU Pembela Terdakwa
Seorang jaksa dalam merumuskan tuntutan pada surat dakwaannya haruslah dengan terlebih dahulu menelisik kebenaran.
Oleh: Dr. Muhamad Erwin, S.H., M.Hum.
Dosen Politeknik Negeri Sriwijaya, Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, dan STIHPADA
Untuk “pro justitia” dalam memenuhi syarat formal dokumen hukum, seorang jaksa dalam merumuskan tuntutan pada surat dakwaannya haruslah dengan terlebih dahulu menelisik kebenaran.
Kebenaran itu mengemuka, jika dapat menempatkan logika hukum.
Oleh karena itu, logika hukum sebagai bagian ilmu hukum dalam disiplin hukum harus dipahami oleh seorang jaksa sebagai suatu bentuk legitimasi ilmiah sehingga dapat merasa lebih mantap dalam menampilkan tuntutannya.
Ilmu hukum adalah untuk kenyataan, bukan sebaliknya.
Sebab apabila kenyataan untuk ilmu hukum, maka kenyataan akan dimanipulasi sehingga cocok dengan teori yang ada.
Dari kenyataan, ilmu hukum itu muncul dan terhadap kenyataan itu pula ilmu hukum diuji. Jalan pengujian yang ditempuh ilmu hukum adalah melalui kebenaran.
Oleh karena itu ilmu hukum tentunya akan menjadi kurang matang atau dewasa apabila ia selalu berusaha menepis tentang hal-hal yang menyimpang sebagai sesuatu yang tidak perlu dihiraukan.
Begitupun terhadap bagaimana ilmu hukum dapat menghadapi kenyataan bahwa tim jaksa mengajukan tuntutan masing-masing satu tahun penjara terhadap kedua orang anggota Polri yang dititipkan sebagai terdakwa pelaku penyiraman air keras (cairan H2SO4) ke muka penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan pada 11 April 2017?
Berikut kita telusuri bagaimana logika hukum dalam gugus perbuatan pidana, pertanggungjawaban pidana, dan pemidanaan pada kejahatan luar biasa terhadap Novel Baswedan ini.
Perbuatan Pidana
Tujuan hukum pidana menurut aliran klasik adalah untuk melindungi kepentingan individu dari kesewenang-wenangan penguasa.
Sementara dalam aliran modern, hukum pidana bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan.
Kedua tujuan itu begitu relevan untuk menjadi batu uji terhadap ontologi hukum (keberadaan hukum) perkara kejahatan terhadap Novel Baswedan yang dari sejak bergulir telah disandiwarakan secara sewenang-wenang.
Berbicara mengenai kejahatan erat kaitannya dengan gambaran kualitas buruk yang ditampilkan oleh para pelaku.
Kualitas buruk yang dimaksud berhubungan dengan elemen-elemen kejahatan sebagai perbuatan pidana terhadap Novel Baswedan ini adalah sebagai berikut:
Pertama, Perbuatan yang terdiri dari kelakuan dan akibat.
Peristiwa hukum penganiayaan berat yang berupa penyiraman air keras ke muka Novel Baswedan tentulah dimulai dari adanya perencanaan matang, pengintaian, lalu dilanjutkan dengan pernyataan kehendak berupa penyiraman air keras ke muka Novel Baswedan yang kemudian menimbulkan kecacatan permanen mata kiri Novel Baswedan.
Dengan demikian di antara tindakan dengan akibat pada perkara ini merupakan satu rangkaian dalam perbuatan yang tidak dapat dipisahkan.
Kedua, hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.
Sebetulnya kalau sejak masa penyidikan oleh Polri dan memang jaksa tidak sekedar mengolah logika hukum titipan.
Namun, dapat menggali lebih dalam dengan dapat membuktikan bahwa perkara ini bukan sekedar sebagai penganiayaan berat terhadap Novel Baswedan dan dapat membuktikan bahwa kejahatan itu adalah sebagai akibat dari adanya perintah ataupun bujukan dari aktor intelektual, maka artinya telah dapat menampilkan elemen hal ikhwal yang menyertai perbuatan.
Ketiga, keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
Konkritnya hubungan elemen ini dengan perkara penyiraman air keras ke muka Novel Baswedan telah dapat digunakan Pasal 355 ayat (1) KUHP yang mengatur bahwa “Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama duabelas tahun” Dimana keadaan tambahan yang memberatkan pidana di sini terletak pada “dilakukan dengan rencana terlebih dahulu”, bukannya sekedar penganiayaan biasa (Pasal 353 ayat (2) KUHP) sebagaimana yang ditampilkan jaksa penuntut umum pada tuntutannya beberapa waktu yang lalu pada perkara Novel Baswedan ini.
Keempat, memenuhi unsur melawan hukum yang objektif (objektif onrechtselement).
Maksudnya, jika perbuatan tersebut nyata memenuhi unsur delik.
Keniscayaan bahwa perkara yang mengorbankan Novel Baswedan ini telah memenuhi unsur delik adalah sebagai berikut:
a. memenuhi delik formil, yakni delik yang menitikberatkan pada tindakan.
Penekanan terletak pada perencanaannya terlebih dahulu sehingga dikatakan sebagai penganiayaan berat;
b. Kalau hendak dihubungkan dengan delik materiil bisa juga, yakni dengan menghendaki akibat dari suatu tindakan, dimana penganiayaan tersebut telah menimbulkan kecacatan permanen pada mata kiri Novel Baswedan;
c. memenuhi delik konkrit, karena peristiwa penyiraman air keras ke muka Novel Baswedan telah menimbulkan bahaya langsung terhadap korban;
d. memenuhi delik politik, karena pada dasarnya tindakan penganiayaan terhadap penyidik senior KPK ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan politik yang ditujukan kepada negara, yakni dengan menyerang aparatur penting negara yang saat itu telah banyak berpengalaman dan sedang mengungkap berbagai perkara korupsi besar pada institusi besar di Indonesia;
d. memenuhi delik selesai, karena para pelaku telah selesai melakukan penganiayaan berat terhadap Novel Baswedan ini secara sempurna.
Jelas sudah bahwa perkara ini telah memenuhi elemen melawan hukum yang objektif.
Kelima, memenuhi unsur melawan hukum yang subjektif (subjektif onrechtselement).
Maksudnya memenuhi unsur ini, jika terdapat niat atau sikap batin (mens rea) dari pelaku.
Jika memang dapat dibuktikan secara jelas oleh Polri dan Kejaksaan, maka mens rea sebagai motif pelaku pada perkara yang mengorbankan Novel Baswedan ini tidak sekedar yang ditampilkan seperti pada sandiwara yang dibacakan melalui nota pembelaan (pledoi) pada 15 Juni 2020 di PN Jakarta Utara dengan begitu kekanak-kanakan, yakni dimana motif si pelaku dilandasi atas kebencian dan dendam, karena menilai Novel Baswedan lupa kacang pada kulit dan tidak menghargai jiwa korsa Polri.
Syahdan, melalui logika deduktif (menemukan yang khusus dari yang umum) atas rangkaian elemen-elemen itu, maka dapat disimpulkan bahwa kejahatan terhadap Novel Baswedan ini merupakan penganiayaan berat.
Menjadi keterlaluan, jika JPU membunyikan tuntutannya pada 15 Juni 2020 yang lalu di PN Jakarta Utara dengan pernyataan seperti ini: “Bahwa dalam fakta persidangan, terdakwa tidak pernah menginginkan melakukan penganiayaan berat. Terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan dengan dengan melakukan penyiraman cairan air keras ke badan Novel Baswedan. Namun mengenai kepala korban. Akibat perbuatan terdakwa, saksi Novel Baswedan mengakibatkan tidak berfungsinya mata kiri sebelah hingga cacat permanen”.
Jaksa menyebut dakwaan primer yang didakwakan dalam kasus ini tidak terbukti.
Oleh karena itu, jaksa hanya menuntut kedua terdakwa dengan dakwaan subsider, yakni masing-masing dengan tuntutan hukuman penjara satu tahun terhadap kedua pelaku.
Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana pada keadaan normal terhadap siapapun dan berapa banyak pelaku penganiayaan berat terhadap Novel Baswedan ini kelak tentunya ditentukan berdasarkan asas pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan (liability based on fault).
Kesalahan dalam pengertian psikologis adalah hubungan batin antara pelaku dengan perbuatan yang dilakukannya. Jika perbuatan tersebut dikehendaki, maka pelaku telah melakukan perbuatan dengan sengaja.
Kesengajaan yang dapat dilekati pada para pelaku penyiraman air keras terhadap muka Novel Baswedan ini dalam hukum pidana masuk dalam kategori dolus premiditatus, yakni kesengajaan yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu.
Dengan demikian kesalahan yang menunjang pertanggungjawaban pidana yang melekat pada para pelaku penganiayaan berat terhadap Novel Baswedan ini adalah ;
a. melalui perencanaan matang terlebih dahulu;
b. melakukan pengintaian;
c. mempersiapkan cairan khusus H2SO4;
d. dengan sengaja menyiramkan cairan H2SO4 ke muka Novel Baswedan;
dan e. mengakibatkan cacat permanen dengan butanya mata sebelah kiri dan terganggunya penglihatan mata sebelah kanan Novel Baswedan yang hanya berfungsi lima puluh persen.
Jadi, mengapa jaksa begitu sulit menggambarkan kualitas buruk kesalahan yang berhubungan dengan Pasal 355 ayat (1) KUHP?
Padahal secara logika deontologis (kesimpulan berdasarkan kepatutan), dimana mala in se pada perkara Novel ini begitu jelas telah dirasakan sebagai ketidakadilan karena bertentangan dengan kaidah-kaidah dalam masyarakat (pulang sholat subuh, muka disiram pakai air keras oleh orang yang tidak sholat subuh) dan jelas dapat diukur pula berdasarkan mala prohibita-nya, yakni perbuatan yang ditetapkan oleh undang-undang sebagai suatu ketidakadilan, yakni dalam bentuk penganiayaan berat bahkan percobaan pembunuhan ataupun dapat pula masuk dalam ranah kejahatan kemanusiaan.
Jika sandiwara penegakan hukum ini terus dilanjutkan, maka akan lebih sulit lagi untuk menemukan pleger (pelaku) lainnya, doenpleger (orang yang menyuruh melakukannya), medepleger (orang yang turut serta melakukan) lainnya, dan uitlokker atau orang yang menganjurkan dalam perkara ini.
Pemidanaan
Geen straft zonder schuld (tiada hukuman tanpa kesalahan), dimana tegasnya pemidanaan yang dapat dijatuhkan tidak terlepas dari tipe dan karakter perbuatan pidana yang dilakukan.
Penganiayaan berat terhadap Novel Baswedan ini adalah kejahatan dalam bentuk dolus premeditatus yang dilakukan secara bersama-sama oleh dua orang atau kemungkinan lebih ini tentulah dimulai dengan suatu permufakatan jahat.
Dolus premeditatus adalah suatu keadaan yang memberatkan dalam penjatuhan pidana.
Semestinya kejahatan seperti ini diproses melalui logika materiel (penalaran yang valid dari logika formal untuk keuntungan terbaik dalam mengekspolrasi problem yang dihadapi), yakni dengan mengadakan tuntutan pemidanaan alternatif gabungan agar dapat memberi contoh bahwa negara ini serius dalam pemberantasan korupsi sehingga jangan coba-coba melakukan kejahatan terhadap aparatur negara yang bekerja dalam pemberantasan korupsi.
Dengan fenomena sandiwara penegakan hukum terhadap kejahatan yang mengorbankan Novel Baswedan ini, maka adalah wajar jika hendak menghaturkan turut berbelasungkawa atas sakit parahnya hubungan di antara ius constitutum (hukum yang sedang berlaku) dengan ius operatum (hukum yang sedang ditegakkan) di negeri ini.