Novel Beberkan Ada Pejabat Penting Menjadi Dalang Penyerangan Dirinya, Lebih 10 Perkara Pelaku Sama

Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan menduga ada sosok pejabat penting dalam kasus penyerangan atas dirinya.

Editor: adi kurniawan
KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG
Penyidik KPK Novel Baswedan tiba di gedung KPK, Jakarta, Kamis (22/2/2018). Novel kembali ke Indonesia setelah sepuluh bulan menjalani operasi dan perawatan mata di Singapura akibat penyerangan air keras terhadap dirinya. 

SRIPOKU.COM -- Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan menduga ada sosok pejabat penting dalam kasus penyerangan atas dirinya.

Dilansir TribunWow.com, hal itu ia sampaikan dalam acara Mata Najwa di kanal YouTube Najwa Shihab, Rabu (17/6/2020).

Novel Baswedan diketahui menjadi korban penyiraman air keras di wajah oleh dua anggota polisi, Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis.

Terungkap Lewat Foto Satelit Aktivitas Besar China Sebelum Bentrok dengan India

Seorang Santri di Pagaralam Positif Covid-19, Pondok Pesantren Tempat Dia Belajar Ditutup Sementara

Aksi Heroik Seorang Siswi di Prabumulih Lumpuhkan Dua Pejambret Handphone Nekat Tendang Motor Pelaku

Presenter Najwa Shihab saat bertanya sosok 'orang kuat' di balik kasus Novel Baswedan, dalam acara Mata Najwa, Rabu (17/6/2020).
Presenter Najwa Shihab saat bertanya sosok 'orang kuat' di balik kasus Novel Baswedan, dalam acara Mata Najwa, Rabu (17/6/2020). (Capture YouTube Najwa Shihab)

 

Keduanya lalu dituntut 1 tahun penjara pada Kamis (11/6/2020) lalu.

Sebagai korban, Novel menduga ada otak yang menjadi dalang penyerangan dirinya.

Hal itu ia ungkapkan saat meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjukkan sikap pada kasus yang menimpa dirinya.

Awalnya Novel mengapresiasi pernyataan presiden tentang kasus tersebut.

"Saya ingat sekali bahkan Pak Presiden pun menyikapi dengan sangat baik. Kok ya tidak digubris sama bawahannya, itu yang saya heran," ungkap Novel Baswedan.

"Apa yang terjadi? Apakah Pak Presiden harus melihat lagi kok sampai bawahannya tidak melakukan apa yang dia perintahkan?" tanya dia.

Melihat fakta itu, Novel merasa wajar jika meminta Jokowi sendiri turun tangan dalam perkaranya.

Ia menyinggung ada banyak perkara penyerangan serupa yang tidak diketahui publik.

Novel mengungkapkan dugaan bahwa pelaku penyerangan terhadap penyidik KPK direncanakan otak yang sama.

"Saya sangat wajar meminta itu, karena Pak Presiden mengatakan agar diusut terkait dengan perkara saya," kata Novel.

"Sudah ada 10 lebih perkara terkait orang-orang di KPK dan saya yakin rangkaian pelakunya sama," ungkap dia.

Presenter Najwa Shihab langsung menanyakan sosok yang dimaksud Novel Baswedan.

"Orang yang begitu kuat yang tadi Anda sebut?" tanya Najwa.

"Kuat karena dibiarkan. Kalau diusut, enggak kuat dia," jawab Novel.

 

Najwa mencoba menduga siapa sosok yang disinggung narasumbernya ini.

"Kelompok yang sama yang merasa kepentingannya terganggu karena kerja-kerja yang dilakukan KPK," ucap Najwa Shihab.

"Benar," jawab Novel.

Novel menjelaskan alasan atas dugaannya tadi.

Meskipun menduga sosok tersebut berkuasa, ia tidak ingin kelompok ini disebut kuat.

"Kenapa saya katakan begitu? Saya enggak ingin mengatakan mereka kuat, sebenarnya," ungkap Novel.

"Kalau dibilang kuat, besar kepala nanti. Mereka harus kita katakan kalau orang yang berbuat jahat enggak ada yang kuat," jelasnya.

Novel meminta kelompok yang berkuasa ini agar jangan dibiarkan berlarut-larut.

"Kita harus lihat ketika ada kejahatan dilakukan terus-menerus, menghalangi atau menghambat upaya kebaikan, maka kalau dibiarkan seolah-olah kuat," papar Novel.

"Maka dari itu harus direspons agar mereka tidak kuat. Kalau kuat, akan berbuat lagi nanti," tambahnya.

Najwa menanyakan kemungkinan sosok 'kuat' ini juga yang mengatur jalannya sidang sampai akhirnya diajukan tuntutan 1 tahun penjara.

"Kelompok yang kuat ini yang menurut Anda mengatur skenario yang sekarang berjalan di proses persidangan?" tanya Najwa.

"Saya menduga kuat begitu," jawab Novel.

Lihat videonya mulai menit 7:30

Haris Azhar: Pengadilan Ini Simbolisasi

Aktivis HAM Haris Azhar meragukan alasan dendam pribadi dua pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan.

Dilansir TribunWow.com, hal itu ia sampaikan dalam tayangan Apa Kabar Indonesia Pagi di TvOne, Rabu (17/6/2020).

 Haris Azhar meragukan alasan dendam pribadi yang disebut kedua penyerang Novel Baswedan.

Sebelumnya Rahmad Kadir Mahulette dan Rony Bugis menuduh Novel sebagai pengkhianat.

"Dua orang ini tiba-tiba teriak 'Novel pengkhianat', tapi terus motifnya pribadi," kata Haris Azhar.

Aktivis HAM Haris Azhar meragukan alasan dendam pribadi dua pelaku penyerangan Novel Baswedan, dalam Apa Kabar Indonesia Pagi, Rabu (17/6/2020).
Aktivis HAM Haris Azhar meragukan alasan dendam pribadi dua pelaku penyerangan Novel Baswedan, dalam Apa Kabar Indonesia Pagi, Rabu (17/6/2020). (Capture YouTube Apa Kabar Indonesia TvOne)

Menurut dia, alasan itu tidak logis karena sama saja mengaitkan Novel Baswedan dengan institusi yang menaunginya dulu, yakni kepolisian.

Seperti diketahui, Novel sempat bertugas di Bareskrim Mabes Polri sebelum dipindah ke KPK.

"Kalau pengkhianat, asumsinya dulu Novel di kepolisian terus mungkin berkhianat karena melakukan tindakan yang bertentangan dengan kepolisian," kata Haris.

Ia juga menyoroti alasan dendam pribadi yang disampaikan kedua pelaku.

Haris menyinggung pelaku yang tampak memiliki skenario penyerangan.

 

"Terus di persidangan disebutnya motifnya pribadi. Terus nyiram air cuka atau air apapun itu di pagi hari, di kompleks rumah orang," papar Haris.

"Yang dua orang ini kita enggak tahu dari mana, bukan dari situ, bawa air yang membahayakan orang," lanjutnya.

Ia menyoroti alasan kedua pelaku yang menyebutkan 'tidak sengaja' menyiramkan air keras yang mengenai wajah Novel Baswedan.

"Enggak sengaja bawa air cuka di kompleks rumah orang yang diportal di mana-mana," tutur Haris.

Haris kemudian mengecam tuntutan yang disampaikan jaksa penuntut umum (JPU).

Ia bahkan menyebutkan pengadilan tersebut hanya sebagai simbolisasi.

"Jadi menurut saya ini kelihatan betul pengadilan yang dilakukan di PN Jakarta Utara ini adalah hanya simbolisasi," ungkap Haris.

"Kalau misalnya mau manggil Jaksa Agung, penting juga dipanggil sejumlah institusi lain yang sering menggunakan penegakan hukum sebagai alat simbolisasi," tambah

Sumber: TribunWow.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved