Virus Corona
Indonesia Di Ambang Kesengsaraan Jika BI Nekat Cetak Uang Rp 4.000 Triliun karena Dampak Corona
Sejumlah negara yang terpapar virus corona kalangkabut melakukan antisipasi yang langsung berdampak ekonomi termasuk Indonesia.
Makin rupiah tak berarti di mata internasional, maka utang negara akan otomatis membengkak.
Sebagai mata uang yang tak diakui secara internasional, rupiah tidak dapat sekonyong-konyong dicetak tanpa pertimbangan.
Bererdarnya jumlah uang yang terlalu banyak juga mengakibatkan daya beli masyarakat anjlok.
Mengakibatkan adanya PHK karyawan besar-besaran, karena banyak perusahaan yang menurunkan dan menahan produksi barang/jasa.
Situasi ini kemudian membuat investor tak tertarik berinvestasi di Indonesia, atau dalam kondisi terparahnya, investor akan menarik modal yang di tanam di Indonesia.
Bank sentral tak ingin mengulang BLBI 1998
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, alasan lain mengapa BI menolak mencetak uang sebab bank sentral enggan mengulang kasus Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) saat 1998.
Saat itu, angka inflasi Indonesia mencapai 67 persen.
"Waktu BLBI dulu, salah satunya BLBI-nya kan bank sentral mengedarkan uang, penggantinya dikasih surat utang pemerintah, surat utang pemerintahnya tidak kredibel, tidak kredibel karena suku bunganya mendekati nol," kata Perry ketika memberikan penjelasan kepada anggota Komisi XI DPR RI secara virtual.
Perry mengatakan, saat inflasinya naik, bank sentral tidak menyerap surat utang pemerintah dan likuiditas.
"Di tahun 98-99 inflasinya 67 persen, itu yang disebut pencetakan uang," tambahnya.
Alih-alih melakukan pencetakan besar-besaran, BI kata Perry, lebih memilih melakukan kebijakan moneter lain untu menambah likuiditas.
Seperti menurunkan giro wajib minimum (GWM) hingga membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.