Berita Palembang
Bahas Raperda Pajak Restoran, Pengusaha Rumah Makan di Palembang Was-was, Ngaku Omset Turun
Selain itu, akibat penerapan pajak tersebut restoran kecil mengalami penurunan omset paling tidak 30 persen.
Penulis: maya citra rosa | Editor: Yandi Triansyah
Laporan Wartawan Sripoku.com Maya Citra Rosa
SRIPOKU.COM, PALEMBANG -- Pembahasan revisi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Nomor 2 Tahun 2018 tentang pajak daerah berjalan alot.
Dari enam jenis pajak yang direvisi, pajak restoran menjadi sorotan publik karena berkaitan langsung dengan masyarakat menengah ke bawah.
Pelaku usaha pun dibuat was-was menunggu hasil revisi Raperda tersebut.
Hal ini dikemukakan Ridwan Hayatuddin, SH,MH, Ketua Persatuan Pengelola Rumah Makan Minang Palembang.
Menurutnya saat ini pemerintah juga belum menemukan cara yang efektif untuk mendapatkan pemasukan negara secara intensif, kecuali dari pajak.
Pajak-pajak baru dengan kriteria dan definisi yang terkadang kurang sosiologis atau bertentangan dengan kondisi masyarakat seperti pajak restoran, yang dibebankan kepada konsumen.
"Pajak itu dihitung dari harga jual, sedangkan harga jual yang sama antara satu restoran dengan lainnya menghasilkan berbeda, tidak bisa disamakan," ujarnya, Rabu (26/2/2020).
Selain itu, akibat penerapan pajak tersebut restoran kecil mengalami penurunan omset paling tidak 30 persen.
Bahkan ada yang sampai 40 persen, akibatnya semakin banyak rumah makan yang tutup atau mengurangi pegawai.
"Efek lainnya, semakin banyak rumah makan yang banting harga, pelaku usaha rumah makan sudah saling serang dengan perang harga," ujarnya.
Saat ini, pemerintah Kota Palembang bersama DPRD sedang merevisi Rancangan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2018 tentang pajak daerah yang mengatur rumah makan atau restoran.
Namun pemilik restoran semakin khawatir karena kemungkinan pembebanan pajak 10 persen disamaratakan terhadap seluruh rumah makan.
"Revisi ini menjadi bahasan para pelaku usaha kuliner, mereka mengikuti dengan was-was dapat menjadi lebih besar angka pajak nantinya," ujarnya.

Wakil Ketua Pansus IV tentang Pajak Daerah, Muhammad Hibbani mengatakan dari enam jenis pajak yang direvisi, pajak restoran menjadi sorotan publik karena berkaitan langsung dengan masyarakat menengah ke bawah.
Jalannya pembahasan revisi mulai dari mendengarkan aspirasi para pelaku usaha kuliner hingga saat ini masih menentukan limit omset yang didapat pelaku usaha untuk dikenakan pajak.
"Terjadi diskusi yang cukup menarik antara pihak eksekutif dan legislatif terutama terkait batas bawah omset sebuah usaha dikenakan pajak restoran," ujarnya.
Pada awalnya pemerintah Kota Palembang mengusulkan limit omset sebesar Rp. 6.000.000 per bulan, namun hal ini dianggap terlalu membebani.
"Sebelumnya ada demo dari pelaku usaha kuliner, ini berarti apa yang dikatakan DPRD sejalan dengan kondisi masyarakat saat ini yang merasa terlalu berat," ujarnya.
Hibbani juga mengatakan berkaca dengan Kota Surabaya, limit omset yang diambil sebagai pajak restoran sebesar Rp. 15.000.000 per bulan, seharusnya limit tersebut juga menjadi patokan pajak restoran Kota Palembang.
Ketua Fraksi PKS DPRD Kota Palembang ini juga mengatakan sampai saat ini Reperda tersebut masih dibahas, dengan tetap mempertimbangkan target pajak daerah Tahun 2020 yang naik hingga 1,5 Triliun, namun juga tidak membebani pelaku usaha kuliner atau UMKM kecil.
"Kita usahakan untuk mencari solusi bersama pemerintah kota, saat ini sudah tahap finishing," ujarnya.
Seperti dikutip dari Instgram DPW PKS Sumsel, Hibanni menjelaskan pajak restoran harus bersahabt dengan UMKM.
Menurut dia, jika pemerintah kota memaksakan batas omset dikenakan pajak restoran sebesar Rp 6.000.000 per bulan atau sama dengan Rp 200.000 per hari.
• Pulang dari Persembunyian untuk Bertemu Istri, Buronan Pencuri di Lubuklinggau Ini Ditangkap
• Anggota Gerombolan Perampok Dibekuk Polres OKU Timur Pasca Buron Empat Tahun
"Angka itu sama saja pemerintah akan memunggut pajak dari pedagang nasi uduk yang berhasil menjual dagangannya 20 bungkus per hari,' kata dia.
Selanjutnya, pajak restoran merupakan pajak daerah yang betul-betul menyentuh lapisan masyarakat paling bawah.
Sehingga pemungutan pajaknya betul-betul harus dikalkulasi dengan baik, agar tidak menimbulkan gejolak.
Menurut dia, berbeda halnya dengan pajak hotel yang menyasara pemilik hotel, kos kosan atau bangunan sejenis yang dimiliki oleh masyarakat menengah.
"Restoran warung makan, kios makan sebagian dimiliki oleh masyarakat kecil," kata dia.
Selain itu, dalam analisis yang dilakukannya, Pemerintah kota tidak menemukan alasan yuridis darimana angka omset Rp 3 juta per bulan (berdasarkan Perda nomor 2 tahun 2018) dan omset Rp 6 juta per bulan (berdasarkan Raperda) menjadi limit Wajib Pajak (WP), untuk dikenakan pajak restoran.
"Jika kita menilik definisi usaha mikro berdasarkan UU nomor 20 tahun 2008 tentang UMKM disana didapatkan bahwa usaha mikro adalah usaha yang memiliki omset sampai dengan Rp 300 juta per tahun atau sama dengan Rp 25 juta per bulan," kata dia.
Maka kata HIbbani jika pemerintah kota memiliki tekad untuk melindungi UMKM khususnya usaha mikro maka limit yang paling pas untuk dijadikan patokan pengenaan pajak restoran adalah omset sebesar Rp 25 juta per bulan bukan Rp 6 juta per bulan.
"PAD Palembangdi di tahun 2020 adalah sebesar Rp 1,8 T dimana 81 persennya atau sekitar Rp 1,5 T berasal dari pajak daerah. Sedangkan 3,44 persen atau sebesar 63 miliar berasal dari ekkayaan yang dipisahkan atau BUMD," kata dia.
Menurut dia dominannya pajak daerah sebetulnya masih wajar.
Namun yang perlu sama-sama pihaknya perhatikan bahwa porsi BUMD yang sangat kecil.
Jangan sampai pemerintah kota jago memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya untuk mengumpulkan pundi-pundi penerimaan dari masyarakat tapi tidak jago menjalankan bisnis atau usaha.
• Kisah Seorang Driver Ojol saat Ditanyai Anaknya Mengapa tak Punya Mobil, Jawabannya Sangat Bijak!
• Evakuasi Truk Peti Kemas Memakan Separuh Jalan, Lalu Lintas di Depan SPBU Poligon Padat
Sebelumnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2018 tentang pajak daerah yang mengatur rumah makan atau restoran dengan beromset 3 juta per bulan.
Kanera limit batas pengenakan terlalu kecil sehingga pemerintah bersama pihak legislatif sepakat untuk melakukan revisi.
Menurut Nora, Kasubbid Pengkajian Potensi Pajak Daerah mengatakan, saat ini revisi perda masih dalam tahap rapat, karena masih ada beberapa poin revisi yang belum final.
"Ada beberapa poin, tapi karena belum final, jadi tidak mengekspos hal tersebut, setelah dari sana baru dilihat lagi, karena sampai menjadi perda perlu melalui beberapa tahapan," ujarnya.
Mengenai poin jumlah besar pajak yang dikenakan belum dapat dijabarkan karena masih proses revisi, sedangkan proses revisi tersebut dapat berlangsung tanpa dapat diprediksi berapa lama waktunya.
"Mungkin bisa sampai akhir tahun, kita maunya juga cepat tapi karena harus teliti jadi kita hati-hati," ujarnya.
Tahapan setelah evaluasi DPRD akan ada evaluasi dari Kementeriannya Dalam Negeri dan kementerian Keuangan, setelah itu kembali ke pemerintah provinsi dan kota.
Selain itu pertimbangan revisi tersebut berdasarkan kondisi ekonomi masyarakat dan masukan dari beberapa elemen masyarakat untuk melihat data dan potensi Perda ini dapat dijalankan.
Kemungkinan ada revisi, angkanya belum final, pertimbangan berdasarkan kondisi ekonomi dan keadaan masyarakat saat ini, data dan potensi perda ini
"Kita tetap berkoordinasi dengan pihak terkait," ujarnya.
(Penulis : Wartawan Sripoku.com Maya Citra Rosa)