Menuju Tauhid Sejati

Dari Diri Sendiri , Menuju Tauhid Sejati

Manusia adalah makhluk yang paling mulia sekaligus paling unik bila dibandingkan dengan makhluk ciptaan Allah SWT lainnya.

Editor: Salman Rasyidin

Dari Diri Sendiri , Menuju Tauhid Sejati

Oleh: Otoman, S.S., M. Hum

Dosen Sejarah Peradaban Islam UIN Raden Fatah Palembang

Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda: “Perjuangan yang paling utama adalah (bilamana) seseorang bersungguh-sungguh mengen­da­likan diri sendiri dan hawa nafsunya” (HR. Ibnu Najjar, dalam kitab Shahih Al-Jami’ as-Sha­ghir no. 1099).

Manusia adalah makhluk yang paling mulia sekaligus paling unik bila dibandingkan dengan makhluk ciptaan Allah SWT lainnya.

Dalam perspektif spiritualitas Islam disimpulkan bahwa ma­nusia adalah makhluk yang secara fitrahnya dipengaruhi oleh kecenderungan-kecenderungan jiwanya.

Ketika jiwanya suci, akan tampil perilaku suci dan sifatterpuji, tetapi ketika jiwanya keruh, akan tampil perilaku yang kotor dan sifat yang tercela.

Bila dihubungkan dengan hadis Nabi SAW di atas, disinilah letak tugas dan tanggungjawab manusia yang paling asasi.

Semestinya bersungguh-sungguh dalam mengenal diri sejati sebagai pondasi dalam membangun ke­sadaran diri.

\Bila kesadaran diri telah terpatri di dalam hati sanubari, maka jalan menuju tauhid sedang dititi.

Harus diakui bahwa ilmu pengetahuan yang telah lahir sejak beberapa abad yang lalu, ternyata belum dapat mengupas secara tuntas dan tepat mengenai berbagai dimensi dari alam internal ma­nu­sia.

Hal itu dapat terjadi karena sebagaimana menurut Alexis Carrel (dalam Mukhtar Solihin & Ro­sihan Anwar, 2005), bahwa manusia telah jauh dari derajat kediriannya itu sendiri.

Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran tentang penemuan hakikat manusia tidak sebanding dengan pe­nge­­tahuan yang semakin tinggi dan berkembang pesat tentang alam materi atau alam bentuk de­wasa ini.

Misteri siapa diri kita dan apa yang harus menjadi tugas kita di dunia ini seolah menjadi hal yang tidak penting bagi kita.

Padahal semua ini akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.

Karena terikat dengan perjanjian primordial sejak di alam arwah.

Sebagai manusia, kita diwajibkan ber­tobat dalam rangka penyucian diri (tazkiyat an-nafs).

Ketika hati telah tersucikan, seseorang akan rindu untuk pulang kepada Sang Kekasih Sejati, yaitu Allah SWT.

Fenomena ini bukan suatu kebetulan belaka, tetapi sudah merupakan gejala kebangkitan spiritual.

Kerinduan seorang anak manusia untuk menemukan dirinya yang sejati dan memperoleh makna dalam hidupnya telah mem­buat ia kembali merenungkan pesan-pesan moral dan spiritual.

Kerinduan inilah yang men­ja­di salah satu indikator kesadaran.

Namun, ketika kerinduan menjadi samar dan kesadaran diri sema­kin memudar, itu petanda seseorang telah keluar dari jalan cinta kesadaran diri.

Bila kea­da­an seperti ini terus-menerus diabaikan, maka jangankan bermimpi, berharap pun tak patut untuk sam­pai kepada tauhid yang sejati.

Kita tidak dapat berpangku tangan saja.

Harus ada upaya-upaya yang secara terus-menerus dilakukan dalam proses pengenalan tentang hakikat diri, sebagai makhluk yang memiliki subs­tansi dan karakter tersendiri.

Hal ini menjadi sedemikian penting,karena dengan mengenal diri, ki­ta akan sampai pada pengetahuan tentang Tuhan.

Sebab, yang paling representatif dan mudah un­tuk mengantarkan kita pada pengetahuan tentang Tuhan adalah diri kita sendiri.

Dalam sebuah hadis, Nabi SAW bersabda “Siapa yang mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya”.

Lebih jauh lagi, dalam dunia Islam diyakini bahwa umat manusia, sepanjang masa penciptaan, dicip­ta­kan untuk mengenal Allah.

Kesadaran diri merupakan salah satu keistimewaan yang khusus dimiliki manusia.

Pentingnya mem­bangun kesadaran diri, karena hal ini merupakan salah satu potensi yang paling mendasar bagi manusia.

Manifestasi kesadaran diri akan terlihat pada manusia ketika seluruh perilaku dan pikirannya senantiasa berada dalam orbit kesadaran akan kehambaannya di hadapaan Tuhan.

Ma­nifestasi yang paling tampak diwujudkan dalam pelbagai aktivitas hidupnya yang selalu di­sandarkan secara vertikal kepada Allah.

Kesadaran seperti ini merupakan wujud ketauhidan yang paling mendasar dan sekaligus merupakan modal yang sangat besar bagi manusia untuk me­ne­mu­kan kesadaran dirinya, sebagaimana tergambar di alam arwah ketika manusia mengakui bah­­wa Allah sebagai Tuhannya.

Bila seseorang dapat menyadari dengan baik adanya Tuhan Yang Ma­ha Esa, itu merupakan titik awal baginya untuk mengenal diri sendiri.

Pengenalan diri sendiri adalah bentuk pengembalian kesadaran manusia akan fitrahnya sebagai makhluk yang dulunya begitu jujur mengakui Allah sebagai Tuhannya.

Pengakuan ini telah ter­gambar di alam arwah, sebagaimana ditegaskan Allah dalam al-Quran: “Dan (ingatlah) ketika Tuhan-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adamdari sulbi mereka dan Allah mengambil ke­sak­sian terhadap jiwa mereka(seraya berfirman), bukankah Aku ini Tuhan-mu? Mereka men­ja­wab, betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi” (Q.S. Al-A’raf:7).

Kesaksian ketika di alam arwah yang tergambar pada ayat tersebut merupakan bentuk kejujuran manusia yang paling esensial dan paling murni.

Mereka dengan ikhlas dan tanpa paksaan siapa pun, mengakui Allah sebagai Tuhannya.

Akan tetapi, sayangnya ketika terlahir ke dunia, ternyata tidak sedikit ma­nu­sia yang melupakannya.

Ketika kemudian manusia sadar untuk kembali pada perjanjian suci ter­sebut, dan ini merupakan bukti konkret akan kesadaran diri.

Dalam konteks ini, kesadaran yang terjadi adalah kesadaran ketauhidan.

Manusia sesungguhnya dapat menemukan kesadaran diri, karena ia memiliki hati.

Hati adalah aspek rohani manusia yang paling urgen, karena hatilah asal atau tempatnya niat dan spirit dari setiap perbuatan manusia sebagai implementasi kehambaan kepadaAllah.

Hati merupakan elemen yang paling berfungsi untuk menemukan kesadaran diri.

Manusia tidak hanya melak­sa­na­kan amanat dalam hubungan dengan pengungkapan hubungan penghambaan terhadap Allah (te­o­etika) saja, tetapi terikat oleh amanat dalam hubungan dengan dirinya sendiri (psikoetika), dan juga amanat menjaga hubungan antarsesama manusia dan seluruh alam semesta (sosioetika).

Keseimbangan antara teoetika, psikoetika, dan sosioetika berpusat pada kesadaran teoetika se­bagai kesadaran universal, yang diawali proses penyucian (takhalli), yaitu bergerak menuju pe­nyucian hati dengan pelepasan sifat-sifat tercela dan kemudian menghiasinya dengan sifat-sifat ter­puji (tahalli), hingga memasuki perwujudan fitrah dari Allah yang dibawanya sejak lahir (tajalli).

Berdasarkan al-Quran dan hadis minimal ada empat cara yang dapat ditempuh dalam proses membangun kesadaran diri:

Pertama, muhasabah diri (introspeksi diri). Rasul SAW telah me­ngingatkan dalam sabdanya “sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan ringan hanya bagi orang yang senantiasa muhasabah diri saat hidup di dunia” (H.R. Tirmidzi).

Kedua, mengenal diri za­hir. Melalui wujud zahir ini manusia bisa menyaksikan kuasa Allah. Dengan menyaksikan wujud fisik ini manusia memperoleh pengenalan awal tentang diri sendiri.

Lihat Q.S. Al-Insan: 2, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, Kami hendak mengujinya dengan (perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan ia mendengar dan me­lihat”.

Ketiga, mengenal diri batin. Diri batin adalah ruh yang ada pada diri kita sendiri.

Dalam ajaran tasawuf, sebelum mengenal Allah kita harus bisa mengenal diri sendiri.

Salah satu cara untuk mengenal diri sendiri adalah dengan cara melihat ke dalam kalbu kita.

Dalam Q.S. Az-Zariat: 21) Allah berfirman “Dan di dalam diri kalian, apakah kalian tidak mem­per­hatikannya”.

Kalbu atau hati yang dimaksud disini adalah hal gaib yang memiliki sfat baik dan sifat buruk di dalamnya yang sangat bergantung pada kadar keimanan.

Keempat, mengingat tu­juan penciptaan. Mengingat kembali bahwa tujuan dari penciptaan manusia adalah untuk ber­iman kepada Allah (Q.S. Az-Zariat: 56) dan diciptakan sebagai khalifah di atas dunia ini dengan tujuan hidup untuk beribadah (Q.S. Al-Baqarah: 33).

Demikian pentingnya membangun kesadaran diri , karena sadar diri sebagai modal dasar yang harus terpenuhi, karena nantinya akan menjadi konstruksi kokoh ketauhidan bagi setiap kita yang mengaku beriman dan berislam.

Bila belum atau tidak terpenuhi, maka tidak heran bila realitas so­sial kita menunjukkan ada orang yang rajin ibadah namun doyan maksiat, tidak amanat, suka mengumpat, dan lain sebagainya.

Hal itu mencerminkan kesadaran diri belum bersemayam da­lam sanubari kita.

Semoga Allah SWT  senantiasa membimbing kita dalam hidayah-Nya. Aa­miiin.

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved