Kasus First Travel
Gladiasi Nilai Kepastian, Keadilan Dan Kemanfaatan Hukum Dalam Penyelesaian Kasus First Travel
Tanpa sadar saya ikut meneteskan air mata ketika menonton acara ILC, sebuah acara favorit yang disajikan oleh Stasiun TV One beberapa waktu yang lalu.
Gladiasi Nilai Kepastian, Keadilan Dan Kemanfaatan Hukum Dalam Penyelesaian Kasus First Travel
Oleh : DR. H. Suharyono SH.MH
Pengacara dan Dosen Tetap Faklultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang serta Dosen Pasca Sarjana MIH Universitas Kader Bangsa
Tanpa sadar saya ikut meneteskan air mata ketika menonton acara ILC (Indonesia Lawyer Club), sebuah acara favorit yang disajikan oleh Stasiun TV One beberapa waktu yang lalu.
Begitu pula semua peserta yang hadir pada acara tersebut hanyut dalam suasana yang hening, semua ikut larut tampak haru memperhatikan penjelasan seorang ibu setengah baya yang merupakan salah satu korban First Travel yang sedang menyampaikan testimonial dan harapannya di hadapan para peserta ILC dan Bang Karni Ilyas sang pemandu acara tersebut.
Ibu tersebut menceritakan tentang kerinduannya untuk dapat melaksanakan ibadah umroh bersama ibu kandungnya yang sudah lanjut sia.
Bertahun-tahun ia sisihkan dan kumpulkan uang hasil usaha jualan nasi bungkus, hanya bertujuan agar dirinya dapat merealisasikan niat luhurnya tersebut.
Namun setelah uang terkumpul dan ia setorkan kepada First Travel sebagai salah satu biro perjalanan haji dan umroh --sangat terkenal saat itu, ternyata ia bersama ribuan jamaah lainnya justru menjadi korban penipuan. \
Ibu penjual nasi bungkus tersebut hanyalah salah satu dari ribuan calon jamaah umroh dan haji yang menjadi korban dari perusahaan First Travel, yang hingga saat ini belum mendapatkan kepastian, apakah dirinya dapat diberangkatkan ke tanah suci ataukah uang yang telah disetorkan tersebut dapat dikembalikan.
Langkah hukum dalam bentuk laporan pidana tentang dugaan Penipuan dan Pencucian Uang yang dilakukan oleh sejumlah calon jamaah kepada pimpinan Fisrt Travel, memiliki tujuan dan harapan kiranya pengadilan dapat memberikan putusan hukum yang mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh para jamaah korban First Travel.
Tindakan penangkapan yang dilanjutkan dengan penyitaan sejumlah asset milik pribadi para direksi maupun asset perusahaan First Travel serta diadilinya Andika Surachman (Direktur Utama), Anneisea Desvitasari Hasibuan (Direktur) dan Siti Nuraida Hasibuan (Direktur Keuangan) sebagai pihak yang harus bertanggung jawab dari PT. First Travel, telah memberikan semangat dan harapan baru setelah sekian lama tidak ada kejelasan nasibnya.
Dalam benak hati dan pikiran para jamaah juga masyarakat yang mengikuti permasalahan tersebut, memiliki harapan dan keyakinan bahwa negara melalui putusan pengadilan akan memberikan perlindungan hukum dan keadilan kepada para jamaah yang menjadi korban Fisrt Travel.
Setelah sekian lama ditunggu-tunggu masyarakat khususnya para calon jamaah umroh dan haji korban First Travel, kini pengadilan yang menyidangkan perkara tersebut telah memberikan putusannya.
Selain Pengadilan Negeri Kota Depok yang telah memvonis terdakwa Andika Surachman 20 tahun penjara dan denda Rp. 10 miliar subsider 8 bulan, Anneisia Hasibuan 18 tahun penjara dan denda 10 miliar subsider 8 bulan, sementara Siti Nuaraida alias Kiki Hasibuan 15 tahun penjara dan denda 5 miliar subsider 8 bulan kurungan.
Kemudian, setelah dilakukan banding di Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang dilanjutkan dengan pemeriksaan kasasi, ternyata dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 3096 K. Pid.Sus/2018 yang dilansir di situs MA pada tanggal 15 November 2019 yang lalu, tetap menghukum Andika Surachman dan istrinya Anneissa Desvitasari Hasibuan masing-masing 20 tahun dan 18 tahun penjara, keduanya juga harus membayar denda masing-masing sebesar Rp. 10 Miliar.
Sementara mengenai asset perusahaan yang telah disita oleh pihak Kejaksaan dinyatakan dirampas untuk negara.
Dalam putusan Mahkamah Agung RI yang dinyatakan: “bahwa sebagaimana fakta persidangan, barang-barang bukti tersebut merupakan hasil kejahatan yang dilakukan oleh para Terdakwa dan disita dari para Terdakwa yang telah terbukti melakukan tindak pidana Pencucian Uang.
Oleh karenanya berdasarkan ketentuan Pasal 39 KUHP junto Pasal 46 KUHAP barang-barang bukti tersebut dirampas untuk negara” telah memupuskan harapan dan semangat para jamaah korban First Travel yang sedang memperjuangkan haknya.
Putusan hukum tersebut disesalkan oleh banyak kalangan, yang pada dasarnya mereka berpendapat karena barang-barang dan sejumlah asset milik perusahaan First Travel yang disita oleh pihak Kejaksaan Negeri Depok dalam putusan Mahkamah Agung tersebut tidak dikembalikan kepada para Jamaah selaku korban penipuan akan tetapi justru dirampas untuk negara.
Mereka beranggapan bahwa barang-barang dan sejumlah asset tersebut sejatinya bukanlah milik First Travel dan juga milik negara melainkan milik jamaah korban penipuan.
Sehingga, tidak adil jika sejumlah asset tersebut diserahkan pada negara, karena negara dalam perkara ini sama sekali tidak dirugikan.
Bila kita cermati dalam putusan Mahkamah Agung tersebut ditemukan alasan hukum kenapa asset yang disita dalam perkara ini dirampas untuk negara adalah didasarkan pada ketentuan Pasal 39 KUHP junto Pasal 46 KUHAP.
Dalam Pasal 39 KUHP disebutkan bahwa:
1). Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas;
2). Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelangggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang;
3). Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang disita.
Sedangkan pada Pasal 46 KUHAP disebutkan bahwa:
(1). Benda yang dikenaan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dan siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak, apabila:
a. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
b. Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;
c. Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana;
(2). Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebutkan dalam putusan tersebut.
Kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.
Teori tujuan hukum.
Adanya putusan hukum dalam perkara First Travel tentunya dapat mengingatkan kita semua tentang makna dari tujuan hukum.
Apakah putusan hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Agung telah mewujudkan dan mencapai tujuanhukum yang diharapkan.
Secara teori banyak ahli hukum yang memaknakan tujuan hukum itu berbeda-beda.
Namun dalam kesempatan ini kita coba lakukan pendekatan dari teori tujuan hukum menurut Teori Etis dan Teori Utilities.
Dalam pandangan Teori Etis, dinyatakan bahwa hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan dan memberikannya kepada setiap orang yang menjadi haknya.
Teori Etis lebih mendasarkan pada etika dan isi hukumnya ditentukan oleh keyakinan diri sendiri, tentang apa yang adil dan apa yang tidak adil.
Sedangkan menurut Teori Utilities, berpandangan bahwa hukum bertujuan untuk memberikan faedah atau manfaat bagi sebanyak-banyaknya orang dalam sebuah lingkungan masyarakat.
Teori Utilities menekankan manfaat dalam menghasilkan kesenangan atau kebahagiaan yang terbesar bagi jumlah orang terbanyak.
Sebagai tambahan juga ada Teori Yuridis atau Teori Kepastian Hukum.
Menurut teori ini tujuan hukum dari segi normatif, yaitu lebih kepada memberikan perlindungan kepada setiap orang supaya apa yang menjadi haknya tidak bisa diganggu oleh orang lain.
Dengan menasarkan pada ketiga teori tujuan hukum sebagaimana dikemukakan diatas, maka tentunya kita dapat memberikan pernilaian adalah wajar jika banyak kalangan yang menyesalkan dan menilai jika putusan Mahkamah Agung yang menyatakan sejumlah asset yang disita dari perusahaan First Travel dirampas untuk negara. Hal itu justru bukan dikembalikan kepada jamaah korban tindak pidana Penipuan dan Pencucian Uang sebagai bentuk putusan yang tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat dan tidak pula mewujudkan apa yang menjadi tujuan hukum itu senndiri.
Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan.
Memahami alasan hukum yang dijadikan dasar pertimbangan dalam putusan Mahkamah Agung,maka Jamaah First Travel mestinya jangan patah semangat untuk memperjuangkan hak-haknya.
Secara hukum masih terdapat celah dan berbagai sarana yang dimungkinkan untuk melakukan upaya hukum, diantaranya adalah:
a). Jaksa Penuntut Umum dapat melakukan upaya hukum Peninjuan Kembali (PK). Dengan dasar dan alasan karena adanya bukti baru (Novum) dan atau alasan adanya kekeliruan dan kehilafan hakim yang memutuskan perkara tersebut.
Karena menurut ketentuan Pasal 67 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU jo Pasal 46 KUHAP, asset hasil tindak pidana dapat dikembalikan kepada yang berhak.
Dengan adanya bukti-bukti kejahatan yang sudah terungkap dipersidangan tentunya sudah cukup membuktikan bahwa barang-barang dan asset yang disita tersebut adalah sejatinya milik Jamaah korban Penipuan dan TPPU, meskipun hal tersebut disita dari Para Terdakwa.
b).Upaya hukum dalam gugatan keperdataan. Adanya putusan hukum dari Mahkamah Agung RI yang menyatakan para terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana penipuan dan pencucian uang serta menjatuhkan hukuman pidana berupa penjara dan denda kepada para direksi Firt Travel, adalah merupakan salah satu bukti hukum yang kuat dan dapat dijadikan alasan hukum bagi Jamaah korban First Travel untuk menuntut pengembalian haknya.
Selain bukti putusan pidana tersebut akan lebih bauk jika dilengkapi dengan bukti-bukti lain seperti bukti setoran haji dan atau umroh, bukti surat-surat dari First Travel yang menunda keberangkatan dan menjanjikan untuk berangkat dalam pereode tertentu dan surat-surat lain tentunya akan lebih menyempurnakan pembuktian dalam upaya gugatan ini di pengadilan;
c). Upaya hukum berupa Pengajuan Pailit atas PT. Firsy Travel. Selain melakukan tuntutan ganti rugi melalui gugatan keperdataan sebagaimana tersebut diatas, Para Jamaah korban First Travel juga dapat melakukan upaya hukum berupa Pengajuan Pailit atas PT. First Travel. Dengan adanya gugatan Pailit kepada First Travel.
Maka PT. First Travel akan dinyatakan pailit dan semua asset dinyatakan sebagai budel pailit yang akan dibagikan kepada para Jamaah selaku pihak yang dirugikan.
Namun yang menjadi permasalahan masih adakah ada asset lain yang dimiliki First Travel yang dapat dibagikan kepada para jamaah, ini yang perlu dipertimbangkan sebelum menempuh upaya hukum ini.