Human Interest Story

Sosok Hayu Ari yang tidak Menyerah Pasca Divonis HIV dari Suami, Hingga Kini Rumah Tangganya Bahagia

Enam tahun lamanya Hayu Ari Setyaningtyas mengidap HIV. Namun, ia tidak menyerah hingga sekarang bisa hidup berbahagia bersama suami dan anak.

Editor: Refly Permana
(KOMPAS.com/RENI SUSANTI)
Hayu Ari Setyaningtyas atau Arini dalam acara The Indonesian AIDS Conference (iAIDS) 2019 di Bandung. 

SRIPOKU.COM - Layaknya kanker, terjangkit HIV AIDS dianggap sudah membuat kehidupan ini berakhir. Dua penyakit ini belum ditemukan obatnya hingga tak salah disebut sebagai beberapa dari penyakit yang mematikan.

Dan, sudah enam tahun lamanya Hayu Ari Setyaningtyas mengidap HIV. Namun, ia tidak menyerah hingga sekarang bisa hidup berbahagia dengan suami dan anak-anak angkatnya.

Diceritakan Hayu, banyak lika liku hidup yang ia jalani sejak divonis mengidap HIV. Meski penyakit tersebut 'datang' dari darah mendiang suaminya, toh Hayu tetap saja didiskrimanis oleh keluarga mertuanya lantaran sudah mengidap HIV.

Ini Jumlah Persentase Umur Para Penderita HIV AIDS, Lengkap dari Tahun 1987

Berikut fakta-fakta seputar perempuan tangguh asal Surabaya ini yang disadur dari kompas.com:

1. Bermula dari transfusi darah

Mendiang suami Hayu merupakan seorang atlit golf. Meski datang dari kalangan atlit, yang notabene memiliki pola hidup sehat, sang suami tiba-tiba saja divonis mengidap HIV.

Mendengar itu, Hayu bukan meninggalkan suaminya, melainkan tetap berada di samping sang suami sembari sang suami menjalani pengobatan.

Sampai akhirnya, sang suami pergi untuk selama-lamanya ke alam baka.

Wajib Didampingi dan Pengidap HIV AIDS Diminta Jangan Terlambat Minta Obat, Ini Resikonya!

Menurut Ayu, suaminya orang yang baik, tidak ada hidup macam-macam. Maka dari itu, ia benar-benar tidak menduga mengapa HIV bisa menjangkiti tubuh suaminya.

Tetapi, Hayu menduga itu datang ketika sang suami menjalani transfusi darah.

Beberapa tahun sebelum divonis HIV AIDS, sang suami pernah kecelakaan dan mendapat transfusi darah. Diduga sang suami tertular dari transfusi darah.

2. Utang pengobatan suami

Seperti yang disinggung, Hayu tetap berada di sisi sang suami ketika menjalani pengobatan. Dan, pengobatan yang dilakukan tentu tidaklah murah.

Alhasil, begitu suaminya meninggal dunia, Hayu masih harus melunasi utang-utang yang ditinggalkan suami untuk berobat.

Satu bulan setelah divonis terjangkit HIV, tepatnya 23 September 2019, sang suami meninggal dunia dan mewariskan utang biaya perawatan senilai Rp 250 juta.

Dinkes Sumsel Catat Pengidap HIV AIDS di Wilayah sumsel Didominasi Usia Produktif 20-29 Tahun

"Saat itu, saya tidak ada waktu untuk sedih, down, terpuruk. Saya blank.

Saat itu saya hanya memikirkan suami saya yang perlu biaya dan perawatan," tutur perempuan kelahiran Surabaya, 11 November 1970 itu.

3. Diusir mertua

Empat puluh hari pasca-meninggalnya sang suami, Arini diminta keluar dari rumah oleh mertunya.

Ia lalu mendapatkan perlakuan diskriminatif dari keluarga.

Arini pun bekerja keras untuk menutupi utang yang berhasil ia lunasi selama 2 tahun.

4. Mempelajari virus HIV

Arini mempelajari virus HIV/AIDS dari dunia maya dan komunitas. Ia kemudian menikah lagi dengan pria berkebangsaan Belanda yang negatif HIV dan ia terus mengonsumsi ARV agar tidak menularkan HIV kepada pasangannya.

Bahkan ia bercerita dengan mengonsumsi ARV secara rutin, ia bisa berhubungan seks dengan aman dan tidak menggunakan pengaman.

Seorang Bocah 5 Tahun di Palembang Positif HIV, Tetap Ceria, Prihatin Kedua Orangtua Meninggal Dunia

Karena faktor usia, Arini dan suaminya sepakat untuk tidak memiliki anak dan sepat untuk mengjadi orangtua angkat untuk anak-anak terlantar.

"Sejak tiga tahun sebelum menikah (dengan warga Belanda), saya undetected viral load," tutur lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Wijaya Kusuma (UWK) Surabaya itu.

5. Tulis buku "Hidup Sehat Bebas Gluten"

Perempuan yang hadir dalam acara Indonesian AIDS Conference (iAIDS) 2019 di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (30/11/2019) mengatakan sejak divonis HIV positif, ia merubah pola hidupnya lebih sehat dan teratur.

Ia dan anaknya tidak lagi konsumsi makanan yang mengandung gluten dan banyak konsumsi sayur serta buah.

Sebelum divonis HIV, Arini adalah seorang survivor kanker.

"Anak saya pencernaannya lemah, saya sendiri survivor kanker. Ketika saya (berhasil) hidup dari kanker, HIV itu it’s nothing," ungkap dia.

6. Pergaulan di lingkungan kerja

Sebagai Orang yang hidup dengan HIV (Odhiv), Arini mendapatkan pekerjaan yang layak dan memegang jabatan tinggi di salah satu perusahaan besar. Tidak ada yang ia tutup-tutupi.

Kepada rekannya di kantor, Arini membuka statusnya sebagai HIV positif.

Ia bercerita pernah sang atasan kantor meminta pesuruh perusahaan mengambil obat ARV di rumah saat meeting berjalan.

Saat itu obat yang wajib dikonsumi oleh Arini tertinggal di rumah.

"Jadi kalau perusahaan mau menggunakan potensi saya, mereka juga harus terima penyakit saya. Satu paket," imbuh lulusan SMAN 2 Kotabumi itu.

Peringati Hari HIV AIDS 2019, Ini Jumlah Persentase Umur Para Penderita, Lengkap dari Tahun 1987

Ia kemudian melakoni gaya hidup sehat selama beberapa tahun dan membagikan pola hidup sehat ke kerabat sesama penderita HIV.

Menurutnya, kebanyakan Odhiv mengalami lemah pencernaan, terutama lambung maupun usus halus.

Hal tersebut mempengaruhi anxiety/mood swing, baik karena ESO maupun stres akibat pengaruh stigma dan diskriminasi lingkungan.

Gaya hidup sehat yang telah ia lakoni selama tahun tersebut kemudian ditulis di buku yang berjudul "Hidup Sehat Bebas Gluten".

SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Reni Susanti | Editor: Fabian Januarius Kuwado)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul ""Saya Hidup dari Kanker, HIV itu It's Nothing""

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved