Lemahnya Keterbukaan Informasi
PPDB dan Lemahnya Keterbukaan Informasi Sektor Pendidikan
Riak-riak dan heboh tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) masih berlanjut sampai sekarang.
PPDB dan Lemahnya Keterbukaan Informasi Pendidikan
Oleh Yurnaldi
Calon Anggota Komisi Informasi Sumsel 2019-2023, Wartawan Kompas Biro Sumbagsel di Palembang (1996-1998), Pendiri dan Pemimpin Redaksi Harian Vokal Sumsel (2012-2013).
Riak-riak dan heboh tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) masih berlanjut sampai sekarang.
Berkali-kali kita disuguhi berita oleh stasiun televisi nasional tentang aksi unjuk rasa dan protes dari orangtua di berbagai kota.
Bahkan Sriwijaya Post (edisi Kamis 5 Juli, halaman 11) menjadikan berita utama dengan foto aksi unjukrasa di Solo.
Karena diduga ada kecurangan pada Surat Keterangan Domisili Palsu, yang merugikan siswa berprestasi masuk ke sekolah pilihan.
Sementara di media sosial berbagai tanggapan dan keluhan soal PPDB ini sangat melelahkan kita membaca dan meresponnya.
Yang menyedihkan, banyak respon yang diberikan keliru soal pola zonasi yang mendapat reaksi keras dari banyak kalangan ini.

Sedangkan penjelasan yang rinci dan benar sebagai sosialisasi dari pihak yang berkompeten, baik itu dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, dari Gubernur, bahkan dari Bupati/Walikota juga tak ada.
Kalau pun ada sosialisasi, menurut anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Ahmad Su'adi, seharusnya Pemerintah Daerah sudah menyolisialisasikan ke masyarakat soal zonasi dalam PPDB ini enam bulan sebelumnya.
Bahkan, Ahmad Su'adi menilai, beberapa Kepala Daerah masih melakukan modifikasi sistem zonasi yang menyimpang dari tujuan utama sistem tersebut (Baca: Zonasi Pendidikan Butuh Perpres, Sriwijaya Post, edisi Kamis 5 Juli 2019, halaman 11).
Akibat tidak ada sosialisasi, masyarakat menjadi binggung. Karena informasi yang diperoleh masyarakat (entah dari mana sumbernya), berbeda dengan yang ditemui di lapangan.
Saya menyaksikan sendiri, betapa pihak sekolah juga kewalahan menjawab pertanyaan dan rasa ingin tahu dari orangtua siswa.
Orangtua butuh kepastian, agar dia tidak salah dalam melalakukan proses pendaftaran anaknya. Dengan informasi yang benar, (orangtua) peserta didik bisa segera menyiapkan berkas-berkas pendaftaran, agar tidak terlambat dari agenda pendaftaran yang sudah ditetapkan dalam waktu yang terbatas.
Mencermati fakta PPDB ini, saya menilai ada kesalahan besar Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, juga pada PPID di Provinsi dan PPID di Dinas Pendidikan provinsi/kabupaten/kota.
Intinya, PPID sudah melakukan pelanggaran terhadap hak ingin tahu masyarakat.
PPID tidak melakukan kewajiban memberikan informasi sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Patut diduga, PPID tidak menyadari tugas pokok dan fungsinya selalu pihak pertama yang memberikan informasi yang benar ke masyarakat.
Atau pejabat dan tenaga fungsional di PPID itu sendiri yang tidak paham dan mengerti dengan kewajibannya memberikan informasi, baik diminta ataupun tidak, sebagaimana yang diatur dalam pasal-pasal pada UU Nomor 14 Tahun 2008 tersebut.
Kewajiban Memberikan Informasi
Sektor pendidikan adalah sektor yang selalu mendapat sorotan orang banyak.
Tidak saja menyakut kebijakan dan anggaran, tetapi juga masalah lain, seperti sarana dan prasarana, soal tenaga guru yang masih kurang, soal dana BOS, soal uang Komite Sekolah, sampai ke persoalan guru yang sampai belasan tahun tidak naik pangkat karena tidak bisa menulis karya ilmiah populer dan menulis penelitian tindakan kelas.
Yang terakhir ini sangat berdampak pada sertifikasi guru dan kesejahteraan guru.
Dan di antara banyak persoalan di dunia pendidikan itu, kata kuncinya adalah soal lalainya kewajiban memberikan informasi kepada masyarakat dan tidak pahamnya pejabat di bidang pendidikan terhadap UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Akibat tidak pahamnya pejabat di bidang pendidikan dengan UU Keterbukaan Informasi Publik, relatif banyak sengketa informasi publik di bidang pendidikan ini yang ditangani Komisi Informasi Provinsi.
Sudah ada kepala sekolah yang dipenjarakan akibat kelalaian memberikan informasi.
Jadi, jangan main-main dengan informasi. Pejabat yang lalai dan tertutup terhadap informasi public akan menanggung perbuatannya sendiri.
Silakan pahami tentang "Ketentuan Pidana" dalam UU Keterbukaan Informasi Publik.
Pasal 52 menyatakan, "Badan Publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan informasi publik berupa Informasi Publik secara berkala, Informasi Publik yang wajib diumumkan secara serta merta, Informasi Publik yang wajib tersedia setiap saat, dan/atau Informasi Publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan Undang-undang ini, dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dikenakan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupi ah)."
Lalu ketika bersidang di Komisi Informasi Provinsi, jawaban yang diberikan PPID ada yang mengatakan informasi yang diminta hilang, atau informasi yang diminta saat itu dirinya belum bertugas di situ, dan banyak alasan lainnya.
Jika hilang informasi yang diminta, maka harus ada surat keterangan dari kepolisian bahwa akibat suatu peristiwa kemalingan, misalnya, atau saat terjadi gempa bumi, informasi yang diminta hilang atau hancur.
Jika tidak, bias dikenai pasal 53 UU KIP, yakni :"Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak dan/atau menghilangkan dokumen Informasi Publik dalam bentuk media apa pun yang dilindungi negara dan/atau yang berkaitan dengan kepentingan umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)."
Pejabat di Dinas Pendidikan juga harus paham klasifikasi informasi.
Ada informasi yang dikecualikan, tidak boleh dibuka ke publik.
Bagaimana kalau hal itu terlanjur diberikan (aksesnya) kepada publik? Maka pada pasal 54 dijelaskan, "Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau memperoleh dan/atau memberikan informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf i, dan huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)."
Ayat berikutnya menyatakan, "Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan atau memperoleh dan atau memberikan informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam pasal 17 huruf c dan huruf e, dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah)."
Jadi, pejabat di Dinas Pendidikan dan atau di Sekolah juga harus hati-hati memberikan informasi, pahami dulu UU Keterbukaan Informasi Publik.
Jika perlu, agar lebih jelas, undang komisioner dari Komisi Informasi Provinsi Sumatera Selatan untuk memberikan penjelasan, edukasi, sosialisasi tentang UU KIP tersebut.
Adakan bimbingan teknis (bimtek), biar semuanya jelas, paham, serta bias diimplementasikan. Lalu, jika sudah ada PPID, mintalah pembinaan secara berkelanjutan. Sebab, sekali setahun Komisi Informasi Provinsi diperintahkan melakukan evaluasi terhadap keterbukaan informasi oleh badan publik (baca: Peraturan Komisi Informasi Nomor 5 tahun 2016 tentang Metode dan Teknik Evaluasi Keterbukaan Informasi Badan Publik).
Di beberapa Komisi Informasi Provinsi ada yang mengevaluasi untuk kategori sekolah, seperti yang dilakukan Komisi Informasi provinsi Sumatera Barat.
Ingat, di sekolah harus ada kelembagaan PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi). Ada tenaga fungsional yang menangani kehumasan, pustakawan, arsiparis, menangani bidang teknologi informasi, dan melayani publik yang meminta informasi).
Dan PPID merupakan pintu masuk bagi publik untuk meminta informasi ke sekolah selaku Badan Publik.
Sengketa informasi akan terjadi jika informasi yang diminta oleh siapa pun, baik perorangan atau kelompok, tidak diberikan.
Atau, jika diminta 10 tapi yang dikasih 8, misalnya, maka juga akan bermuara Sengketa Informasi di Komisi Informasi Provinsi.
Atau jika telat memberikan, dimana pemberian informasi melewati badan waktu, maka publik bisa menyengketakannya.
Sidang penyelesaian sengketa di Komisi Informasi seperti sidang di Pengadilan Negeri.
Di DKI namanya sidang Ajudikasi Nonlitigasi, maksudnya, proses penyelesaian sengketa informasi publik antara para pihak yang diputus Komisi Informasi, putusannya memiliki kekuatan setara dengan putusan pengadilan.\
Persidangan sengketa informasi terbuka untuk umum.
Sesekali sempatkan mencermati persidangan di Komisi Informasi.
Termohon (Badan Publik) bisa keringat dingin dibuatnya.
Mudah-mudahan dengan itu, jadi sadar untuk serius mengelola informasi.
Jangan sampai terjadi sengketa, karena sengketa bisa berujung pidana dan denda. Ingat itu!