Survei RISED : Kenaikan Tarif Ojek Online (Ojol) tak Jamin Kesejahteraan Pengemudinya Meningkat

Pasalnya, kenaikan tarif justru bisa menggerus permintaan Ojol hingga 75%, yang akhirnya bisa berdampak negatif pada pendapatan pengemudi.

Penulis: Welly Hadinata | Editor: Welly Hadinata
Sripoku.com/ Handout
Ekonom Universitas Airlangga & Ketua Tim Peneliti Research Institute of Socio-Economic Development (RISED) Rumayya Batubara dan Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal saat diskusi dalam acara Konferensi Pers Diseminasi Hasil Riset bertema "Persepsi Konsumen Terhadap Kenaikan Tarif Ojek Online" di Menteng, Jakarta, Senin (6/5). 

Bahkan, sebenarnya ada pula 27,4% kelompok konsumen yang tidak mau menambah pengeluaran sama sekali.

“Total persentase kedua kelompok tersebut mencapai 75% secara nasional. Jika diklasifikasikan berdasarkan zona maka besarannya adalah 67% di Zona I,  82% di Zona II, dan 66% di Zona III,” tambah Rumayya.

Striker Sriwijaya FC Ini Manfaatkan Kesempatan Libur Ramadhan Ajari Anak Sulungnya Berpuasa

Jadwal Siaran Langsung Bola - Liverpool vs Barcelona, Leg Kedua Semifinal Liga Champions di RCTI

Jadwal Solat Isya di Palembang, Puasa Ramadan 1440 H Hari Pertama Lengkap Niat Salat & Bacaannya

Sebagai tambahan, Rumayya juga menjelaskan bahwa rata-rata kesediaan konsumen di non-Jabodetabek untuk mengalokasikan pengeluaran tambahan adalah sebesar Rp 4.900/hari.

Jumlah itu lebih kecil 6% dibandingkan rata-rata kesediaan konsumen di Jabodetabek yang sebesar Rp 5.200/hari.

“Oleh karena itu, Pemerintah perlu berhati-hati dalam pembagian tarif berdasarkan zona. Daya beli konsumen di wilayah non-Jabodetabek yang lebih rendah tentu harus dimasukkan ke dalam perhitungan Pemerintah,” tegas Rumayya.

Terbatasnya kesediaan membayar konsumen didorong oleh 75,2% konsumen yang berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah.

“Selain itu, faktor tarif ternyata menjadi pertimbangan utama bagi keputusan konsumen untuk menggunakan Ojol. Sebagai bukti, sebanyak 52,4% konsumen memilih faktor keterjangkauan tarif sebagai alasan utama. Jauh mengungguli alasan lainnya seperti fleksibilitas waktu dan metode pembayaran, layanan door-to-door, dan keamanan. Oleh karena itu, perubahan tarif bisa sangat sensitif terhadap keputusan konsumen,” tambah Rumayya.  

PT PLN (Persero) UIW S2JB Melalui Yayasan Baitul Maal (YBM) Menggelar Aksi Peduli Ramadhan

Beredar Foto Lawas Kak Seto Salami Dua Anak di Depannya, Kini Dua Anak Itu Jadi Penyanyi Terkenal!

Tradisi Asmara Subuh di BKB, Ribuan Muda-mudi Warnai 1 Ramadan Dengan Perang Petasan

Sementara itu, Ekonom UI Dr. Fithra Faisal menyayangkan momentum kenaikan tarif Ojol yang terjadi sesaat sebelum Bulan Ramadan.

Seperti diketahui, inflasi cenderung meningkat saat Bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri tiba, menyusul tingginya permintaan masyarakat bagi sejumlah komoditas seperti makanan/minuman dan sandang.

“Kenaikan tarif ojol yang cukup tinggi tentunya akan berkontribusi bagi semakin tingginya tingkat inflasi. Apalagi berdasarkan hasil survei RISED, biaya pengeluaran transportasi sehari-hari berkontribusi sekitar 20% bagi pengeluaran konsumen per bulannya,” ujar Fithra.  

Rumayya menambahkan, Pemerintah hendaknya mengevaluasi regulasi tarif dalam bisnis Ojol. Pada akhirnya, berkurangnya permintaan Ojol tidak hanya akan menggerus manfaat yang diterima masyarakat dari sektor ini, tapi juga akan berdampak negatif pada penghasilan pengemudi karena konsumen enggan menggunakan Ojol lagi.

“Sudah saatnya Pemerintah mendasarkan pembuatan kebijakan pada bukti-bukti statistik mengenai kondisi objektif yang terjadi di masyarakat. Selain itu, perlu evaluasi berkala dalam jangka waktu yang tidak terlalu panjang, supaya bisa meninjau efektivitas kebijakan terhadap kesejahteraan konsumen dan pengemudi,” tutup Rumayya.(RISED)

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved