Mengenang Kisah Tragis Gadis Amerika Rela Mati Dibuldoser Demi Palestina
perempuan asal Amerika Serikat Rachel Alience Corrie meninggal dunia akibat dibuldoser oleh Israel
Penulis: Yandi Triansyah | Editor: wartawansripo
SRIPOKU.COM -- Pasca dukungan Presiden Amerika Serikat Donal Trump memicu keteganggan umat muslim di dunia.
Atas pernyataannya bahwa Yerussalem merupakan bagian dari Israel.
Negara Adikuasa bertubi tubi mendapat kecaman dari seluruh muslim di dunia.
Bahkan tak sedikit yang menyuarakan untuk memboikot seluruh produk Amerika tersebut.
Tapi, jauh sebelum adanya pernaytaan Donald Trump tersebut, ternyata ada beberpa orang Amerika justru membela kemardekaan Palestina hingga mengorbankan nyawannya.
14 tahun lalu 16 Maret 2003 seorang jurnalis perempuan asal Amerika Serikat Rachel Alience Corrie meninggal dunia akibat dibuldoser oleh Israel, ketika menghalangi penggusuran rumah-rumah pendudukan Palestia di Rafah Selatan Jalur Gaza.
Namanya abadi sebagai pahlawan Palestina dan pejuan kemanusiaan.
Dia seorang protestan, bukan berasal dari kelompok Fatah maupun Hamas.
Tapi ia rela mati demi rakyat Palestina.
Ia berdiri atas dasar kemanusiaan, karena melihat kezhaliman Israel terhadap rakyat Palestina.
Gerakan melindungi Palestina sejak lama mendunia, menjadi milik para pejuang kemanusiaan.
Ia datang ke Gaza sebagai bagian dari tugas kuliahnya untuk menghubungkan kota tempat tinggalnya dengan Rafah dalam sebuah proyek kota kembar.[5] Sementara disana ia telah terlibat dengan rekan-rekannya yang lain sesama pegiat ISM dalam upaya non kekerasan guna mencegah penghancuran rumah warga Palestina oleh tentara Israel.
Dikutip dari wikipedia, Rabu (20/12/2017) beberapa pekan setelah kedatangannya di Palestina, tepatnya pada tanggal 16 Maret 2003, Corrie terbunuh ketika ia dan teman-temannya pegiat ISM terlibat konfrontasi dengan dua buldozer Israel.

Corrie pada hari tersebut menghadang laju buldozer Israel yang hendak menghancurkan rumah keluarga seorang apoteker Palestina.
Ia bersahabat dengan keluarga tersebut dan selama disana ia hidup bersama mereka.
Dia ditabrak dan dilindas oleh buldozer yang dihadangnya hingga mengakibatkan tulang tengkoraknya retak, tulang rusuknya hancur dan menusuk paru-parunya.
Para saksi mata mengatakan bahwa buldozer dengan sengaja melaju kearah Corrie yang pada saat itu mengenakan jaket berwarna jingga terang.
Namun hal itu dibantah oleh pemerintah Israel yang mengatakan bahwa insiden itu adalah sebuah kecelakaan yang disebabkan karena operator buldozer tidak melihat keberadaan Corrie di depan kendaraan berat itu.
Pada tahun 2005 orang tua Corrie mengajukan gugatan perdata terhadap negara Israel.
Mereka menggugat atas Israel yang tidak melakukan penyelidikan penuh dan kredibel serta bertanggung jawab atas kasus kematian putri mereka, baik peristiwa itu terjadi dengan disengaja ataupun dikarenakan hal lain yang disebut sebagai kecelakaan.
Israel dalam gugatan itu dituntut untuk membayar kompensasi simbolis sebesar 1 Dolar Amerika Serikat dan membawa kasus tersebut sebagai langkah keadilan bagi Corrie dan perjuangan rakyat Palestina yang dibelanya.
Pada bulan agustus 2012 pengadilan Israel menolak gugatan itu,Israel tetap bertahan pada hasil penyelidikan tahun 2003 yang dilakukan oleh militer Israel yang telah memutuskan bahwa Isarael tidak bertanggung jawab atas kematian Corrie.
Kehidupan dan perjuangan Rachel Corrie diabadikan dalam banyak penghormatan, diantaranya drama yang berjudul My Name Is Rachel Corrie dan sebuah paduan suara The Skies are Weeping.
Tulisan-tulisannya dibukukan pada tahun 2008 berjudul Let Me Stand Alone, buku tersebut mengisahkan tentang "proses pendewasaan seorang wanita muda yang ingin membuat dunia sebagai tempat yang baik.
Sebuah lembaga sosial Rachel Corrie Foundation for Peace and Justice didirikan untuk melanjutkan perjuangannya.