Numpang Makan di 3 Anaknya, Ibu Ini Selalu Menangis, Anak Ke-3 Beri Air, Ia Langsung Berikan Warisan
Dia tersenyum sambil meneteskan air mata, lalu mengeluarkan jepitan rambut emasnya tersebut, dan diselipkan ke rambut Vera, putri bungsunya.
Tak terduga di rumah putri bungsunya, ia dapat hanya semangkuk air putih.
Dia berpikir, semua darah dagingku memperlakukan aku seperti ini. Lebih baik jepitan emas ini aku bawa ke dalam peti mati saja.
Karena merasa kecewa dan hendak pulang, putri bungsunya itu mengeluarkan rendang daging sapi dan sayuran segar.
“Bu, malam ini ibu tidak usah pulang, ayo bu kita makan, ” kata putri bungsunya.
Dia tercengang melihat masakan yang disuguhkan putri bungsunya ini. Dia tahu persis kondisi putrinya yang susah tidak mampu membeli daging-dagingan. Paling pada saat tahun baru atau hari raya tertentu saja baru bisa makan daging.
“Uang dari mana Vera bisa membeli daging ?” Katanya dalam hati.
Saat makan, tanpa sengaja dia melihat rambut anak perempuannya, jepitan rambut yang biasanya terselip di rambut anaknya ternyata sudah tidak kelihatan lagi.
Dia tersenyum dan tiba-tiba merasakan kehangatan, tampak air matanya berlinang.
Vera memandang ibunya sekilas dan berpikir ibunya sedang mencemaskannya, lalu berkata, “Bu, suamiku baik kepadaku. Meski hidupku agak susah, tapi ibu tidak usah khawatir. Menantu ibu juga bilang, jika ekonomi sudah agak lumayan, tahun depan kami akan menjemput ibu tinggal bersama kami.”
Dia tersenyum sambil meneteskan air mata, lalu mengeluarkan jepitan rambut emas tersebut, lalu diselipkan ke rambut Vera, putri bungsunya.
”Nak, ini adalah barang terakhir yang bisa ibu berikan untukmu. Ibu tidak pernah rela menjualnya walaupun pada kondisi sulit dalam hidup ibu dulu. Barang inilah sesuatu yang mengingatkan ibu untuk terus melihat ke depan, dan masa-masa sulit akan terlewati selama ada usaha,” katanya.
Vera mengangguk, ia teringat masa-masa sulit ketika bersama dengan kedua kakak dan ibunya dulu, dan tanpa terasa air matanya pun mengalir mengenang semua itu.
Dan beberapa pekan kemudian, si “Janda” itu pun meninggal dengan tenang, meninggalkan kehidupannya yang getir.