Mata Jenazah Keluar Nanah, Tanah Susah Dicangkul, Ternyata Saat Hidup Ia Suka Begini
Ia bukan orang sembarangan.Ia adalah seorang mantan lurah dan sudah puluhan tahun menjabat lurah.
Penulis: ewis herwis | Editor: ewis herwis
Tak bisa berbuat apa-apa, tak bisa bergerak, tak bisa berkata apa-apa.
Jarum infus tak mampu memulihkan tenaganya untuk berdiri dari pembaringan.
Ia terkapar seperti seonggok kayu.
Ia terkapar seperti tak berarti.
Hanya degup jantungnya yang berdetak dan itu memberi pengertian bahwa dia masih hidup.
Lasmi (50 tahun) yang menunggu tersedu di samping pembaringan suaminya, hanya mampu menangkap makna dan keinginan Trusno dari isyarat bola matanya saat berkedip dan dari gerakan mulutnya yang tidak mengeluarkan suara.
Air matanya sudah terkuras habis.
Ia sesenggukan dalam sedih.
Isak tangisnya nyaris tak terkontrol dan tiba-tiba jerit keras dari mulutnya terdengar melengking di tengah malam yang merana. Di tengah malam yang kelam.
Beberapa saat kemudian, datang dua orang perawat, masuk ke ruangan dan berusaha menenangkan Lasmi.
Tubuh Trusno yang panas sekali, membuat Oding (25 tahun), anak laki-laki Trusno tak henti-hentinya menyeka dahi ayahnya dengan handuk basah.
Ia tahu, ayahnya sudah berada di ambang maut.
Angin malam yang berhembus kencang di luar ruangan, dan menghempaskan dedaunan dan ranting akasia di pelataran rumah sakit seperti mengabarkan tentang berita kematian itu.
Ia berekali-kali membisikkan kalimat thayyibah dan berusaha menuntun sang ayah untuk mengikuti gerakan mulutnya.
Entah mendengar bisikan Oding atau tidak, yang jelas Trusno seperti kian ditikam kesakitan.
