Warga Cidawang Merasa Dirugikan Dalam Proses Ganti Rugi Lahan untuk Double Track KA
Jured tidak akan mempersoalkan ganti rugi tanam tumbuh jika pihak KAI transparan mulai dari kwitansi dan berbagai mekanisme lainnya.
Penulis: Evan Hendra | Editor: Tarso
MARTAPURA, SRIPO - Pembebasan lahan oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) untuk pembangunan rel double track dinilai tidak transparan antara sejumlah wilayah di OKU Timur.
Seperti pembebasan dan pembayaran tanam tumbuh untuk pembangunan rel Double Track di wilayah Cidawang, kelurahan Pangku Sekunyit yang dinilai tidak transparan dan nilai berbeda dengan yang ada di wilayah Kelurahan Sungai Tuha Jaya.
Seperti yang diungkapkan Jured (50) warga Cidawang yang mengaku dirugikan oleh pihak KAI yang akan mengganti tanam tumbuh miliknya berbeda dengan ketentuan peraturan yang ada.
Menurut Jured, selain nilai ganti rugi yang tidak sesuai, pembayaran ganti rugi dengan masyarakat juga tidak transparan.
Masyarakat hanya disuruh menandatangani kwitansi kosong dan diberikan uang.
"Tidak ada perbedaan ganti rugi antara rumah permanen dengan pagar. Tanaman tumbuh seperti kelapa, kolam dan tanaman lainnya dihargai dengan nilai sekitar Rp. 25 ribu perbatang," katanya Rabu (2/8).
Padahal kata Jured, di wilayah sungai tuha, ganti rugi tanam tumbuh untuk kelapa dibayar sebesar Rp 250 ribu per batang. Namun untuk wilayah Cidawang PT KAI hanya membayar Rp. 25 ribu per batang.
Menurut Jured, dirinya tidak akan mempersoalkan ganti rugi tanam tumbuh jika pihak KAI transparan mulai dari kwitansi dan berbagai mekanisme lainnya.
"Jika sama antara di wilayah sini dengan sungai tuha, mungkin saya tidak akan mempersoalkannya. Namun karena ada perbedaan yang aneh, jadi saya bersikeras melarang mereka menebang tanaman saya sebelum proses ganti rugi selesai," katanya.
Dikatakan Jured, dirinya memiliki tanam tumbuh jenis kalitus di lahan yang akan digunakan PT KAI rel double track.
Pada tahap awal kata dia, PT KAI berencana mengganti sebesar Rp. 25 Ribu per batang. Karena dirinya menolak naik menjadi Rp. 40 Ribu per batang, karena dirinya juga menolak dan meminta samaratakan dengan wilayah Sungai Tuha Jaya sebesar Rp. 250 ribu perbatang, PT KAI kemudian bersedia membayar Rp. 80 ribu kemudian naik lagi menjadi Rp. 100 ribu per batang.
"Saya tetap menolak karena memang tidak sama dengan daerah lain. Jika sama saya tidak akan mempersulit. Mereka juga tidak ada sosialisasi saat melakukan penggusuran. Terakhir PT KAI meminta untuk membayar Rp. 2,5 Juta. Namun saya menolak dan meminta totalnya sebesar Rp. 3 Juta. Namun mereka menolak. Dan saat ini saya tidak akan membiarkan siapun beraktifitas di lokasi tanam tumbuh saya sebelum proses ganti rugi selesai," katanya.
Menurut Jured, warga selama ini tidak mengetahui jika ada peraturan dan ketentuan yang menyatakan bahwa seluruh tanam tumbuh, bangunan dan semua yang ada di tanah PT KAI sekalipun ada nilai dan dibayar oleh pihak KAI.
Jadi selama ini warga hanya disodori kwitansi kosong di ukur kemudian diberikan ganti rugi tanpa tahu peraturan yang sebenanrnya.
"Saya tidak menghalangi proses pembangunan yang tentunya untuk kemajuan. Namun transparansi itu perlu sehingga tidak ada yang dibohongi," katanya.
Sedangkan Hoirul warga lainnya mengatakan memang saat penandatanganan tidak ada penjelasan mengenai nominal karena mereka hanya disodori kwitansi kosong saja.
Selain itu, antara bangunan permanen dengan pagar diganti rugi oleh T KAI dengan nilai yang sama yakni Rp. 250 per Meter.
"Memang rancu, namun mau bagaimana lagi. Jika masyarakat tau sebelumnya mungkin mereka menolak. Namun karena masyarakat tidak tahu dan takut, jadi hanya diam saja dan tidak berani untuk bersuara," katanya.
