Mengenal Indrawati Widjaja, Membesarkan Musica Studio (1)

Tangan dinginnya berhasil melahirkan musisi-musisi pencetak hits di industri musik Indonesia. Sebut saja Chrisye, Iwan Fals, Trio Libels, Kahitna

Editor: Sudarwan
Ahmad fadilah / NOVA
Indrawati Widjaja 

SRIPOKU.COM - Tangan dinginnya berhasil melahirkan musisi-musisi pencetak hits di industri musik Indonesia. Sebut saja Chrisye, Iwan Fals, Trio Libels, Kahitna, Java Jive, Base Jam, Geisha, Nidji , d’Masiv hingga Peterpan. Mereka berhasil melejit lewat perusahaan rekaman milik keluarganya, Musica Studio’s. Instingnya kuat dan selalu tepat untuk memilih lagu-lagu yang bakal diterima penikmat musik.

Sepertinya darah seni ayah saya, Yamin Widjaja mengalir deras dalam diri saya. Saya sangat bersyukur dan menyebut ini adalah gift dari Tuhan, karena dianugerahi talenta untuk bisa mendengar dan memilih lagu, yang Puji Tuhan, bisa sukses di pasaran dan juga bisa melihat artis baru mana yang bisa diterima oleh pendengar musik Indonesia. Saya kira hal ini tidak diajarkan di sekolah.

Satu lagi yang saya syukuri adalah Musica Studio’s masih bisa bertahan sampai saat ini, karena Musica sangat loyal dan konsisten dengan industri musik Indonesia. Bahkan kadang saya berpikir bahwa hidup saya adalah di industri ini. Suka, duka, apa pun cobaannya, saya dan tim harus bisa survive .

Bagi kami (saya beserta saudara-saudara), membesarkan Musica dan membuatnya terus eksis merupakan salah satu tanda bakti kita pada orangtua. Karena Musica Studio’s adalah perusahaan yang diwariskan orangtua, Yamin Widjaja dan Lani Djajanegara kepada keenam anaknya. Dengan niat baik dan tulus, kami sekeluarga beserta seluruh tim keluarga besar Musica berusaha menjaga, memajukan, dan mengharumkan nama Musica serta membanggakan orang tua .

Dititipkan ke Asrama

Jika mengenang awal berdirinya Musica, tentu banyak suka dan duka yang kami sekeluarga lalui. Awalnya, perusahaan rekaman milik ayah bernama PT. Metropolitan Studio. Waktu dan perhatian kedua orangtua saya pun terkuras untuk merintis usaha ini. Alhasil, mereka memutuskan untuk mengirim empat anak terbesarnya, termasuk saya, ke asrama Santo Yusuf di daerah Puncak, Jawa Barat. Maksud dan tujuannya agar anak-anak tidak terlantar dan tetap ada yang mengontrol urusan makan dan sekolahnya, sementara kedua orangtua kami sedang berjuang untuk membangun perusahaan rekaman ini.

Beberapa tahun kemudian, kami ditarik ke Jakarta. Usaha ayah dan ibu saya sudah settle , studio selesai dibangun, semuanya sudah beres. Bahkan kami disediakan kamar-kamar di atas studio agar bisa menginap di akhir pekan.

Bagi saya, bermain-main di studio merupakan pengalaman yang menyenangkan. Saya bisa bertemu banyak orang, dekat dengan artis-artis yang dikontrak oleh ayah, seperti Rafika Duri, Harvey Malaiholo, Chrisye, Hetty Koes Endang, Titiek Puspa, Andi Meriem Matalatta, Grace Simon, Iwan Fals, Guruh Sukarno Putra, Betharia Sonata, Jamal Mirdad, Chaseiro, dan New Rollies.

Hampir setiap pulang sekolah, saya pasti main ke studio rekaman. Saya selalu tertarik untuk menemani ayah menggarap album rekaman artisnya. Saat menemani beliau, saya bisa melihat dan tahu bagaimana ayah bersikap dan memperlakukan artis-artis di perusahaan rekamannya itu. Ayah memperlakukan mereka seperti anak dan keluarganya sendiri. Bekal inilah yang kemudian saya terapkan ketika berhadapan dengan artis-artis Musica Studio.

Ditinggal Ayah

Seiring dengan berkembangnya perusahaan, ayah mengganti nama PT. Metropolitan Studio menjadi PT. Musica Studio’s tahun 1971. Namun sayang, saat tengah menikmati hasil kerja keras dari bisnis yang dibangunnya, ayah meninggal dunia, setelah dirawat di sebuah rumah sakit di Amerika Serikat. Ia menyerah pada penyakit kanker lever yang menggerogotinya. Sepertinya beliau kecapekan hingga kondisi kesehatannya drop . Beliau hidupnya, kan, terbalik, siang jadi malam, malam jadi siang.

Kami semua anak-anaknya sangat syok dengan kepergian ayah. Apalagi saya, salah satu anak yang dekat dengan beliau. Sejak kecil, saya selalu menikmati saat–saat menemaninya di studio rekaman. Bahkan di hari-hari terakhirnya, sebelum berangkat ke Amerika untuk berobat, saya selalu di sampingnya.

Ditinggal ayah, kami seperti kehilangan segalanya. Kami juga tidak tahu mau berbuat apa. Saat itu, ayah memang yang masih aktif memegang Musica, sementara anak-anaknya masih sekolah. Kondisi perusahaan “goyang”. Akhirnya anak-anaknya yang sedang sekolah di luar negeri, di London, Singapura, diminta pulang. Kakak-kakak saya yang besar dan sudah selesai kuliah diminta untuk menjalankan perusahaan, sementara adik-adik yang masih kecil tetap meneruskan sekolah, sehingga bisa dikatakan kami berangkat dari nol lagi.

Antar Sendiri

Kakak saya yang tertua, Seniwati Widjaja menjadi motor utama perusahaan kami. Namun paling tidak, kami semua sudah ada bekal untuk mencoba meneruskan perusahaan. Saya yang berada di Jakarta, sedikit-sedikit sudah mengerti soal bisnis ini. Sementara kakak-kakak saya yang lain, juga belajar bisnis dari sekolahnya. Klop lah. Kami bertekad untuk mempertahankan dan membesarkan perusahaan keluarga ini.

Halaman
12
Sumber: Nova
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved