Curhat Istri Bambang Widjojanto
”Mas Bambang Bukan Malaikat” (2)
“Jika terjadi sesuatu atas Abi, tidak perlu khawatir, ya. Harus saling menguatkan di antara kita.”
Saya biasa berkata pada mereka, “Waktu kalian berada di sekolah adalah jihad kalian hari ini. Jadi belajarlah sungguh-sungguh dan fokus pada diri supaya bisa bermanfaat bagi teman-teman kalian.” Nah, ketika punya waktu luang pada hari Sabtu-Minggu dan tak ada pekerjaan, semaksimal mungkin Mas Bambang memberikan waktunya pada anak-anak. Taqi masih sering diantar ayahnya ke sekolah dengan motor untuk ikut ekstrakurikuler. Kebetulan, karena dua anak kami senang berkuda, jadwal mereka berkuda selalu didampingi Mas Bambang. Jadi, sesibuk apa pun Mas Bambang, insya Allah saya dan anak-anak selalu merasa dia ada di antara kami.
Melepas “Topi”
Saya sudah 25 tahun mendampingi Mas Bambang. Waktu itu, Mas Bambang masih bekerja di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jayapura, Papua. Saya mengenalnya pertama kali dalam sebuah seminar di Jayapura pada 1989. Saya menemani pembicara di depan, sedangkan Mas Bambang jadi peserta.
Saat bertemu di Mas Bambang, saya bekerja di sebuah LSM di bidang sosial ekonomi kemasyarakatan. Tahun 1990, kami menikah. Menjelang akhir 1993, Mas Bambang ditarik ke Jakarta dan menjadi Ketua Dewan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Sampai 2001, Mas Bambang masih bekerja di LBH. Setelah itu, Mas Bambang yang menamatkan S1 di Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta, mendirikan kantor pengacara di Jakarta.
(Bambang Widjojanto juga salah satu pendiri Kontras bersama Munir. Dia pernah jadi panitia seleksi calon hakim ad hoc tindak pidana korupsi, tim penasihat hukum KPK, dan tim Pembentukan Regulasi Panitia Pengawas Pemilu. )
Tahun 2013, Mas Bambang jadi Wakil Ketua KPK. Sejak masih di LBH, Mas Bambang sudah sangat geram pada para koruptor. Jadi, bicara antikorupsi bukanlah hal baru buatnya. Dia juga salah satu pendiri Indonesia Corruption Watch (ICW). Jadi, bekerja di KPK merupakan lanjutan perjuangan dari cita-cita Mas Bambang.
Mas Bambang juga tak pernah membawa pekerjaan ke rumah dan tak pernah menceritakan kasus-kasus yang sedang ditangani KPK pada kami. Seheboh apa pun kasusnya, kalau anak-anak bertanya, dia menjawab, “Kalian konsentrasi belajar saja, mempersiapkan diri untuk jadi pemimpin-pemimpin masa depan. Tidak usah bertanya tentang urusan Abi di kantor.” Itu memang cara Mas Bambang agar urusan kantor memang stop di kantor. Di rumah, dia adalah kepala keluarga, ayah, serta suami. Dia ingin melepas “topi” KPK sebelum masuk rumah.
Jadi, anak-anak hanya mengikuti kasus KPK dari media. Ketika Mas Bambang di-bully di media, mereka ikut membela, terutama Izzat yang sangat kritis. Saya rasa dia memang pantas berada dalam situasi penangkapan itu. “Kamu sudah memantaskan diri, sehingga dipilih Allah untuk berada di situasi itu,” puji saya pada Izzat.
Tidak Heboh
Saya sendiri, sejak awal mengenal Mas Bambang, memang mengalami beberapa momentum yang membuat saya belajar siap pada risiko apa pun sebagai istri seorang aktivis di bidang hukum. Kadang-kadang, dia berhadapan langsung dengan aparat, termasuk saat reformasi tahun 1998. Isu-isu penculikan saat itu sangat dekat dengan kami.
Saat itu, Mas Bambang pernah disarankan untuk mengungsi karena teman-teman aktivis lain mulai diciduk, entah dibawa ke mana. Namun, saya katakan padanya tak perlu keluar rumah. “Kalaupun mau menculik, sesungguhnya mereka sudah ada di sekitar kita. Malah jadi tak aman ketika keluar rumah. Tetaplah di rumah bersama kami, supaya kami tahu siapa yang datang mengambil Abi.”
Selama Mas Bambang bekerja di KPK, sejauh ini tidak ada teror yang kami dapat. Kalau soal penyadapan telepon, wallahualam . Situasi segenting apa pun, menurut saya kalau tidak kita besar-besarkan, bisa dijalani apa adanya dan kita bisa lebih jernih berpikir. Selain itu, akan lebih mudah bagi kita untuk menata diri dan perasaan. Sebaliknya, kalau dibesar-besarkan, kita jadi panik sendiri. Maka, ketika teman-teman bertanya bagaimana perasaan saya atas penangkapan Mas Bambang, saya merasa ini bukan sesuatu yang heboh.
Menjalankan Skenario
Saya betul-betul menggunakan kesempatan penangkapan Mas Bambang untuk proses pembelajaran bagi anak-anak. Di kepala, saya gambarkan mereka adalah calon pemimpin-pemimpin masa depan. Jadi, mereka tetap dalam kondisi sigap, tidak merasa sedih, khawatir, dan merasa bahwa segala sesuatu itu sudah diskenariokan Allah. Saya, Mas Bambang, dan anak-anak sudah siap apa pun yang akan terjadi. Saya menghayati bahwa hidup ini adalah skenario, jadi saya sekarang sedang menjalani skenario yang sudah ditetapkan Allah.
Daun kering jatuh di bumi saja tak mungkin tanpa sepengetahuan Allah, apalagi momentum ini yang menurut sebagian besar orang luarbiasa. Pasti ini skenario Allah. Jadi, kami pandai-pandai saja menjalankannya sehingga hikmahnya bisa kami dapat. Kalau ditanya apakah saya dan anak-anak yakin Mas Bambang tak bersalah, menurut saya Mas Bambang bukan malaikat. Dia manusia sama seperti kita semua, yang pasti punya kesalahan, disadari atau tidak. Saya tak mau mengatakan dia clean , karena saya memang tidak tahu. Siapa tahu dia khilaf.