Breaking News

Resensi Buku

Sekuntum Bunga di Langit Eropa

Buku bertajuk ‘Berjalan di Atas Cahaya’ ini menjadi kelanjutan dari novel ‘99 Cahaya di Langit Eropa’.

Editor: Sudarwan
zoom-inlihat foto Sekuntum Bunga di Langit Eropa
ist
Berjalan di atas cahaya

Buku bertajuk ‘Berjalan di Atas Cahaya’ ini menjadi kelanjutan dari novel ‘99 Cahaya di Langit Eropa’. Bila dalam novel pertama Hanum ditemani sang suami, kini ditemani dua sahabat; Tutie Amaliyah dan Wardatul Ula.

Dalam antologi setebal 210 halaman ini, ketiganya memiliki ikhtiar kuat berbagi pengalaman dan curahan hati sebagai muslimah yang menapaki terjal dan gersangnya menuju oase cahaya di Eropa.

Awal cerita dimulai ketika Hanum Rais dan teman-temannya dari salah satu televisi swasta diberi tugas "Mission Impossible" untuk program acara Ramadhan tentang kisah inspiratif dan menarik mengenai kehidupan para muslim maupun mualaf di negeri Eropa hanya dengan dana tiga ribu dollar dan tenggat waktu persiapan yang singkat.

Secara logika dengan uang sekecil itu, liputan tak akan berwujud. Namun ajaib, berbekal menyambung silaturahmi, Hanum merampungkan tugas dengan kisah yang indah, liputan itu berjalan sukses (hlm. 2-4).

Singkatnya, ternyata tanpa disadari Hanum selama ini mempunyai simpanan berupa investasi sosial yaitu kenalan, teman, dan sahabat di Eropa yang siap membantu tanpa pamrih.

Cerita lantas bergulir dari bab ke bab mengisahkan profil-profil muslim Eropa yang inspiratif, menarik, dan unik.

Diawali dengan kunjungan ke desa Ipsach di Bern Swiss yang sunyi dan tenang. Di sana Hanum dan dua rekannya satu tim bertemu dengan Bunda Ikoy, seorang muslimah asal Aceh yang sudah lama menetap di sana dan bekerja sebagai pembuat jam tangan merk terkenal yaitu Calvin Klein.

Bunda Ikoy bersuamikan seorang mualaf yang taat akan ajaran agama Islam bernama Marco Kohler, dengan panggilan sayang dari Bunda Ikoy yaitu Yah Cut.

Di sana Hanum diajak melihat kantor salah satu perusahaan besar pembuat jam tangan terkenal, Swatch Group yang menerima pegawai berjilbab (hlm. 26-27).

Selanjutnya, Hanum juga berkisah tentang Nur Dann, seorang rapper muslimah berjilbab pertama di dunia. Meski baru berusia 17 tahun, gadis keturunan Turki itu memiliki cita-cita luhur berdakwah lewat senandung musik rap gubahannya (hlm. 34).

Selanjutnya, Tutie Amaliah membuka curahan hatinya lewat kisah pertemuannya dengan seorang pendekar berhijab yang ikhlas membantunya di bandara.

Dia juga bercerita tentang kehidupan lara Stefania dan suaminya yang dikucilkan oleh sentimen agama. Juga, persepsi negatif yang ia terima dari teman-teman kuliahnya. Namun, dengan keyakinan, itikad, dan proses yang teguh, Tutie akhirnya membuktikan diri tampil sebagai lulusan MBA yang terbaik (hlm. 121-123).

Selanjutnya, ada cerita haru, kabar dialihfungsikan masjid menjadi bengkel karena kendala biaya. Mendengar itu, Tutie beserta kawan-kawan pengajian Indonesia langsung tergerak memertahankannya.

Dengan iuran sukarela, akhirnya terkumpul dana untuk merawat dan meramaikan masjid pertama di Wina, bernama As-Salam itu.

Beranjak ke desa lain, Hanum menemukan kedai bunga yang aneh karena tak dijumpainya si penjual. Di sana, hanya ada setumpuk bunga aneka rupa dan beberapa kaleng berisi lembaran uang receh dan buku kecil untuk mencatat uang kembalian.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved