Lika-liku Kehidupan Buya Syafii
Tak pelak lagi, bangsa ini memang harus kembali membaca dan belajar pada sejarah perjuangan para tokoh bangsanya.
DI tengah identitas dan moralitas sebagian bangsa yang rapuh; ditandai maraknya korupsi, radikalisme, dan terorisme. Nampaklah bangsa-negara kita telah tercerai –berai akibat jeratan nafsu uang dan kuasa, berbudaya hedonisme, materialisme dan individualisme.
Tak pelak lagi, bangsa ini memang harus kembali membaca dan belajar pada sejarah perjuangan para tokoh bangsanya. Salah satunya adalah Ahmad Syafii Maarif. Cita-citanya tak lain adalah mencerdaskan kehidupan bangsa; bukan semata cerdas otaknya, namun lebih kearah cerdas dalam menjalankan kehidupan, memiliki kepedulian sosial dan moral yang tinggi. Cita-cita itu, dipedomani dari petuah Bung Hatta, “Hanya satu yang dapat disebut tanah airku, ia terkembang dengan usaha dan usaha itu ialah usahaku”.
Barangkali itulah serpihan kecil dari bejibun semangat perjuangan Buya Syafii yang semestinya dicontoh dan ditradisikan generasi muda bangsa saat ini.
Hadirnya buku berjudul “Memoar Seorang Anak Kampung” yang diterbitkan kembali oleh Penerbit Ombak ini adalah langkah yang patut mendapat apresiasi dan cerdas dalam meruwat, menggugah sekaligus merefleksi kembali teladan yang dibawa Buya Syafii, lewat rasa dan falsafah pemikiran dan perjuangannya menjadi bangsa Indonesia yang luhur dan lurus.
Catatan otobiografi Buya Syafii ini menjadi contoh otentik dari seorang cendekiawan yang peduli dan mengultuskan dunia pustaka sebagai kawah candradimuka mengabadikan diri. Tak heran, tatakala membaca buku ini, pembaca akan diajak berselancar mengarungi samudera makna, berliku, dramatik, menyedihkan, menegangkan, tetapi penuh nilai dan sarat dengan pelajaran. Kesemuanya hadir dalam frasa kehidupan Buya Syafii.
Buya Syafii dilahirkan di Sumpurkudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1935. Sedari kecil Syafii Maarif bergumul dengan pengetahuan tentang agama Islam.
Hal itu berkat pendidikan dari orangtuanya, Makrifah, dan juga dipertajam dengan pendidikan yang dijalani kemudian, yang akhirnya membentuk dirinya hidup secara kental dalam tradisi Islam.
Setamat dari Sekolah Rakyat Ibtidaiyah di Sumpurkudus pada tahun 1947, ia melanjutkan studinya ke Madrasah Mu'allimin Lintau, Sumatera Barat.
Selama kurun itu, Syafii menjalani kehidupan secara biasa sebagai anak kampung yang suka menjala ikan, menggembala sapi, ternak ayam, mandi di sungai, dan dolanan bersama kawan-kawannya.
Senyampang itu, Syafii kecil mewarisi tradisi dan adat tanah Minang yang sarat falsafah. Diantara adat yang melekat pada anak-anak Minang itu berbunyi: “alam terkembang jadi guru”.
Artinya, orang Minang seharusnya tidak saja jadi perantau, tetapi juga tampil sebagai warga dunia dengan wawasan universal. Spirit inilah yang diyakini akan melahirkan karakter Minang yang maju, berkembang, dan suka dengan segala tantangan.
Tak heran, setamat belajar dari Mu’allimin Muhammadiyah Balai Tengah, Syafii merantau ke tanah Jawa melanjutkan pendidikannya di Madrasah Yogyakarta. Di sanalah, jendela wawasannya mulai terbuka, dan onak duri kehidupan mulai silih berganti menghinggapnya. Cobaan terberat sewaktu orang tuanya meninggal dunia. Praktis, biaya sekolah menjadi tanggung jawab Syafii; "Saya terdampar di pantai karena belas kasihan ombak," katanya mengilustrasikan perjalanan hidupnya yang berliku.
Berkat bantuan dari saudaranya, Syafii Maarif akhirnya bisa melanjutkan studi di Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Surakarta. Disana, Syafii yang sudah biasa hidup mandiri semenjak remaja, harus berjuang keras menempuh hidup yang tertatih-tatih.
Dia menjalani beratnya sekolah sambil bekerja, sehingga pada mulanya mengambil fakultas hukum harus rela pindah ke FKIP jurusan sejarah budaya Universitas Cokroaminoto Surakarta, dengan alasan efisiensi jadwal dan waktu bekerjanya.
Perjuangannya sungguh berat, berbagai profesi pun pernah Syafii jalani demi mengais rejeki membiayai kuliahnya; mulai dari guru les, penjaga toko kain, penimbang besi, berdagang ayam dan kambing sampai menjadi guru honorer di Wonogiri.
Berbekal motivasi menuntut ilmu yang kuat, Syafii berhasil meraih sarjana pada tahun 1964, sedangkan gelar Sarjananya diperoleh dari IKIP Yogyakarta pada tahun 1968.
Sampai usia 28 tahun, Syafii menjadi bujang lapuak yang masih begulat menuntut ilmu di Jawa, belum juga memiliki tumpuan hati. Sudah 4 tahun lamanya dia tidak pulang, sehingga membuat Etek Bainah, bibi yang merawatnya semenjak kecil, ikut merasa sedih dan gelisah.
Kemudian atas inisiatif Ismael, timbulah keinginan untuk menjodohkan Syafii dengan Lip, dimana usia keduanya terpaut jauh sekitar 10 tahun.
Setelah berkirim surat tentang perjodohannya, Syafii pun pulang kampung dan terlaksanalah pertunangan dirinya dengan Lip, yang saat itu berumur 18 tahun.
Hubungan jarak jauh sempat mereka lakoni, dengan rasa sayang dan saling memahami. Pernah suatu masalah besar menimpa dan hampir mengandaskan hubungan mereka, namun bisa diatasi. Akhirnya berbekal kesabaran yang teguh, mengantarkan keduanya sampai ke pelaminan, meniti titian kehidupan bersama.
Selanjutnya, tak disangka ketekunan Buya Syafii berbuah manis, ia mendapat beasiswa mendalami ilmu sejarah hingga memperoleh gelar Master di Universitas Ohio, Amerika Serikat juga gelar Doktoralnya diperoleh pada tahun 1993 dari Universitas Chicago, Amerika Serikat. Tak heran, kepakaran di bidang sejarah itu mengantarkannya sebagai Guru Besar Ilmu Sejarah di IKIP Yogyakarta.
Praktis, dalam keseharian, Buya Syafii menjadi figur ilmuwan, sejarawan sekaligus agamawan. Kiprahnya di Muhammadiyah sejatinya diukir dari ranting.
Lambat laun, nama Syafii Maarif dikenal dan didaulat menjadi pengurus Nasional. Buya Syafii akhirnya didapuk menggantikan Amien Rais, sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah hingga tahun 2005.
Baginya, Muhammadiyah memberikan hikmah besar pada aras kepemimpinan yang peka untuk mendengar keluh kesah rakyat. Buku otobiografi ini seamsal curhatan otentik yang mengajarkan kesederhanaan hidup, ketabahan, konsistensi, independensi, moralitas adiluhung dan pergumulan panjang pencarian jati diri seorang Syafii Maarif. Selamat membaca!
Judul Buku : Memoar Seorang Anak Kampung
Penulis : Ahmad Syafii Maarif
Penerbit : Ombak
Tahun : 2013
Tebal : xvii + 470 halaman
ISBN : 978-602-258-041-6
Harga : Rp98.000,-
Pengirim: Muhammad Bagus Irawan, pustakawan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo