Mutiara Ramadan

Paradoks: Jika Agama yang Diyakini Sudah Mengatakan itu Aturan, Mengapa Masih Ingkar?

Hubungan antar benda dan keseimbangan yang harus terjadi. Pembangunan jembatan, jalan layang, bangunan tinggi, semua kemudian mengadopsi dari prinsip

Editor: Bejoroy
SRIPOKU.COM/Syahrul
Ilustrasi - Kereta LRT melintas di samping Jembatan Ampera menuju Stasiun Jakabaring, beberapa waktu lalu. 

Oleh : Dr. Yenrizal, M.Si.
Dosen FISIP UIN Raden Fatah

SAAT sekitar abad 17 lalu, Issac Newton mengeluarkan hukum gerak benda, mungkin ia tidak terpikir bahwa ini akan menjadi karya besar yang berpengaruh pada perkembangan teknologi dunia masa depan. Newton saat itu hanya mengamati apa yang ada di alam semesta, mencobanya, menilai, mencatat, mengulangi, dan kemudian jadilah sebuah teori. Inti teori ini mengatakan soal hubungan antar benda dan keseimbangan yang harus terjadi. Pembangunan jembatan, jalan layang, bangunan tinggi, semua kemudian mengadopsi dari prinsip hukum dari Newton.

Etika Kritik dan Kritik Beretika Paradoks

Apa yang disampaikan Newton menegaskan bahwa setiap benda terhubung dengan benda lainnya. Setiap peristiwa terhubung dengan peristiwa lainnya. Stimulus-respon, begitulah kira-kira efek yang sudah bisa diperkirakan. Dalam bahasa Parson, seorang ilmuwan sosial klasik, menyebutnya dengan Sistem. Semua ada dalam sebuah sistem yang saling terhubung. Isi dari sistem adalah sub sistem-sub sistem yang memiliki fungsi masing-masing. Kerusakan pada satu sub sistem akan berpengaruh pada sistem lain secara keseluruhan.

Seorang filsuf lain, Aldo Leopold berkata soal pentingnya memahami esensi kehidupan semesta ini dalam sebuah pandangan menyeluruh. Kita bukan hidup sendiri, tapi ada makhluk lain yang punya hak sama. Etika bumi atau land ethics, itulah yang harus dikembangkan. Tanpa memahami fungsi dan peranan makhluk lain, maka kehidupan manusia tidaklah akan berjalan baik.

Tak hanya itu, leluhur masyarakat Bumi Sriwijaya, Sri Baginda Sri Jayanasa pernah berkata soal kemakmuran untuk semua makhluk. Tata kota, tata ruang, pengaturan wilayah, pembangunan yang dilakukan adalah untuk semua makhluk, bukan hanya untuk manusia semata. Disitu ada hak hidup hewan, tumbuhan dan semuanya.

Keterhubungan atau saling keterkaitan, sering pula dikatakan simbiosis mutualistis untuk menyebut saling berpengaruh, adalah prinsip-prinsip hukum alam yang melekat pada masing-masing teori tersebut. Sebagai hukum alam, maka ia akan senantiasa ada. Melanggar prinsip hukum alam akan menyebabkan kerusakan hidup manusia itu sendiri. Segalanya terhubung pada sesuatu yang lainnya.

Makna keterhubungan ini, tidak hanya soal Newton atau Parson saja, tetapi ia memiliki makna lain yang lebih luas dan mendalam. Sebagai contoh, jika kita membangun rumah, sudah pasti harus mempertimbangkan rumah tetangga di sebelah, kepentingan tetangga juga harus diperhatikan. Apabila ini diabaikan, misalnya anda buat got pembuangan air ke tanah tetangga, niscaya selamanya hidup tak akan nyaman.

Apabila anda memiliki mobil, berjalan di jalan raya, harusnya bisa mempertimbangkan bahwa tindakan anda akan terhubung ke pengguna jalan lain. Apabila anda mengabaikan itu, kecelakaanlah yang terjadi atau resiko lainnya.

Begitupun, saat anda naik pesawat dan disuruh mematikan telpon seluler karena mengganggu navigasi pesawat, maka turutilah. Jika tidak, maka resikonya bukan anda sendiri yang tanggung tapi satu pesawat tersebut. Karena itu, kesatuan dan keterhubungan dengan pihak lain adalah keniscayaan yang harus diperhatikan dengan baik.

Tentu banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan bahwa keterhubungan itu adalah pasti. Prinsip dari semua keterhubungan tersebut adalah kesatuan dalam kebersamaan. Jangan ganggu kesatuan, jangan rusak kebersamaan, karena itu akan berpengaruh negatif pada aspek stabilitas bersama. Manusia tak bisa hidup sendiri, ia pasti butuh pihak lain, karena itu sikap individualisme adalah musuh terbesar dalam menjalin kesatuan ini.

Sayangnya, dalam konteks sekarang (mungkin sudah dari dulu), pengetahuan dan keyakinan terhudup kesatuan dan keterhubungan ini, tidak teraplikasi dengan baik. Semakin modern masyarakat, semakin inidivualistis gayanya, semakin jauh pula dari sikap kebersamaan dan rasa pentingnya saling terhubung. Padahal yang penting dikembangkan adalah rasa guyub, bersama, dan saling butuh.

Baik Newton, Parson, Leopold, adalah tokoh-tokoh yang hidup pada abad pertengahan, yang mungkin tidak berpikir sampai ke arah tersebut. Tapi yang jelas, karya mereka menunjukkan segalanya tak bisa jalan sendiri.

Jauh sebelum masanya Newton, Parson, Leopold, Sri Jayanasa atau filsul lain, Nabi Muhammad (abad ke 6 M) melalui wahyu dan hadistnya sudah pernah berkata tentang ini. Silaturrahhim, persaudaraan, adalah kata-kata yang banyak muncul dalam Al Qur’an dan hadist. Sampai sekarang kata dan petuah itu masih ada. Tentu Leopold dkk tidak pernah berinteraksi dengan Nabi Muhammad SAW, mungkin karya dan kisah hidupnya juga tak terbaca oleh mereka. Tetapi yang jelas, apa yang disebutkan oleh mereka tersebut, sudah dengan gamblang dan juga tersirat dalam Al Qur’an serta Hadist.

Pertanyaannya, mengapa kita tidak pernah patuh dengan aturan tersebut? Jika sudah tahu sisi positif dan negatifnya, jika agama yang diyakini sudah mengatakan itu, mengapa masih ingkar? Itulah paradoks. (*)

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved