SRIPOKU.COM, PALEMBANG - Kasus kekerasan terhadap seorang dokter subspesialis di RSUD Sekayu, Kabupaten Musi Banyuasin, mendapat perhatian langsung dari Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Melalui akun media sosial resminya, Budi Gunadi menyatakan keprihatinannya atas insiden yang menimpa dr. Syahpri, Sp.PD K-GH pada 12 Agustus lalu.
Menurut Menteri Kesehatan, dr. Syahpri mengalami ancaman verbal, direkam tanpa izin, dan dipaksa melepas masker di dalam ruang isolasi oleh keluarga pasien berinisial Ny. R.
Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa kekerasan dan pelecehan dalam bentuk apa pun, terutama terhadap tenaga medis, tidak dapat ditoleransi.
Ia menyoroti dedikasi dr. Syahpri, seorang dokter subspesialis yang rela mengabdi di Kabupaten Sekayu, yang berjarak empat jam dari Kota Palembang.
"Melalui video ini, saya ingin menegaskan kembali kepada seluruh masyarakat Indonesia bahwa kekerasan dan pelecehan terhadap siapapun tidak dapat ditolerir," kata Budi Gunadi dalam unggahan resminya, Kamis (14/8/2025).
Untuk memastikan kasus ini tuntas, Menteri Kesehatan telah menugaskan tim khusus dari Kementerian Kesehatan untuk memberikan dukungan penuh terhadap langkah hukum yang telah diambil oleh dr. Syahpri dan pihak RSUD Sekayu.
Budi Gunadi berharap proses hukum dapat berjalan lancar agar pelaku mendapatkan sanksi yang setimpal.
"Semoga proses hukum dapat berjalan lancar, sehingga memberikan efek jera terhadap pelaku," tutup Budi, menunjukkan komitmennya untuk melindungi para tenaga kesehatan.
Kasus ini berawal saat dokter Syahpri melakukan pemeriksaan terhadap seorang pasien perempuan di RSUD Sekayu.
Namun sang dokter mendapatkan perlakukan kekerasan dengan cara dipaksa membuka masker oleh keluarga pasien.
Tidak hanya itu ia juga mendapatkan intimidasi dari keluarga pasien tersebut.
Sang dokter akhirnya melaporkan kejadian itu ke pihak Polres Muba dan kasusnya saat ini tengah ditangani pihak kepolisian.
Tanggapan Keluarga Pasien
Ismet Syaputra, anak dari pasien yang dirawat, akhirnya buka suara, mengungkap alasan di balik tindakannya yang memicu kontroversi.
Bagi Ismet, semua bermula dari harapan akan pelayanan terbaik. Ia mendaftarkan ibunya, sebagai pasien umum atau VIP di RSUD Sekayu pada hari Jumat, dengan harapan penanganan yang cepat dan maksimal untuk penyakit diabetes komplikasi yang diderita.
Namun, harapan itu perlahan pupus. Meskipun kondisi ibunya membaik demam turun dan gula darah stabil mereka harus menunggu selama empat hari, hingga Selasa, untuk bertemu dengan dokter spesialis penanggung jawab.
“Kami memilih pelayanan umum atau VIP karena ingin pelayanan maksimal. Kalau dokter tidak ada saat akhir pekan, apa bedanya dengan BPJS? Sedangkan VIP saja seperti ini,” keluh Ismet, Rabu (13/8/2025).
Kekecewaannya memuncak saat mengetahui hasil pemeriksaan dahak ibunya yang ia klaim sudah ada sejak Sabtu, namun baru ditindaklanjuti pada hari Selasa.
Saat ia mencoba meminta kejelasan, jawaban yang ia terima justru menyulut emosinya.
“Bagaimana saya bisa bersyukur melihat ibu saya terbaring sakit?” ungkap Ismet, menirukan saran yang ia terima.
“Saya tersulut emosi dan meminta dokter melepas masker untuk memastikan beliau benar dokter atau bukan,” akunya.
Baginya, pengalaman ini adalah potret nyata dari pelayanan yang harus dievaluasi oleh pihak rumah sakit.
Perspektif Dokter
Di sisi lain, dr. Syahpri Putra Wangsa memberikan gambaran situasi dari sudut pandang medis yang penuh risiko.
Ia menjelaskan bahwa saat hendak memasuki ruang perawatan, seorang perawat telah memberinya peringatan.
"Perawat yang bertugas memberi tahu bahwa keluarga pasien sedang marah-marah," ujarnya.
Mengenai penantian pasien, dr. Syahpri menjelaskan bahwa dokter jaga dan perawat adalah perpanjangan tangan dokter spesialis yang tidak mungkin berada di rumah sakit 24 jam sehari, terutama di akhir pekan.
Namun, alasan utama ia bersikeras memakai masker bukanlah karena arogansi, melainkan demi keamanan berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP).
“Kenapa saya memakai masker? Karena dari hasil rontgen dan radiologi ditemukan bercak pada paru-paru pasien yang diindikasikan TBC, salah satu penyakit yang sulit ditangani. Pemakaian masker itu SOP pemeriksaan indikasi penyakit TBC,” jelasnya.
Merasa situasi memanas, dr. Syahpri mengaku telah mengantisipasi dengan meminta satu perawat merekam dan satu lagi memanggil keamanan.
“Saya bilang kalau buka masker di luar saja sesuai SOP. Tapi mereka tetap memaksa dan melepas masker saya,” tuturnya.
Bahkan setelah insiden itu, ia masih mengkhawatirkan keselamatan para perawat perempuan di sekitarnya yang masih harus berhadapan dengan emosi keluarga pasien.