SRIPOKU.COM, MARTAPURA – Sebuah tawa ringan di ruang kelas, respons spontan seorang siswi berusia 13 tahun, MPO, terhadap pena yang terjatuh.
Siapa sangka, insiden yang tampak sepele itu menjadi pemicu dugaan serangkaian tindakan kekerasan dan intimidasi di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 3 Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, menyisakan trauma mendalam bagi sang anak dan pertanyaan besar tentang batas antara disiplin dan perundungan di institusi pendidikan.
Peristiwa yang terjadi pada Sabtu, 24 Mei 2025, sekitar pukul 13.00 WIB di sekolah yang berlokasi di Desa Kota Negara, Kecamatan Madang Suku II itu, kini menggelinding bak bola salju.
Di satu sisi, pihak keluarga MPO, siswi kelas II tersebut, berteriak mencari keadilan, melaporkan dugaan penganiayaan oleh oknum guru berinisial Ms dan bahkan melibatkan siswa lain.
Di sisi lain, pihak sekolah bersikukuh bahwa yang terjadi adalah upaya pendisiplinan, sembari menjanjikan upaya damai dan introspeksi internal.
Kisah pilu ini bermula ketika seorang siswa menjatuhkan pena. MPO dan temannya, Wd, tertawa. Guru Ms, yang berada di kelas, menganggap tawa tersebut berlebihan dan mengejek.
Menurut Bernawi (54), ayah MPO, guru Ms kemudian meminta kedua siswi itu maju dan mempraktikkan ulang tawa mereka.
"Karena menolak, anak saya justru mendapat pukulan di bagian mulut oleh sang guru," tutur Bernawi, Jumat (30/05/2025), menceritakan kembali keterangan putrinya.
Namun, dugaan tindakan represif tak berhenti di situ. Bernawi melanjutkan, guru Ms kemudian diduga memerintahkan seluruh siswa lain di kelas untuk turut memukul MPO dan Wd.
"Jika tidak memukul, tidak boleh pulang," kata Bernawi, menirukan ancaman yang didengar anaknya.
Akibatnya, menurut pengakuan MPO kepada ayahnya, 11 siswa laki-laki terpaksa melakukan pemukulan, sementara para siswi perempuan menolak.
Dengan berurai air mata, MPO akhirnya diperbolehkan pulang. Ia tiba di rumah yang kosong, kedua orang tuanya, MN (40) dan Bernawi, masih berjibaku di sawah.
Tangis sang anak pecah saat mereka kembali, menceritakan pengalaman pahit yang baru saja dialaminya.
"Anak kami sampai trauma dan tidak ingin sekolah lagi. Kami sebagai orang tua tentu tidak bisa menerima tindakan kekerasan seperti ini, apalagi menyuruh siswa lain memukul. Kalau hanya guru memberi hukuman wajar, tapi ini sudah keterlaluan," ujar Bernawi dengan nada getir.
Tak terima, sang ibu, MN, melaporkan kejadian tersebut ke Polres OKU Timur. Laporan itu teregister dengan nomor LP/B/78/V/2025/SPKT Polres Ogan Komering Ulu Timur Polda Sumatera Selatan, menjadi bukti keseriusan keluarga mencari keadilan.
Di tengah upaya hukum yang ditempuh keluarga korban, pihak MTsN 3 OKU Timur mengambil langkah mediasi.
Kepala MTsN 3 OKU Timur Komarudin, SPdI, saat dikonfirmasi pada hari yang sama, memberikan pandangan berbeda atas insiden tersebut.
Ia menegaskan bahwa tidak ada pemukulan, dan tindakan guru yang bersangkutan adalah murni upaya mendisiplinkan siswa.
"Tidak mungkin ada guru yang dengan sengaja mencelakakan anak didiknya. Apa yang dilakukan ini agar siswa lebih disiplin dan patuh, sesuai nilai-nilai yang ditanamkan dalam pendidikan," ujar Komarudin.
Ia menjelaskan bahwa guru tersebut menanyakan siapa yang tertawa, dan dua siswa maju.
Satu siswa menurut saat diminta menirukan tawa dan diizinkan duduk, sementara MPO menolak dan diduga mendapat tekanan verbal bahwa ia tidak diizinkan pulang jika tak patuh.
Meski demikian, Komarudin mengakui perlunya refleksi mendalam atas peristiwa ini. Ia menekankan pentingnya profesionalisme pendidik dan kemampuan mengelola emosi, terutama saat menghadapi pelanggaran ringan siswa.
"Guru harus bisa menanamkan disiplin dengan etika dan moral, bukan dengan kekerasan. Hukuman yang mendidik bisa berupa tugas sosial seperti membersihkan ruang kelas atau halaman sekolah," tambahnya, seolah memberi sinyal kesiapan sekolah untuk berbenah.
Kasus ini tak luput dari perhatian wakil rakyat. Anggota Komisi IV DPRD OKU Timur, Adi Munadi, menyampaikan keprihatinan mendalam.
Ia menilai, jika benar terjadi, kekerasan oleh pendidik, apalagi dengan melibatkan siswa lain untuk melakukan intimidasi fisik, adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan.
"Kalau tindakan dilakukan dalam rangka mendidik, tentu bisa dimaklumi. Tapi jika sampai memerintahkan siswa memukul temannya, ini sudah di luar batas. Harus ada tindakan tegas terhadap guru bersangkutan," tegas politisi PAN dari Dapil II itu.
Adi Munadi juga menyoroti dampak psikologis pada korban dan menekankan bahwa tugas guru adalah membina, bukan menciptakan ketakutan.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa ini bukan kali pertama keluhan serupa muncul dari sekolah tersebut.
"Ini bukan pertama kali terjadi. Kami menerima banyak keluhan dari orang tua siswa yang resah dengan kejadian serupa di sekolah tersebut," pungkasnya, mengisyaratkan adanya masalah yang mungkin lebih sistemik.
Kini, bola panas ada di tangan Polres OKU Timur untuk mengusut tuntas laporan keluarga MPO. Sementara itu, upaya mediasi yang diinisiasi sekolah diharapkan tidak hanya menjadi formalitas, tetapi benar-benar menghasilkan solusi yang adil dan langkah konkret perbaikan.