Opini: Polemik Rokok Ilegal

Editor: adi kurniawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Penyebaran rokok ilegal akhir-akhir ini semakin marak terjadi. Banyak kerugian yang didapatkan atas dampak penjualan produk tembakau

Polemik Rokok Ilegal
Oleh:
Muhammad Syahri Ramadhan
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

SRIPOKU.COM -- Penyebaran rokok ilegal akhir-akhir ini semakin marak terjadi. Banyak kerugian yang didapatkan atas dampak penjualan produk tembakau tersebut.

Salah satu efek negatifnya ialah kerugian finansial. Negara harus rugi hingga triliunan rupiah atas permainan para oknum pengusaha rokok ilegal yang mengakali cukai.

Masifnya penjualan produk rokok ilegal, tidak terlepas dari tingginya tingkat konsumsi masyarakat terhadap produk tembakau tersebut.

Berdasarkan Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang diolah oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebutkan jumlah perokok aktif diperkirakan mencapai 70 juta orang, dengan 7,4 persen di antaranya perokok berusia 10-18 tahun.

Tingginya jumlah perokok aktif hingga menembus puluhan juta jiwa. Hal ini membuat bisnis rokok menjadi proyek pangsa pasar yang sangat menggiurkan.

Tidak mengherankan jika banyak oknum memanfaatkan kesempatan tersebut, dengan mencari jalur lain menjual rokok tanpa harus menaati regulasi yang dibuat oleh pemerintah.

Praktik Culas di Balik Digitalisasi

Mengutip data Ditjen Bea dan Cukai, tingkat peredaran rokok ilegal pada 2023 mengalami peningkatan menjadi 6,86 persen. Angka itu menunjukkan ada potensi penerimaan negara yang tidak terselamatkan senilai Rp15,01 triliun (www.Tribunnews.com / edisi Senin, 12 Agustus 2024).

Disinyalir perdagangan rokok ilegal di pasar gelap ini juga melibatkan sejumlah pabrik rokok berizin resmi.

Tingginya total kerugian atas rokok ilegal yang beredar, mau tidak mau harus direspons dengan serius oleh pemerintah.

Sindikat praktik jual beli rokok ilegal pasti dilakukan secara terstruktur, tersistematis, bahkan masif.

Banyak faktor yang membuat distribusi penyebaran rokok ilegal masih rentan terjadi. Faktor pertama ialah merokok sudah menjadi bagian kebutuhan utama atau primer di masyarakat. Selayaknya makanan dan minuman, merokok merupakan menu wajib dalam menemani kehidupan sehari – hari.

Faktor selanjutnya ialah ambiguitas antara produk rokok legal dan ilegal. Sebagaimana dilansir oleh bea cukai.

Setidaknya ada lima ciri yang menjadi tanda sebuah rokok dapat dikategorikan ilegal, yaitu rokok polos atau tanpa dilekati pita cukai, rokok dengan pita cukai palsu, rokok dengan pita cukai bekas pakai, rokok dengan pita cukai salah peruntukan, dan rokok dengan pita cukai salah personalisasi (www.beacukai.go.id).

Adanya perbedaan yang tidak “terlalu” mencolok antara kedua produk tersebut, membuat sebagian besar masyarakat yang tidak tahu bahkan mungkin “tidak mau tahu”.

Hal ini dapat dimaklumi karena sosialisasi terhadap produk tembakau di ruang publik, dibatasi dengan regulasi yang ketat.

Di sisi lain, Sikap apatis berpotensi timbul dikarenakan konsumen tergiur atas harga rokok ilegal yang lebih terjangkau dibandingkan rokok legal.

Sebagaimana diketahui, tingginya jumlah perokok tidak dapat dihubungkan dengan stratifikasi sosial masyarakat.

Entah berpenghasilan rendah, menengah maupun tinggi, semua elemen masyarakat masih tetap akan membeli dan menikmatinya.

Faktor lain yang tidak dikesampingkan ialah memasarkan produk rokok di dunia nyata maupun maya. Mengingat harganya yang murah, penjualan rokok ilegal akan semakin merambah khususnya di tingkat eceran.

Membeli eceran adalah solusi jitu bagi konsumen yang mempunyai kantong “pas – pasan”.

Selain merambah di dunia nyata, bisnis ini juga terjadi di dunia maya. Kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)  seakan-akan menjadi buah simalakama bagi semua pihak.

Di satu sisi, bangga melihat ketika masyarakat sudah banyak yang “melek” terhadap dunia digital. Hal ini dibuktikan semakin banyaknya pengguna platform media sosial maupun jual beli online (e-commerce) di Indonesia.

Namun, di sisi lainnya antusiasme terhadap digitalisasi diganggu dengan kesalahpahaman masyarakat mengenai hakikat platform online.

Memang benar masyarakat tidak perlu mengeluarkan biaya, waktu maupun tenaga dalam menjalin komunikasi antar kerabat maupun keluarga hingga membangun transaksi bisnis.  

Contohnya, masyarakat jika ingin membeli makanan dan minuman, tidak perlu langsung datang ke minimarket, mal atau pasar lainnya.

Cukup memanfaatkan aplikasi di perangkat gawai, barang yang diinginkan tersebut akan diantarkan di tempat kediaman konsumen.

Akan tetapi kemudahan melakukan aktivitas ini terdistorsi dengan pola pemahaman yang keliru. Contoh konkretnya ialah bisnis haram semakin merebak di dunia maya.

Adapun bisnis tersebut sepeti judi online (judol), pinjaman online (pinjol),  prostitusi online dan terakhir ialah penjualan rokok ilegal.

Masih ada beberapa situs internet maupun platform e-commerce yang secara terselubung menjual produk tembakau yang tidak diakui pemerintah tersebut.

Hal ini dikarenakan peminat dari produk tersebut tidak hanya dari kalangan bawah tetapi juga dari kalangan menengah.

Di tengah krisis ekonomi yang belum stabil akibat efek pandemi virus covid – 19 beberapa tahun lalu, ditambah perbedaan harga yang sangat signifikan antara rokok legal dan ilegal, adalah Suatu hal yang lazim jika rokok ilegal digandrungi oleh setiap lapisan masyarakat.

Berharap kepada Regulasi

Seyogianya pemerintah tidak tinggal diam terhadap fenomena penjualan rokok ilegal tersebut. Diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang - Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, merupakan upaya dalam memberantas  fenomena rokok ilegal saat ini.

Dalam pasal 434 PP Nomor 28 Tahun 2024, pada intinya sudah melarang penjualan rokok secara eceran dan melalui jasa situs web maupun media sosial. Pelarangan ini jelas memberikan kepastian hukum sekaligus memberikan perlindungan hukum bagi stakeholder (pihak terkait).

Fenomena merebaknya penjualan rokok ilegal di dunia maya, sebenarnya hampir sama dengan kasus pinjol maupun judol.

Dalam kasus pinjol, tingginya pengguna pinjaman dilandasi untuk memenuhi keinginan pragmatis. Contohnya, banyak yang meminjam hanya untuk memuaskan life style (gaya hidup) belaka dibandingkan untuk digunakan bisnis yang sustainability (berkelanjutan).

Jika dana pinjaman digunakan untuk usaha yang berkelanjutan maka selain dapat memberi keuntungan, peminjam tersebut tidak akan lupa atas kewajibannya untuk membayar utang.

Sama dengan judol, tingginya pemakai judol yang notabene hampir sama dengan jumlah perokok aktif di Indonesia. Alih-alih mendapatkan untung besar dari perjudian, justru masyarakat maupun negara banyak menerima kerugian atas bisnis haram tersebut.

Tidak mengherankan jika ada kasus anggota masyarakat yang depresi hingga bunuh diri diakibatkan pinjol dan judol. Triliunan rupiah raib diambil oleh para bandar judi yang notabene banyak tinggal di luar negara Indonesia. Fenomena ini secara tidak langsung juga memberikan efek kerugian bagi negara.

Hal ini pun juga berlaku sama dengan peredaran rokok ilegal melalui media daring. Potensi hilangnya pendapatan negara secara sia-sia, dapat terjadi jika tidak ditanggulangi secara komprehensif.

Sekalipun regulasi sudah melarang penjualannya, akan tetapi dunia maya adalah dunia yang tidak bertuan, artinya semua pihak yang ada dalam ruang virtual tersebut tidak diketahui secara pasti apakah memang asli atau palsu.

Oknum pelaku usaha dapat memanipulasi keberadaan dirinya di lokapasar maupun media sosial. Berbagai macam cara muslihat dilakukan dengan menggunakan akun palsu, nama domain palsu, dan sejenisnya. Hal ini tentu saja demi mengelabui aparat penegak hukum yang secara mencarinya.

Persoalan memecahkan solusi terkait peredaran rokok ilegal tidak hanya bergantung kepada aspek substansi (peraturan) hukum saja.

Struktur (aparat penegak) hukum dan budaya hukum di masyarakat juga harus dioptimalkan dalam menyelesaikan masalah patgulipat rokok ilegal di pasar gelap. Bukankah begitu?

Berita Terkini