SRIPOKU.COM, PALEMBANG - Menyikapi persoalan tapal batas Kabupaten Banyuasin dan Kota Palembang di Tegal Binangun yang masih berlarut-larut, Pakar Hukum Tata Negara, DR Febrian SH MS menyarankan agar pimpinan daerah harus mendinginkan suasana dan legowo.
Kalau ini ternyata masing-masing pihak tidak menemukan solusi damai, ini kan berlanjut ke solusi hukum
"Saya sampaikan solusinya jangan sampai ada kata-kata dari pimpinan daerah, kepala daerah khususnya yang tidak mendinginkan suasana.
Dia harusnya merangkul. Harusnya ada legowo entah dari Kota Palembang, entah dari Kabupaten Banyuasin," ungkap DR Febrian SH MS, Minggu (4/6/2023).
Sebaliknya, kalau mengedepankan ego kata Febrian, ia mengingatkan kalau masa jabatan hanya lima tahun.
Sementara masyarakat terus berkutat dengan persoalan Tapal Batas.
"Masyarakat juga yang rugi. Jadi kepala daerah harus berpikir itu. Jadi tidak ada unsur politiklah di situ. Ini persoalan umum yang bisa diselesaikan," katanya.
Baca juga: Warga Tegal Binangun Tolak Masuk Banyuasin, Ketua DPRD Palembang: Kami Akan Judicial Review ke MA
Febrian yang juga kerap tampil sebagai pengamat politik menyebut itu nanti pemerintah pusat turun menyesuaikan kehendak dari bawah.
Nanti turun Permendagri, itulah keputusan hukum. Dari awal kita harus menghormati keputusan hukum. Berharap ada kedewasaan dibuktikan dengan sikap kenegarawanan.
"Persoalan di situ bisa tidak masyarakat mengecap pembangunan secara baik. Itu yang terpenting poinnya.
Buka masalah mata pilih. Kalau Pemkab Banyuasin tidak bisa memberikan layanan terhadap masyarakat Tegal Binangun secara baik, itulah yang terjadi lebih baik mereka ikut ke Kota Palembang.
Setelah itu Tapal Batas disosialisasikan sehingga setelah ini tidak ada lagi persoalan Tapal Batas," kata Febrian yang juga menjabat Dekan Fakultas Hukum Unsri.
Baca juga: Warga Tegal Binangun Tolak Permendagri Masuk Kabupaten Banyuasin, Ancam Ngadu ke Presiden Jokowi
Persoalan tapal batas itu kata Febrian, sudah sering terjadi di seluruh Indonesia termasuk juga di Sumsel. Umumnya persoalannya terkait sumber daya alam di tambang.
Ada juga persoalannya yang sifatnya khas seperti kependudukan di Palembang dan Banyuasin.
Kenapa hal itu terjadi, sebenarnya adanya ketidaksadaran baik masyarakat maupun pemerintah terhadap konsistensi tapal batas yang telah diberlakukan sejak zaman dulu. Termasuk kemungkinan pelebaran atau pemekaran.
Sebenarnya hal itu
tidak akan terjadi masalah asalkan ada salah satu pihak yang mengalah.
Kalau tidak ada yang mengalah, biasanya akan terjadi saling tolak. Inilah yang terjadi di Banyuasin dan Palembang.
Persoalan Palembang ini sederhana dan diketahui umum. Salah satunya adalah luas wilayah yang mengecil karena bertambahnya penduduk dan macam-macam kegiatan.
"Ini juga seyogyanya dipikirkan oleh Pemerintah Pusat. Bukan pemerintah Daerah, walaupun ini dibina, diarahkan oleh Pemerintah Provinsi," katanya.
Kalau sampai kemudian tidak bisa diselesaikan, maka Pemerintah Pusat ikut turun tangan, turut campur tangan di mana batasan yang pasti diberikan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Batal tapal batas itu banyak penyebabnya, karena historis misalnya, Tanda-tanda tertentu atau memiliki legalitas atas.
Kalau kemudian sampai keluar Permen Tapal Batas, konsekuensi bahwasanya ada keputusan dari Pemerintah Pusat terhadap Tapal Batas itu. Seyogyanya kita hormati keputusan dari Pemerintah Pusat," ujarnya.
Lalu kemungkinan juga masyarakat menolak. Ini pertanyaan penting bagi pemerintah daerah, penolakan itu karena apa? Apa motifnya yang harus digali itu.
Misalnya motifnya masalah SDA tambang, ternyata di Palembang berkemungkinan bukan masalah tambang. Bisa saja masalah politik dalam distribusi penduduk. Apakah penduduknya memang mau pindah ke Palembang atau sebaliknya.
"Kalau ini ternyata masing-masing pihak tidak menemukan solusi damai, ini kan berlanjut ke solusi hukum. Demo itu kan ada ketidakpuasan terhadap suatu hal," kata Febrian
Kalau kita berkiblat pada Permendagri yang disampaikan tadi, sudah ada keputusan dalam kaitannya dengan Tapal Batas, pertama hormati. Yang kedua lanjutkan uji Judicial Review ke Mahkamah Agung bisa saja.
Tapi itu Permendagri lho. Kalau kita tarik garis linier ke vertikal, Permendagri itu dikeluarkan Mendagri selalu atasannya gubernur, walikota dan bupati. Silakan diuji ke MA. Bisa saja terjadi persoalannya kenapa. Itu kan digali.
Di awal harusnya sudah selesai karena memang Tegal Binangun ini mau ke pusat pemerintahan Banyuasin ini memutar lewat Kota Palembang.
Sehingga akses-akses tertentu jauh, dan lebih dekat ke Kota Palembang. Umumnya itu persoalan pemekaran.
Sepet diketahui, warga Tegal Binangun kembali menggelar aksi demo menolak masuk wilayah Kabupaten Banyuasin, Minggu (4/6/2023).
Ketua DPRD Kota Pelambang Zainal Abidin SH mengatakan bahwa ada wilayah Palembang yang berkurang. Ada pengurangan sekitar 48,30-an KM persegi setelah ada keputusan dari pusat.
"Kota Palembang batasan wilayahnya berkurang dari 400,.061 km persegi menjadi 352,060. Berkurang 48,30-an sekian km persegi," ungkap Zainal Abidin SH.
Sedangkan, luasan Kabupaten Banyuasin bertambah. Saat sosialisasi Permendagri Nomor 134 tahun 2023, Zainal Abidin mengaku sudah dijelaskan secara detail.
Namun DPRD dan Pemkot Palembang masih belum sepakat soal tapal batas tiga daerah tersebut.
"Masih belum sepakat. Ini yang masih kami pertanyakan. Dan langkah terakhir kami judicial review ke MA," kata Zainal Abidin SH yang juga Sekretaris DPC Partai Demokrat Kota Palembang.
Beberapa pertanyaan dilontarkan DPRD Kota Palembang maupun Pemkot Palembang pada sosialisasi Tapal Batas wilayah antara Banyuasin dan Kota Palembang dalam Tahun 2022 di Gedung Bina Praja Pemprov Sumsel.
Palembang menolak aturan tersebut karena luas wilayah Kota Palembang jauh berkurang dan wilayah Kabupaten Banyuasin justru bertambah.
"Kami Ketua DPRD bersama Walikota Palembang menolak aturan Permendagri Nomor 134 tahun 2023. Jika mengacu PP 23 tahun 1988 luas wilayah Kota Palembang 400, 61 km persegi dan akan dipertahankan," tegasnya.