Selain itu juga menjelang Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober.
Penulis Arswendo Atmowiloto di Harian Kompas, Rabu (2/10/1985) menyebutkan, film yang diputar di TVRI itu menggambarkan rencana busuk PKI sejak 13 Januari 1965 di Desa Kanigoro, kabupaten Kediri sampai puncaknya menjelang tanggal 1 Oktober 1965.
Setelah itu juga menceritakan operasi penumpasan di bawah pimpinan Jenderal Soeharto sampai dengan operasi pemulihan keamanan dan ketertiban.
Film itu banyak dibicarakan sebagai film terlaris, terpanjang, dan isi ceritanya yang bersifat dokumenter.
Arswendo menyebutkan, TVRI sebagai pengelola tidak bisa menolak untuk memutarnya.
Disebutkan juga perbendaharaan film sejarah masih langka saat itu dan pemerintah melalui departemen yang ada bisa memproduksi.
Selain itu juga bisa menyiarkan lewat jaringan televisi.
"Barangkali juga kalau bukan Arifin C. Noer sutradaranya, akan lain bentuknya. Barangkali kalau bukan PPFN, kecil kemungkinannya bisa diproduksi seperti yang kita lihat sekarang ini," tulis Arswendo.
Film berdurasi 271 menit itu kemudian diputar setiap tahunnya di TVRI hingga 1998.
Berhenti tayang di TV
Dikutip Harian Kompas, 24 September 1998, Menteri Penerangan (Menpen) saat itu Muhammad Yunus mengritik film yang disebut-sebut menghabiskan dana Rp 800 juta dalam pembuatannya itu.
Saat itu dia menyampaikannya dalam Rapat Kerja antara Menpen dengan Komisi I DPR di Jakarta, Rabu (23/9/1998).
Muhammad Yunus juga menegaskan, pemutaran film yang bernuansa pengkultusan tokoh, seperti film Pengkhianatan G30S/PKI, Janur Kuning, Serangan Fajar menurutnya tidak sesuai lagi dengan dinamika reformasi.
"Karena itu, tanggal 30 September mendatang TVRI dan TV swasta tidak akan menayangkan lagi film Pengkhianatan G30S/PKI," ujarnya.
Sebagai gantinya, Deppen bekerja sama dengan Depdikbud untuk mempersiapkan sebuah film yang terdiri dari tiga episode.