Dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III, Rabu (27/11), pimpinan KPK periode 2015-2019 membenarkan ada pegawai yang telah mengundurkan diri karena tak setuju dengan status ASN. Selain tiga pegawai KPK, Penasihat KPK, Mohammad Tsani Annafani juga mundur dari posisinya. Pengunduran diri Tsani mulai berlaku 1 Desember 2019. Namun Tsani mundur bukan karena status ASN, melainkan karena Ia menilai kewenangan KPK telah dilemahkan. Jauh hari sebelumnya, ia juga telah memutuskan mundur karena merasa ada pimpinan KPK terpilih yang punya rekam jejak bermasalah.
”Kalau tidak dilakukan, saya khawatir ada masalah, dan kalau saya menunggu masalah itu terjadi, itu terlambat. Sehingga saya mencoba melakukan ini (mundur sebagai penasihat KPK) sebagai katakanlah upaya mengingatkan," katanya saat berbincang dengan Tribunnews di sebuah hotel di Jakarta Selatan, Jumat (29/11)
Jumat (29/11) kemarin menjadi hari terakhir Tsani berkantor di KPK. Sebelum Tsani meninggalkan KPK dan kembali ke institusi asal, yakni Kementerian Keuangan RI, wartawan Tribun Network, Reza Deni sempat melakukan wawancara eksklusif dengan Tsani. Berikut petikan wawancaranya:
Apa alasan Anda mundur sebagai penasihat KPK?
Ini sebenarnya mengungkap cerita lama. Saya mengajukan pengunduran diri sejak 13 September 2019 dan direspons pimpinan dalam bentuk SK pemberhentian dengan hormat. Kalau kenapa waktu itu saya mengajukan pengunduran diri, saya rasa mereka bicara panjang lebar, tapi saya sebenarnya orang yang ingin bekerja dengan baik saja. Bekerja dengan baik itu tidak bisa datang dari kita sendiri, tapi juga tergantung apa yang ada di perasaan bekerja itu sendiri.
Kalau bekerja dengan orang lain, kita perlu mitra yang mendukung pekerjaan kita. Sehingga waktu mengajukan pengunduran diri, saya sudah memperhitungkan bahwa ada hal-hal yang mungkin tidak bisa saya kompromikan.
Saat mengajukan pengunduran diri Anda sempat berdiskusi dengan dua penasihat lainnya, Budi Santoso dan Sarwono Sutikno?
Tidak, karena memang itu spontan. Beberapa hal juga mungkin saya rasa karena kondisi kita berbeda. Saya juga tidak mau memberikan beban kepada mereka. Ini lebih bersifat pertimbangan personal karena saya kan ASN, sementara Pak Budi bukan ASN. Kalau kami diskusikan juga akan sulit. Tapi secara pribadi saya beberapa kali berdiskusi dengan mereka. Sepertinya ini memang pilihan yang saya rasa layak dilakukan. Pak Budi pada akhirnya juga mendukung. Beliau mengapresiasi bahwa ini keputusan di saat yang tepat. Singkatnya ada diskusi, tapi keputusan tetap di tangan saya.
Kalau ke Pimpinan KPK?
Saya menyampaikan sebelum surat saya ajukan. Saya sampaikan bahwa ini ada kondisi yang dinamikanya seperti ini. Kalau lebih lanjut konsekuensinya seperti ini, saya sampaikan ke pimpinan, ke pansel yang memilih saya, ke rekan-rekan penasihat.
Ke Wadah Pegawai (WP) KPK Anda sampaikan juga?
WP tidak saya kasih tahu. Sama sekali WP tidak tahu. Ini tidak ada urusannya dengan WP. Ini murni saya sebagai penasihat KPK dalam rangka peran strategis di KPK.
Momen Anda mundur ini bertepatan dengan disahkannya revisi UU KPK dan juga daftar Capim KPK yang diduga bermasalah. Apakah semuanya berhubungan?
Jadi begini. Di awal saya menyampaikan kondisi-kondisi ini akan berpengaruh ke KPK internal. Ini tentu saya tidak hanya berbicara soal saya sendiri, tetapi juga pegawai yang lain. Saya memosisikan lainlah sebagai proxy orang internal. Karena kalau internal staf biasa kemudian bicara mungkin orang melihat ‘ah siapa sih’. Sementara kalau penasihat kan strategis, dipertimbangkan oleh Presiden, DPR, dan pemangku kebijakan lainnya.
Ada konsekuensi kalau ini diteruskan. Nah itu tentu juga sifatnya subjektif, tidak ada perintah lembaga dan seterusnya. Tapi saya punya kewajiban moral sebagai insan di KPK untuk melakukan sesuatu. Apalagi aspirasi itu saya baca karena saya ada di dalam.
Maksud saya adalah yang di dalam ini harus terdengar dong di luar, harus bisa dipahami, sehingga nanti kebijakan yang di luar itu bisa harmonis dengan yang di dalam. Tapi kalau tidak dilakukan, saya khawatir ada masalah dan kalau saya menunggu masalah itu terjadi, itu terlambat. Sehingga saya mencoba melakukan ini sebagai upaya untuk mengingatkan.
Kepada siapa mengingatkannya?
Kepada para pemangku kepentingan, Presiden, DPR dan semua pihak yang terkait dengan posisi itu. Dalam bahasa lain, pengunduran diri saya ini adalah bentuk nasihat. Ini loh kalau Anda lakukan ada konsekuensi. Itu nasihat juga, dan itu kan memang tugas saya.
Apa bukan karena pasal di UU KPK (Pasal 21 Ayat 1 UU KPK) yang baru posisi penasihat KPK sudah tidak ada lagi?
Kalau anda ingat, waktu saya ajukan surat pengunduran diri tanggal 13 September, sebelum UU KPK yang baru itu direvisi. Saya tidak tahu bahwa kemudian di UU itu (penasihat) dihapus, atau bahkan saya tidak tahu apakah saya mengundurkan diri dan itu menginsipirasi mereka menghapus jabatan penasihat misalnya, saya tidak tahu. Tapi intinya itu tidak berhubungan langsung.
Bahwa kemudian muncul implikasi lebih lanjut, karena ketika saya mengajukan pengunduran diri lalu UU KPK yang direvisi sudah resmi dan menghapus peran penasihat, maka itu implikasi baru. Karena saya sebenarnya waktu itu berharap ada pengabulan seketika. Tetapi ketika kita jalani, ada dinamika, mulai dari pimpinan dan lain-lain bahwa ada hal-hal di internal KPK, kemudian yang jadi masalah pemberhentian itu menimbulkan kegamangan, karena UU bicara harus diberhentikan, tetapi orangnya masih dibutuhkan dan tidak diatur bagaimana mekanisme transisinya. Saya menduga pembuat UU ini salah perhitungan, karena mereka hanya mengatur masa transisi untuk pegawai, padahal penasihat itu bukan pegawai, dan kami masih harus melaksanakan tugas sampai 2021, karena di surat tugas kami itu 4 tahun masa jabatannya.
Jadi Anda dan dua penasihat KPK lainnya sampai 2021 masa kerjanya?
Seharusnya. Tetapi kan implikasi UU KPK yang baru menghapus peran penasihat. Dan jangan lupa, dasar pengangkatan kami adalah UU 30 2002 yang sudah direvisi. Dengan kemudian dasar itu sudah dinyatakan tidak berlaku, maka SK itu dengan sendirinya batal demi hukum. Ini yang kemudian menjadi implikasinya.
Seberapa buruk implikasi ini menurut Anda?
Saya pribadi merasa ini bentuk kezaliman. Ini saya terbuka saja ya. Ketika 17 Oktober itu disahkan UU KPK yang baru, ada kegamangan, apakah kita harus diberhentikan saat itu juga atau berlanjut?
Itu untuk ketiga penasihat?
Iya, tidak hanya bicara saya. Kalau saya sebenarnya lebih aman karena saya sudah mengundurkan diri. Tapi kemudian ada kebutuhan misalnya di 2 bulan itu kan proses proses etik yang berjalan, apakah kemudian ini harus dihentikan dan menunggu dewan pengawasnya terbentuk, karena bisa kedaluwarsa kalau aturan kita tetap berjalan. Nah inilah akhirnya muncul implikasi.
Okelah penasihat biarlah ada karena memang tugasnya seperti itu, akhirnya kita berjalan dengan konsekuensi kalau ini jadi temuan BPK misalnya, maka kita harus kembalikan gaji kita sejak tanggal 17 Oktober sampai sekarang. Tapi ini seandainya ya, jika BPK berargumen bahwa penasihat harus diberhentikan, maka ketika kami kemarin bekerja kan masih digaji, kami harus mengembalikan uang itu, selama tiga bulan ya kalau selesainya Desember.
Itu kan suatu proses kerja yang membuat tidak nyaman: Anda dikontrak 4 tahun, diberhentikan dipercepat, enggak boleh berhenti dan disuruh menunggu karena ada kebutuhan, dan di saat yang sama harus bayar kalau nanti muncul risiko seperti itu. ini kan pelanggaran hak konstitusi. Kita kan harusnya diberlakukan secara layak.
Kondisi internal KPK selama mas di sana bagaimana, isu Taliban dan India itu benar adanya tidak?
Kita lihatlah siapa sih yang bilang, kan orang luar, orang yang mungkin masuk KPK saja belum pernah. Cobalah tanya orang yang blusukan ke KPK. Kalau kita mau jujur, itu hanya buang-buang energi, upaya koreksi dan seterusnya. Kita tuh hanya heran mengapa sih ada orang-orang yang melakukan hal-hal seperti itu.
Coba bayangkan ada orang yang bekerja keras seperti Novel Baswedan untuk kepentingan orang banyak, matanya rela disiram air keras untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi, bukannya kita dibantu, didorong, malah dikondisikan sedemikian rupa dengan hal-hal yang tidak produktif.
Saya mempertanyakan orang ini maunya apa. Kalau saya pribadi, mungkin ada hal-hal yang bisa dikonotasikan seperti itu, tapi bukan itu sebenarnya. Kalau kita lihat ada pegawai KPK pakai peci, jenggotnya panjang, terus kemudian apakah itu bisa disimpulkan (radikal)?
Termasuk soal Dewi Tanjung?
Saya enggak mau komentar, tetapi hati nurani anda bisa enggak sih menerima hal seperti itu. Cobalah kalau misalnya Novel itu suaminya, atau anaknya, bayangkan perasaannya kayak apa.
Kami di KPK ikut terluka, karena kita tahu betul bahwa Novel itu setiap hari menggendong risiko. Kami ini pulang menggendong risiko. Jadi tolonglah sudah beban yang seperti itu jangan ditambahi beban lain yang enggak perlu, hanya demi hal-hal yang saya juga enggak tahu apa tujuannya
Soal Ketua Badan Amal Islam KPK (BAIK) yang mengundang Ustaz Abdul Somad tanpa seizin pimpinan KPK, apa berarti ada pegawai yang berani melawan pimpinan yang sebentar lagi bakal purna tugas?
Saya rasa penjelasan saya sudah cukup soal itu, tidak usah diperlebar lagilah.
Ketika voting di DPR menentukan Pak Firli menjadi Ketua, Anda sudah memprediksi bahwa beliau yang bakal terpilih?
Saya kan daftar Capim KPK juga, dan ketika saya tidak lolos saya juga tidak ribut. Jangan lupa saya daftar capim bukan aspirasi personal. Tolol kalau saya mikirin saya sendiri, tapi itu banyak orang yang kemudian melihat ada peran yang saya harus lakukan. Dengan segala risikonya saya lakukan. Apakah saya ribut ketika di proses seleksi saya kemudian tidak lolos administrasi? Saya tidak ribut atau menunjukkan interest pribadi. Sampai hari ini pun saya tidak tahu saya lolos seleksi.
Bahkan, Pak Laode pun datang ke ruangan saya dan bertanya "Kita sungguh-sungguh daftar enggak sih?" Saya bilang saya sungguh-sungguh, Pak. Bukti kesungguhan saya apa, saya datang ke istana, saya antar sendiri, saya ambil cuti. Beliau bertanya dan saya tunjukkan bukti dan saya serahkan itu.
Pak Laode bahkan heran Anda tidak lolos?
Bukan hanya Pak Laode. Banyak orang. Saya punya bukti-buktinya dan mereka mempertanyakan itu. Tapi sudahlah, itu hal yang tidak penting, karena saya tidak meletakkan diri saya pada masalah yang seremeh itu.
Bahwa ada prediksi soal itu, kita bekerja bukan sendiri-sendiri, tapi ada sistem, jadi ada peran yang kita mau, itulah yang kita lakukan.
Selama bekerja di KPK pernah mendapatkan teror dialami seperti Novel atau Laode yang rumahnya dimolotov?
Alhamdulillah, bukannya saya menyombongkan diri atau mau mencari masalah. Tapi sampai hari ini pun saya belum pernah diteror, dan semoga jangan sampai terjadi. Alhamdulillah tidak ada teror kepada saya, bahkan ke keluarga tidak sedikit pun.
Ada pengalaman berkesan selama bekerja di KPK sebagai penasihat?
Saya kan dari Direktorat Bea Cukai Kemenkeu, dan pada suatu hari saya harus memimpin rapat yang pesertanya Dirjen Bea Cukai, Heru Pambudi. Rapatnya di KPK. Itu dalam rangka fondasi supervisi pertambangan soal ekspor-impor.
Bagi saya itu menarik, karena tentu kita harus menempatkan diri secara profesional, tidak peduli keadaannya seperti apa. Dan itu juga tantangan, saya harus benar-benar bisa melepas atribusi saya sebelumnya. Saya bisa bersikap independen, tidak berpihak walaupun itu tidak mudah. Bisa kita anggap bahwa saya Independen, tetapi orang mungkin perlu diyakinkan bahwa kita betul-betul independen.
Tahun berapa itu Anda rapat dengan atasan Anda?
Tahun 2018 kalau enggak salah, dan itu tidak cuma sekali dua kali saya rapat dengan beliau. Saya memanggilnya tetap Pak Dirjen. Yang lain juga kebetulan ada perwakilan dari Kajari dan lain-lain, termasuk juga di beberapa kesempatan di Menko Perekonomian ketika kita satu meja, tetap kita harus bisa memposisikan diri sebagai orang KPK yang independen. Karena itulah mungkin ada beberapa konsiderasi misalnya saya menghindarkan diri dari penugasan kembali di Bea Cukai ketika selesai, setidaknya dalam periode singkat sehingga tidak menimbulkan komplikasi, kan ada terkait bea cukai yang harus kita urusi.
Jadi apa aktivitas Anda ke depan, karena tadi sempat disinggung dalam waktu singkat tidak di bea cukai dulu?
Itu permohonan saya sebenarnya, tapi kan saya tidak tahu karena bisa jadi pimpinan, bu menteri (Sri Mulyani) punya pertimbangan lain. Saya hanya prajurit yang siap melaksanakan tugas.
Bagaimana dengan keluarga soal keputusan ini?
Pada dasarnya istri menghargai apa yang saya lakukan dan mereka mendukung. Tidak pernah saya membicarakan pekerjaan di rumah karena di rumah saya menjadi bapak. Itu yang saya lakukan
Harapan Anda untuk KPK ke depannya?
Saya normatif saja, aspirasi saya sudah sampaikan ke pimpinan, saya sudah kerjakan, termasuk langkah pimpinan secara individu, mewakili insan KPK mengajukan gugatan ke MK, itu sikap juga.
Kiat lihat saja. Intinya kita menghormati hak-hak lembaga negara dalam melaksanakan tugasnya. Demikian juga hak kita sebagai warga negara. Itu mungkin yang kita tungguin. Kalau anda menuntut pihak lain beretika, maka anda juga harus melihat yang dilakukan sudah beretika kan, jadi kita saling menghargai. Dalam proses kehidupan itu, ada hal-hal yang tidak sopan harus dilawan dengan ketidaksopanan, bahkan kita memberantas korupsi itu melanggar HAM loh, memenjarakan orang. Tapi yang terpenting adalah semangatnya, dasar yang menjadikan hal itu dilakukan, itu kebaikan mulia tulus dan tidak ditumpangi oleh agenda-agenda yang sifatnya tidak personal.
Dengan UU KPK yang baru ini KPK bakal bagaimana ke depannya?
Saya bilang itu pertimbangan taktis, saya juga enggak mau memperpanjang, kita lihat saja. Bagi saya UU itu seharusnya tidak melumpuhkan satu lembaga, tapi kalau memang nyatanya nanti terwujud, itulah jawabannya. (*)