Laporan wartawan Sripoku.com Jati Purwanti
SRIPOKU.COM, PALEMBANG -- Belajar membaca kerap kali menjadi momok yang menakutkan bagi anak. Tidak hanya disebabkan oleh pengajar namun juga dikarenakan terjadi beberapa kekeliruan saat mengajarkan membaca.
Penemu Metode Satu Bulan Bisa Baca (SB3), Muhammad Toha mengatakan setidaknya ada sembilan kekeliruan yang acap ditemui saat proses belajar membaca dari anak.
"Orang tua juga pendidik sering kali mengeluh saat mengajari anak membaca. Hal ini pun saya rasakan," ujarnya pada Seminar Satu Bulan Bisa Baca (SB3) yang diselenggarakan salah satu sekolah swasta di Palembang, Sabtu (30/03/2019).
• Akbarindo Jalin Kerja Sama dengan LSP dan BNSP, Terbitkan Sertifikat Badan Usaha para Anggotanya
• Kumpulan Lagu Nasyid Gus Azmi, Rabbani, Edcoustic, Raihan, Brother & Hijjaz Lengkap Video Klip
• 17 Tahun Berlalu tak Disangka Begini Kabar dan Penampilan Bintang Utama Spiderman, Termakan Usia!
Adapun kesembilan kekeliruan yang mengakibatkan anak tidak bisa baca yaitu pertama, mengeja terlalu banyak.
Dalam pembelajaran tidak jarang pendidik harus melakukan banyak pengulangan. Contohnya saja, untuk satu kata seperti Jakarta, hampir ada 14 kali pengulangan.
"Bisa dibayangkan kalau satu paragraf atau halaman akan ada banyak sekali pengulangan. Anak pun merasa bosan dan terengah-engah," jelasnya.
Lalu yang kedua, anak dipaksa menghafalkan huruf pada bagian yang sulit, karena sulit mengingat anak pun akan sulit memahami proses belajar membaca.
Ketiga, sistem melompat. Padahal, menurut pria yang pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Ogan Ilir ini, anak akan sering kali kesulitan memahami kata-kata yang belum familiar.
"Bagi anak-anak akan menyulitkan karena harus melompati langkah. Misal dari belajar kata bata, kemudian harus mengerti kata bintang, bulan, bola dan lainnya," tambahnya.
Dia menjabarkan, untuk keempat yakni saling lepas. Kesalahan ini menjadikan anak harus mencerna kata-kata yang tidak ada hubungan pada kalimat yang dipelajari.
Mulanya anak belajar kata ibu lalu diwajibkan pula membaca kata adik , kakak hingga kata-kata yang menunjukkan hubungan persaudaraan.
"Sebenarnya, kan, belajar baca bukan belajar keluarga dan terkesan seperti menyebutkan ahli waris," ujarnya lagi.
Selain itu, dilanjutkan Toha, kekeliruan lainnya yakni kelima, tidak ada kolom penilaian dari pengajar. Anak hanya diajari tanpa dinilai pada setiap langkah
Keenam, tidak ada petunjuk cara pengajaran. Pengajar hanya fokus menggunakan metode yang dipahami padahal sebenarnya anak tidak membutuhkan itu.
Ketujuh, tidak ada target. Kegiatan membaca hanya menjadi beban anak karena hanya terus-menerus diminta membaca tanpa ada batasan waktu kapan proses belajar membaca harus berakhir.
Ke delapan, memberikan ikan bukan berikan umpan. Dalam hal ini, Toha mengibaratkan anak hanya diberi bacaan tanpa dirangsang untuk memahami isi bacaan.
"Terakhir, banyak menulis. Padahal seharusnya anak belajar membaca bukan menulis. Di lapangan anak diminta menulis kalimat yang akan dibaca dalam waktu yang cukup lama baru kemudian baca," paparnya.
Selain beberapa kekeliruan tersebut, pengajar juga kerap menggunakan gambar sebagai alat bantu membaca meski sebenarnya adanya gambar malah membuat tidak fokus.
Tak hanya itu, anak juga malah akan susah membaca ketika gambar tidak diperlihatkan karena akan membawa bahasa daerah saat membaca.
"Ada gambar mobil namun saat anak dari Sumatera Barat, Padang, akan membacanya dengan oto," katanya mencontohkan.
Dia menambahkan, mengajar membaca juga tidak boleh disertai denagan marah agar ilmu yang disampaikan pada anak cepat sampai.
"Telaten dan sabar adalahnya kuncinya. Selain juga rutin memberikan waktu khusus 10 menit per hari untuk mengajar membaca selama satu bulan penuh." katanya.
• Kolaborasi Nanyi Bareng Rara LIDA, Putri DA dan Aulia DA di Debat Capres 2019, Rossa Gugup
• 3 Waktu Tidur Ini Dilarang dalam Islam, Hati-hati Salah Satunya Dapat Sebabkan Gangguan Kejiwaan!