SRIPOKU.COM - Rabi’ah al-Adawiyah memiliki nama lengkap Ummu al-Khair bin Ismail al-Adawiyah al-Qisysyiyah.
Lahir di Basrah pada tahun 95 H (717 M) menurut Ibn Khalikan, keluarga Rabi.ah dari suku Atiq, dan ayahnya bernama Ismail.
Rabi’ah al-Adawiyah adalah salah satu dari ulama sufi perempuan yang sangat disegani dalam sejarah peradaban Islam.
Pemikiran serta laku spiritualnya terus dikaji sampai sekarang, berbagai macam kisah hidupnya pun sudah banyak dikupas serta ditulis dalam banyak buku.
Termasuk soal ajaran cinta (mahabbah), selain Jalaluddin Rumi, Rabi’ah al-Adawiyah adalah seorang sufi yang mengusung mazhab cinta.
Cintanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala begitu dalam dan kuat, sehingga Ia tidak mampu mencintai yang lainnya karena cintanya hanya untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Rabi’ah menyembah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan dasar cinta (hubb), bukan karena takut atau harap (roja’ dan khauf) sebagaimana kebanyakan orang.
Karena saking cintanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Rabi’ah pernah berujar bahwa ia tidak mendambakan surga serta tidak takut kalau dimasukkan neraka.
Rabi’ah dikenal sebagai hamba yang sangat patuh serta taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, bahkan setiap hembusan nafasnya selalu diiringi dengan dzikir kepada Allah Subhanahu Wa Taa’ala.
Dalam urusan beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, ia adalah orang yang sangat istiqomah, ketaatan yang begitu tinggi kepada Allah membuatnya dikenal sebagai waliyullah atau wali Allah.
• Innalillahi Wainna Ilaihi Rojiun Kabar Duka Datang dari Putri DAcademy 4 Indosiar
• Video Tangis Dul Jaelani saat Konser Viral, Begini Respon Mulan Jameela Saat Melihat Dul Menangis
Wanita suci ini sama sekali tidak memikirkan dirinya untuk menikah.
Sebab, menurut Rabi’ah, jalan tidak menikah merupakan tindakan yang tepat untuk melakukan pencarian Tuhan tanpa harus dibebani oleh urusan-urusan keduniawian.
Menurut Abdul Mun’in Qandil, Rabi’ah termasuk dalam kelompok manusia yang mempunyai naluri yang tinggi, melebihi manusia biasa.
Keinginannya yang bersifat manusiawi telah tunduk dan menyerah di bawah keinginan yang suci karena kebutuhan hidupnya yang sangat mendasar sudah tidak sama dengan manusia-manusia lainnya.
Dorongan sexsual tidak lagi sebagai gangguan dalam dirinya, sekalipun tidak terpenuhi dengan perkawinan. Kondisi demikian dalam psikologi dapat disebut dengan substitusi yaitu suatu cara untuk menghilangkan sebab-sebabnya.