Haprayo mulai terjebak dalam minuman keras dan kehidupan malam di bar-bar.
Berangkat menjelang sore, menjelang pagi baru tiba di rumah.
Sepanjang siang bila tak diajak keluar teman, dihabiskan waktu untuk tidur.
Shalat? Haprayo tak sempat lagi memikirkannya.
Di otaknya yang ada hanya kenikmatan-kenikmatan dunia.
Tak sedikitpun Haprayo berpikir tentang mati atau masa depan.
Jadilah Haprayo manusia yang hidup tanpa tujuan sama sekali.
Hingga suatu hari, di rumah Haprayo kedatangan saudara sepupu.
Yang terdengar saudara sepupu itu akan tinggal bersama Haprayo dalam waktu yang cukup lama untuk sekolah.
Ia seorang tuna netra sejak usia menjelang tujuh tahun.
Berawal dari sakit panas yang membawanya dalam kebutaan permanen.
Semula Haprayo tak peduli padanya.
Bahkan Haprayo sempat berpikir kehadirannya akan membuat repot seisi rumah, termasuk
Haprayo sendiri.
Apa-apa harus dibantu, jalan mesti dituntun.
Pendeknya dalam otak Haprayo yang ada adalah prasangka buruk tentangnya dan segudang kerepotan yang akan muncul dengan kedatangannya di rumah.