Yohannes mengatakan, selama ini, banyak siswa mempelajari fisika menggunakan rumus. Cara ini, meski jadi anjuran, tak mudah bagi siswa mempelajarinya, lebih-lebih bagi anak yang masih tertinggal. Besar kemungkinan, mereka merasa bosan, lantas meninggalkan pelajaran yang terkenal sulit itu.
Mengantisipasi hal tersebut, cara demikian lalu diubah oleh Yohannes. Dia meyakinkan, tanpa rumus pun anak didiknya mampu mengerjakan soal fisika serumit apa pun. Dia mencontohkan ihwal mudahnya menjawab soal fisika tanpa rumus.
Misalnya, ada sebuah benda dilempar ke atas dengan kecepatan 70 meter per detik. Berapa lama waktu yang dibutuhkan benda tersebut untuk bisa sampai ke titik tertinggi?
“Benda yang dilempar dengan kecepatan 70 meter per detik itu, ketika bergerak semakin ke atas, kecepatannya akan semakin mengecil. Hingga titik teratas, benda itu berhenti dan balik arah turun ke bawah,” kata Yohannes.
“Itu terjadi karena ada gaya tarik bumi atau gravitasi yang menarik keceptan benda. Karena gravitasi bumi adalah 10 meter per detik kuadrat, maka ketika benda bergerak ke atas, kecepatannya akan berkurang 10 meter per detik. Jadi, tiap melaju satu detik tinggal dikurangi 10 saja. Kalau kecepatannya 70 meter per detik, maka untuk sampai ke titik tertinggi butuh waktu 7 detik.”
Contoh soal di atas merupakan satu dari sekian banyak soal fisika yang bisa dijawab tanpa rumus. Tentu, Yohannes punya beragam metode dalam mengajarkan anak didiknya untuk menjawab soal-soal fisika lainnya. Mengubah metode pengajaran ini menurutnya penting agar anak mudah memahami dan bisa menjawab pertanyaan yang diberikan.
“Kalau gampang, anak merasa tidak ada beban. Maka belajar itu menjadi sesuatu yang menyenangkan. Jadi, dia menikmati belajarnya. Mau mengerjakan ribuan soal pun juga tidak ada masalah,” ujarnya.
Pencapaian sejauh ini
Sejak kali pertama mengikuti Olimpiade Fisika Internasional pada 1993, Indonesia lantas tak pernah absen dalam ajang bergengsi itu. Setiap tahunnya, Indonesia kerap langganan meraih medali. Meski belum bisa meraih medali emas, setidaknya ada peningkatan dengan raihan tambahan medali perak.
Setelah mondar-mandir hanya meraih perak dan perunggu selama tujuh tahun sejak keikutsertaannya, pada tahun 1999, akhirnya Indonesia mampu mendulang medali emas. Medali emas untuk kali pertama ini disumbangkan oleh anak didik Yohannes asal Bali, yakni Made Agus Wirawan.
Sejak meraih emas pertama itu, Yohannes semakin yakin akan kemampuan anak-anak Indonesia. Maka dari itu, tujuh tahun berikutnya, dia menargetkan pencapaian lebih tinggi lagi. Tak tanggung-tanggung, kali ini ia menginginkan prestasi juara dunia.
Karena target ambisiusnya inilah, Yohannes bergerilya menyambangi 250 kabupaten di Indonesia, dari Papua, Ambon, Kupang, Flores, Belitung Timur, Palembang, Kalimantan, hingga Sulawesi. Dia mencari anak-anak Indonesia berbakat yang akan dia latih untuk meraih target impiannya itu.
Namun, upaya mencari siswa berbakat ini tak melulu berjalan mulus. Dari kunjungannya ke berbagai daerah, tak jarang dia temui sikap pesimistis anak-anak, guru-guru, dan pemerintah daerah setempat. Namun, itu tak lantas membuatnya patah semangat. Dia menepis anggapan miring itu. Alhasil, pada 2006, sesuai target, Indonesia berhasil menjuarai Olimpiade Fisika dengan gelar Absolute Winner.
“Memang saya nekat. Orang pikir, berani amat. Banyak yang pesimistis juga. Namun, dengan kerja keras dan persiapan matang, saya bilang kita bisa jadi juara dunia,” kata pria kelahiran Jakarta, 6 November 1963, itu. “Namun, ini semua juga tidak lepas berkat Tuhan yang Maha Esa untuk masyarakat Indonesia, hingga akhirnya kita bisa jadi juara dunia.”
Sudah lebih dari 20 tahun Yohannes berkiprah melatih anak-anak Indonesia dalam pelajaran fisika. Jika ditotal, kini lebih dari 100 medali telah sukses diraih anak didiknya dari setiap ajang perlombaan fisika internasional.
Yohannes melatih anak-anak dari berbagai wilayah. Rata-rata memang kebanyakan berasal dari wilayah Indonesia Timur. Pemilihan ini didasari karena merujuk pada program pemerintah yang mengedepankan membangun daerah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T).