SRIPOKU.COM, PALEMBANG -- Penerapan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) dengan membuat hujan buatan harus menunggu potensi awan. Namun pelaksanaan TMC dengan penyemaian awan pada puncak musim kemarau tidak mungkin diharapkan menghasilkan hujan yang bernilai ekonomis, karena pada periode tersebut awan penghujan sangat terbatas atau bahkan tidak ada.
Kasi Observasi dari Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, Agus Santosa mengatakan, pantauan awan penghujan di atas Sumsel hingga kemarin bersifat fluktuatif. Hanya beberapa kali muncul ketika langit cerah atau tidak tertutup asap, dan itu terjadi terkadang di siang hari.
"Anginya rawan membawa uap air sehingga kurang menghasilkan awan. Bahkan sedikit sekali. Jadi kemunculan awan memang fluktuatif. Paling tidak berpotensi di siang hari. Sementara TMC baru bisa diterapkan ketika terjadi pembentukkan awan. Kalau tidak ada sama sekali maka tak bisa," ujar Agus saat dibincangi di Posko Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan, Minggu (21/9/2014).
TMC memiliki cara kerja dengan hujan diturunkan lebih dahulu di beberapa wilayah. Dalam sekali pengaplikasiannya, umumnya menghabiskan 3.000 karung garam Perak Iodida seberat 4 ton yang diangkut menggunakan pesawat Hercules C-130 milik TNI AU. Setelah mencapai titik yang dituju, seluruh garam tersebut ditebar. Selain menggunakan pesawat, modifikasi cuaca juga dapat dilakukan dengan menggunakan flare (roket) yang menembakkan garam ke awan.
Pada kondisi tertentu, penerapan TMC dengan partikel higroskopik membuat proses hujan dapat dimulai lebih awal, durasi lebih lama, dan daerah hujan pada awan semakin luas, serta frekuensi hujan di tanah semakin tinggi. Dari sinilah didapatkan tambahan curah hujan. Injeksi partikel ke dalam awan memberikan dua manfaat sekaligus, yang pertama adalah mengefektifkan proses tumbukan dan penggabungan sehingga mempercepat terjadinya proses hujan, dan yang kedua adalah mengembangkan proses hujan ke seluruh daerah di dalam awan.
Beberapa jenis bahan higroskopik dapat digunakan, di antaranya Urea, CaCl2, dan NaCl (Sodium klorida). Bahan yang telah digiling halus, dikemas dalam kantung plastik kedap udara dimuat ke dalam pesawat yang dilengkapi dengan corong pembuangan keluar, dan terbang menuju awan kumulus yang berkembang, dengan ciri penampilan berbentuk bunga kol.
Pesawat pun akan terbang memasuki awan, dan ketika berada di dalamnya, bahan dilepaskan keluar. Kegiatan ini disebut penyemaian (seed) awan. Posisi awan pun harus terletak di atas target yang telah ditentukan. Sehingga dengan proses waktu, hujan turun di atas target. Keberadaan awan diinformasikan oleh pos pengamat, atau dicari selama penerbangan.
"Tim di udara dan di pos pemantauan harus harus kejar-kejaran dengan awan. Supaya jangan sampai awan tidak langsung hilang," tandas Agus.
Dalam laman resmi BPPT menjelaskan, TMC bukanlah hal baru karena penerapan teknologi ini sudah dipakai oleh lebih dari 60 negara di dunia, termasuk Indonesia yang mulai menerapkan sejak 26 Januari-25 Maret 2013. Padahal, teknologi ini telah diperkenalkan dan diuji-coba oleh pemerintahan Presiden Soeharto pada 1977 silam.
Sejarah TMC dunia sendiri bermula pada 1946, ketika Vincent Schaefer dan Irving Langmuir mendapatkan fenomena terbentuknya kristal es dalam lemari pendingin. Schaever secara tidak sengaja melihat hujan yang berasal dari nafasnya waktu membuka lemari es. Lalu pada 1947, Bernard Vonnegut mendapatkan terjadinya deposit es pada kristal perak iodida (Agl) yang bertindak sebagai inti es. Pada suatu hari, Vonnegut tanpa disengaja melihat titik air di udara ketika sebuah pesawat tebang dalam rangka reklame Pepsi Cola dengan membuat tulisan asap nama minuman itu. (mg5)
activate javascript