Pendidikan Profesi Guru

10 Contoh Studi Kasus Permasalahan dalam Sistem Penilaian, Referensi Bapak/Ibu untuk Tugas PPG 2025

Penilaian yang hanya dilakukan di akhir membuat guru kehilangan kesempatan untuk mengetahui perkembangan siswa secara bertahap.

Freepik
CONTOH STUDI KASUS - Ilustrasi belajar. 10 Contoh Studi Kasus Permasalahan dalam Sistem Penilaian, Referensi Bapak/Ibu untuk Tugas PPG 2025 

SRIPOKU.COM - Berikut 10 permasalahan umum dalam pelaksanaan penilaian pembelajaran di kelas, terutama pada pendekatan Kurikulum Merdeka atau Kurikulum 2013 yang menekankan penilaian autentik dan beragam.

Contoh permasalahan dalam sistem penilaian ini bisa menjadi referensi Bapak/Ibu yang sedang mengikuti PPG 2025.

Baca juga: 10 Contoh Studi Kasus PPG 2025 Topik Permasalahan Terkait Strategi Pembelajaran

Permasalahan dalam Sistem Penilaian

1. Penilaian hanya berdasarkan hasil ujian tertulis.

Jika penilaian hanya didasarkan pada ujian tertulis, maka aspek keterampilan dan sikap siswa terabaikan.

Padahal, pembelajaran yang efektif harus menilai tiga aspek: pengetahuan, keterampilan, dan sikap.

Siswa yang pintar secara praktik atau memiliki sikap yang baik bisa tidak terlihat nilainya jika hanya dinilai lewat tes tulis.

2. Guru kesulitan menilai keterampilan dan sikap siswa secara adil.

Menilai aspek keterampilan dan sikap memerlukan pengamatan yang konsisten dan objektif.

Tanpa alat bantu seperti lembar observasi atau rubrik yang jelas, guru bisa menilai secara subjektif, apalagi jika jumlah siswanya banyak.

Ini membuat penilaian terasa tidak adil bagi beberapa siswa.

3. Belum ada rubrik penilaian yang jelas untuk tugas proyek.

Tugas proyek menuntut penilaian yang menyeluruh, bukan hanya hasil akhirnya, tetapi juga prosesnya.

Tanpa rubrik yang jelas, guru kesulitan menentukan standar penilaian dan siswa pun tidak tahu kriteria apa yang dinilai.

Hal ini bisa menimbulkan ketidakpastian dan ketidakpuasan dalam hasil akhir.

4. Siswa tidak mendapat umpan balik setelah dinilai.

Penilaian seharusnya menjadi alat pembelajaran, bukan hanya pemberian angka. Jika siswa tidak tahu kesalahan atau kekurangan mereka, maka mereka tidak akan tahu apa yang harus diperbaiki.

Umpan balik (feedback) sangat penting agar siswa dapat berkembang dari proses belajar, bukan hanya menerima nilai akhir.

5. Penilaian belum mencerminkan proses belajar, hanya hasil akhir.

Seringkali penilaian hanya fokus pada produk akhir, seperti nilai ujian atau tugas akhir, tanpa melihat proses yang dilalui siswa.

Padahal, proses belajar (usaha, partisipasi, peningkatan) juga sangat penting dan patut dihargai dalam pembelajaran yang humanis dan berorientasi pada perkembangan.

6. Siswa tidak memahami nilai yang diperoleh.

Jika nilai hanya diberikan dalam bentuk angka atau huruf tanpa penjelasan, maka siswa tidak memahami arti nilainya.

Misalnya, mengapa ia mendapat 70 dan bukan 90?

Tanpa penjelasan yang jelas, siswa sulit mengevaluasi diri sendiri dan malah merasa rendah diri atau bingung.

7. Guru terlalu sibuk sehingga penilaian tertunda.

Beban administrasi, tugas tambahan, dan banyaknya siswa membuat guru kewalahan sehingga proses penilaian tertunda atau tidak optimal.

Ini bisa membuat siswa tidak tahu perkembangan belajarnya, dan guru kehilangan momentum untuk memberikan perbaikan segera.

8. Penilaian dilakukan hanya sekali di akhir tema.

Penilaian yang hanya dilakukan di akhir membuat guru kehilangan kesempatan untuk mengetahui perkembangan siswa secara bertahap.

Idealnya, penilaian dilakukan secara berkelanjutan (formatif) agar bisa segera memperbaiki proses belajar sebelum terlambat.

9. Hasil penilaian tidak dimanfaatkan untuk memperbaiki pembelajaran.

Seringkali, nilai hanya dikumpulkan sebagai laporan tanpa dianalisis lebih lanjut.

Padahal, hasil penilaian bisa menjadi cermin apakah metode atau materi pembelajaran sudah efektif.

Jika banyak siswa mendapat nilai rendah, maka mungkin perlu ada evaluasi cara mengajar atau tingkat kesulitan soal.

10. Siswa yang lambat sering mendapat nilai rendah.

Siswa yang belajar lebih lambat sering kali dinilai dari standar yang sama dengan siswa cepat tanpa ada diferensiasi atau bantuan.

Ini menyebabkan mereka terus-menerus mendapat nilai buruk, padahal mungkin mereka hanya butuh pendekatan berbeda atau waktu tambahan.

Penilaian seharusnya bersifat adil dan adaptif terhadap kemampuan masing-masing siswa.

Baca berita menarik Sripoku.com lainnya di Google News

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved