Cerita Rakyat Legenda Aji Saka Sang Pencipta Aksara Jawa, Kisah Dibalik Terciptanya Hanacaraka

Ini Cerita rakyat berjudul Aji Saka, Sang Pencipta Aksara Jawa, Kisah Dibalik Terciptanya Hanacaraka yang dapat dijadikan referensi.

Penulis: Siti Umnah | Editor: Siti Umnah
Freepik.com
ILUSTRASI CERITA RAKYAT : Ini Cerita rakyat berjudul Aji Saka, Sang Pencipta Aksara Jawa, Kisah Dibalik Terciptanya Hanacaraka.(Freepik.com) 

Sang raja yang tak sabar untuk segera melahap mangsanya hari itu pun turut merentangkan kain Aji Saka.

Ajaibnya, kain itu seakan tak memiliki ujung.

Kain itu terus memanjang dan memenuhi seluruh istana.

Prabu Dewata Cengkar, yang tak sabar dan terbawa nafsu, terus menarik kain Aji Saka hingga ke luar istana.

Ia tak henti menariknya, berharap segera menemukan ujungnya.

Namun, keserakahannya mengantarkannya pada kehancuran.

Saat ia berjalan mundur tanpa henti, Prabu Dewata Cengkar terjerumus dari tebing ke Laut Selatan di dekat istananya. Raja kejam itu pun menemui ajalnya dan berubah menjadi buaya putih.

Dengan tewasnya Prabu Dewata Cengkar yang kejam, Aji Saka berhasil membebaskan rakyat Medang Kamulan dari penderitaan.

Sebagai balas jasa, rakyat Medang Kamulan pun mengangkat Aji Saka sebagai raja mereka.

Di bawah kepemimpinannya yang bijaksana, Aji Saka membawa kemakmuran dan kebahagiaan bagi rakyatnya.

Pertarungan dan Akhir Hidup Dua Sahabat Raja

Namun, di balik semua itu, Aji Saka masih memiliki satu urusan yang belum ia selesaikan.

Ia teringat sahabatnya, Dora. Aji Saka lantas mengutus Sembada untuk mengambil keris pusaka yang dititipkannya kepada Dora.

Sembada pun berlayar menuju Pulau Majeti.

Setibanya di sana, ia langsung mencari dan menemui sahabat lamanya yang dirindukannya.

Setelah bertemu dengan Dora, ia menceritakan kisahnya dengan Aji Saka di Medang Kamulan.

Tentu saja Dora ikut merasa bahagia.

Sembada kemudian menyampaikan amanat Aji Saka untuk mengambil keris pusaka yang dititipkannya kepada Dora.

Namun, Dora tidak langsung mempercayai perkataan sahabatnya itu.

Seraya memohon maaf, Dora menolak untuk menyerahkan keris Aji Saka.

Ia sudah berjanji kepada Aji Saka untuk tidak memberikan keris tersebut kepada siapa pun.

Dora masih memercayai perkataan Aji Saka kala itu, bahwa ia sendirilah yang akan datang untuk mengambilnya.

Sembada terus meyakinkan Dora bahwa permintaan ini datang langsung dari Aji Saka, yang kini telah menduduki takhta Kerajaan Medang Kamulan.

Namun, Dora tetap teguh pada amanat yang diberikan Aji Saka.

Ia berkukuh tidak akan menyerahkan keris itu, bahkan kepada Sembada, sahabat sekaligus orang kepercayaan Aji Saka.

Perdebatan sengit antara Dora dan Sembada berujung pada perkelahian yang sengit.

Mereka bertarung karena sama-sama terikat janji kepada Aji Saka.

Kesetiaan mereka yang mutlak kepada perintah Aji Saka, mengantarkan mereka pada kematian dalam pertempuran tersebut.

Di negeri seberang, Medang Kamulan, Aji Saka mendengar kabar duka ini.

Ia dirundung kesedihan dan penyesalan yang mendalam.

Untuk mengenang kesetiaan kedua sahabatnya, Aji Saka kemudian menciptakan sebuah karya sajak. Berikut adalah isi sajak tersebut:

Ha Na Ca Ra Ka (Ada utusan)

Da Ta Sa Wa La (Saling berselisih pendapat)

Pa Dha Ja Ya Nya (Sama-sama sakti)

Ma Ga Ba Tha Nga (Sama-sama menjadi mayat)

Aksara Jawa, yang diciptakan oleh Aji Saka, terdiri dari serangkaian huruf yang sarat makna.

Deretan aksara ini, yang menjadi persembahan dan penghormatan Aji Saka kepada Dora dan Sembada, kemudian dikenal sebagai aksara Jawa.

Sistem aksara ini dimaksudkan untuk mencatat sejarah dan pengetahuan agar dapat diwariskan kepada generasi penerus.

Selain itu, aksara ini juga mencerminkan nilai-nilai kesetiaan, keberanian, dan pengabdian yang dicontohkan oleh Dora dan Sembada.

Dengan adanya aksara Jawa, sejarah dan kebudayaan Jawa dapat didokumentasikan dan dilestarikan.

Sistem tulisan ini menjadi bagian penting dari warisan budaya Jawa yang masih bertahan hingga saat ini.

Aksara ini tak hanya digunakan untuk menulis bahasa Jawa, tetapi juga bahasa-bahasa lain di Nusantara.

Kisah tentang Aji Saka tercantum dalam dokumen tertua, sebuah serat bernama Serat Manik Moyo yang dikarang oleh Karta Mursadah.

Diterbitkan ulang pada tahun 1852, serat ini memuat cerita tertua terkait Aji Saka dan Hanacaraka.

 


Dapatkan konten pendidikan mata pelajaran lainnya dari Kurikulum Merdeka dan Kurikulum 2013 dengan klik Di Sini.

Dapatkan juga berita penting dan informasi menarik lainnya dengan mengklik Google News.

Sumber: Sriwijaya Post
Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved