Berita Palembang

Respon Partai Islam di Sumsel Terkait Putusan MK Hapus Presiden Threshold

Adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI, yang menghapus ambang batas atau presidential threshold (PT)

Penulis: Arief Basuki | Editor: Yandi Triansyah
Handout
Sekretaris Dewan Pengurus Wilayah Partai Kebangkitan Bangsa (DPW PKB) Sumsel Nasrul Halim SH 

SRIPOKU.COM, PALEMBANG -- Adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI, yang menghapus ambang batas atau presidential threshold (PT) dalam persyaratan pengajuan pencalonan pemilihan presiden dan wakil presiden, menjadi angin segar bagi partai politik (parpol).

Sejumlah partai di Sumatera Selatan (Sumsel) sendiri menilai, putusan MK itu sebagai kado terindah di tahun 2025, sehingga partai yang ada berkesempatan untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden ke depan. 

Seperti diungkapkan Sekretaris Dewan Pengurus Wilayah Partai Kebangkitan Bangsa (DPW PKB) Sumsel Nasrul Halim SH, jika PKB menunggu perkembangan dan belum menentukan sikap setuju atau tidak setuju terhadap putusan MK tentang ambang batas pencalonan presiden.

"Putusan MK tersebut sebagai kado tahun baru," kata Nasrul, Sabtu (4/1/2025).

Menurut anggota komisi I DPRD Provinsi Sumsel ini, putusan MK itu pastinya akan menuai berbagai pandangan, baik polemik maupun kontroversi. 

Meski demikian, ia mengatakan pemerintah dan DPR RI perlu menyusun kembali norma dalam revisi UU Pemilu sebagai respons terhadap putusan MK.

“Kita serahkan ke pusat, untuk menyusun langkah sekaligus menunggu perkembangan dinamika dari lembaga pembentuk UU pasca-MK mengeluarkan putusan tersebut,” tandas Alung sapaan akrab Nasrul Halim

Ditempat terpisah, DPW Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sumsel menyatakan putusan MK itu sesuai dengan semangat PKS, untuk memberikan kesempatan semua parpol untuk mengusung kader terbaiknya di Pilpres. 

"Kami mengapresiasi  terkait putusan MK tersebut, dan tentunya semangatnya sama dengan semangat PKS. Artinya semua parpol memiliki kesempatan untuk mengusung capresnya nanti," ujar Kabid Humas DPW PKS Sumsel Mgs Syaiful Fadli. 

Ditambahkan Syaiful yang saat ini duduk di DPRD Kota Palembang, putusan MK RI ini perlu ditindaklanjuti pemerintah dan DPR RI, untuk membentuk undang-undang baru sebagai tindaklanjut putusan MK. 

"Ini menjadi sesuatu yang cerah untuk proses demokrasi di Indonesia kedepan, dan berharap dengan putusan MK RI ini, pemerintah mengeksekusinya untuk menjalankan putusan ini dan melaksanakannya, " tandas mantan anggota DPRD Sumsel dua periode ini. 

Hal senada diungkapkan DPW Partai Bulan Bintang (PBB) Sumsel, jika adanya putusan MK RI itu, bisa memberikan ruang Demokrasi bagi putra- putri terbaik bangsa Indonesia untuk berkompetisi di Pemilu Presiden. 

"Alhamdulillah, semoga keputusan ini menjadikan demokrasi Indonesia bisa lebih baik kedepan, dengan diberikan kesempatan yang sebesar besarnya bagi warganegara Indonesia, untuk dapat berkompetisi di pemilu presiden melalui partai partai yang ada di negara republik Indonesia, " pungkas Sekretaris DPW PBB Sumsel Chandra Darmawan.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ambang batas atau presidential threshold (PT) dalam persyaratan pengajuan pencalonan pemilihan presiden dan wakil presiden.

Dalam aturan sebelumnya, hanya parpol pemilik kursi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pemilu legislatif sebelumnya yang bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden.

Putusan ini merupakan permohonan dari perkara 62/PUU-XXII/2024, yang diajukan Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. 

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).

MK menyatakan pengusulan paslon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

“Menyatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Suhartoyo.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan frasa ‘perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya’ dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah nasional atau persentase jumlah kursi DPR di pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Selain itu MK menilai penentuan besaran ambang batas itu tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.

Satu hal yang dapat dipahami Mahkamah, penentuan besaran atau persentase itu lebih menguntungkan parpol besar atau setidaknya memberi keuntungan bagi parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR.

MK menyatakan penentuan ambang batas pencalonan pilpres itu punya kecenderungan memiliki benturan kepentingan.

Mahkamah juga menilai pembatasan itu bisa menghilangkan hak politik dan kedaulatan rakyat karena dibatasi dengan tidak tersedianya cukup banyak alternatif pilihan paslon.

Selain itu setelah mempelajari seksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, MK membaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 paslon.

Padahal pengalaman sejak penyelenggaraan pemilu secara langsung, dengan hanya 2 paslon masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang jika tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia.

Bahkan jika pengaturan tersebut dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal.

Kecenderungan calon tunggal juga telah dilihat MK dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bertendensi ke arah munculnya calon tunggal atau kotak kosong. 

Artinya mempertahankan ambang batas presiden, berpotensi menghalangi pelaksanaan pilpres secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan paslon.

Jika itu terjadi makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.

Berkenaan dengan itu MK juga mengusulkan kepada pembentuk undang-undang dalam revisi UU Pemilu dapat merekayasa konstitusional. Meliputi:

Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden.

Pengusulan paslon oleh parpol atau gabungan parpol tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.

Dalam mengusulan paslon presiden dan wakil presiden, parpol peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan parpol tersebut tidak menyebabkan dominasi parpol atau gabungan parpol sehingga menyebabkan terbatasnya paslon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.

Parpol peserta pemilu yang tidak mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya

Terakhir, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU 7/2017 melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian terhadap penyelenggara pemilu, termasuk parpol yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna.

“Telah ternyata ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 tidak sejalan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil,” kata Saldi.

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved