Breaking News

Ramadan 2023

Hukum Mengerjakan Sholat Tarawih Terlalu Cepat, Ajaran Rasulullah Tentang Sholat yang Diterima Allah

engerjaan Sholat Tarawih juga berbeda-beda di setiap tempat, termasuk pula cepat atau lambatnya dipengaruhi gerakan sholat atau pembacaan ayat.

Penulis: Tria Agustina | Editor: pairat
Freepik.com
Berikut ini hukum mengerjakan Sholat Tarawih terlalu cepat selengkapnya. 

SRIPOKU.COM - Berikut ini hukum mengerjakan Sholat Tarawih terlalu cepat disampaikan Ustaz Abdul Somad.

Sholat Tarawih menjadi salah satu ibadah yang dianjurkan selama bulan Ramadan.

Salah satu ciri khas dari bulan Ramadan ialah mengerjakan Sholat Tarawih dan diakhiri dengan sholat witir.

Selain berpuasa, Sholat Tarawih termasuk amalan dengan pahala yang juga menakjubkan.

Ada beberapa jumlah rakaat dalam pengerjaan Sholat Tarawih, umumnya dikerjakan berjumlah 11 rakaat yakni 8 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir.

Selain itu, pengerjaan Sholat Tarawih juga berbeda-beda di setiap tempat, ada yang diselingi dengan khutbah setelah tarawih ada yang langsung witir.

Bahkan ada pula dalam pelaksanannya, Sholat Tarawih dilakukan dengan cepat, lantas apa hukumnya?

Berikut penjelasan lengkap yang dijabarkan oleh Ustaz Abdul Somad melalui buku berjudul 30 Fatwa Seputar Ramadhan.

Baca juga: Arti Tarawih yang Sebenarnya Jangan Ngebut-ngebut, Beginilah Penjelasan Lengkap Ustaz Abdul Somad

Melaksanakan Sholat Tarawih Terlalu Cepat

Berdasarkan Fatwa Syekh DR. Yusuf al-Qaradhawi, berikut ini hukum melaksanakan sholat tarawih terlalu cepat.

Pertanyaan:

Apa hukum melaksanakan shalat Tarawih terlalu cepat?

Jawaban:

Dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim dinyatakan dari Rasulullah Saw bahwa beliau bersabda:

“Siapa yang melaksanakan Qiyamullail di bulan Ramadhan karena keimanan dan hanya mengharapkan
balasan dari Allah SWT, maka diampuni dosanya yang telah lalu”.

Allah SWT mensyariatkan puasa di siang hari bulan Ramadhan dan lewat lidah nabi-Nya Ia syariatkan Qiyamullail di malam bulan Ramadhan.

Qiyamullail ini dijadikan sebagai penyebab kesucian dari dosa dan kesalahan.

Akan tetapi Qiyamullail yang dapat mengampuni dosa dan membersihkan dari noda adalah yang dilaksanakan seorang muslim dengan sempurna syarat-syarat, rukun-rukum, adab dan batasannya.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa thuma’ninah adalah salah satu rukun dari rukun shalat, sama seperti membaca al-Fatihah, ruku’ dan sujud.

Ketika seseorang melaksanakan shalat dengan cara yang tidak baik di hadapan Rasulullah Saw, tidak melakukan thuma’ninah, Rasulullah Saw berkata kepadanya, “Kembalilah, shalatlah kembali, karena sesungguhnya engkau belum shalat”.

Kemudian Rasulullah Saw mengajarkan bagaimana shalat yang diterima Allah Swt seraya berkata:

“Ruku’lah hingga engkau thuma’ninah dalam ruku’, kemudian bangkitlah hingga engkau i’tidal berdiri.

Kemudian sujudlah hingga engkau thuma’ninah dalam sujud. Kemudian bangkitlah hingga thuma’ninah
dalam keadaan duduk. Kemudian lakukanlah itu dalam semua shalatmu”. (HR. Al-Bukhari, Muslim dan para penyusun kitab as-Sunan, dari hadits Abu Hurairah ra).

Thuma’ninah dalam semua rukun adalah syarat yang mesti ada.

Batasan thuma’ninah yang disyaratkan, para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.

Sebagian ulama menetapkan kadar thuma’ninah minimal satu kali Tasbih, misalnya seperti mengucapkan kalimat:

“Maha Suci Tuhanku yang Maha Tinggi”.

Sebagian ulama seperti Imam Ibnu Taimiah mensyaratkan kadar Thuma’ninah dalam ruku’ dan sujud
kira-kira tiga kali Tasbih.

Dalam hadits disebutkan bahwa membaca Tasbih tiga kali dan itu adalah batas minimal, oleh sebab itu mesti ada thuma’ninah kira-kira tiga kali Tasbih. Allah Swt berfirman:

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam
sembahyangnya”. (Qs. Al-Mu’minun [23]: 1 – 2).

Khusyu’ ada dua jenis:

Khusyu’ tubuh dan khusyu’ hati.

Khusyu’ tubuh adalah tenangnya tubuh dan tidak melakukan perbuatan sia-sia, tidak menoleh seperti
menolehnya srigala.

Tidak ruku’ dan sujud seperti patokan ayam.

Akan tetapi melaksanakan shalat dengan rukun-rukun dan batasan-batasan sebagaimana yang disyariatkan Allah Swt. Oleh sebab itu mesti ada khusyu’ tubuh dan khusyu’ hati.

Makna khusyu’ hati adalah menghadirkan keagungan Allah Swt, yaitu dengan merenungkan makna ayat-ayat yang dibaca, mengingat akhirat, mengingat sedang berada di hadapan Allah Swt.

Allah Swt berfirman dalam sebuah hadits Qudsi, “Aku membagi shalat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua
bagian. Ketika seorang hamba mengucapkan:

“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”. (Qs. Al-Fatihah [1]: 2). Allah Swt menjawab:

“Hamba-Ku memuji-Ku”. 

Ketika hamba itu mengucapkan:

“Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. (Qs. Al-Fatihah [2]: 3). Allah Swt menjawab:

“Hamba-Ku memuji-Ku”.

Ketika hamba itu mengucapkan:

“Yang menguasai di hari Pembalasan”. (Qs. Al-Fatihah [1]: 4). Allah Swt menjawab:

“Hamba-Ku memuliakan-Ku”.

Ketika hamba itu mengucapkan:

“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan”. (Qs. Al-Fatihah [1]: 5). Allah Swt menjawab:

“Ini antara Aku dan hamba-Ku. Hamba-Ku mendapatkan apa yang ia mohonkan”.

Ketika hamba itu mengucapkan:

“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. 

Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”. (Qs. Al-Fatihah [1]: 6 – 7).

Allah Swt menjawab:

“Ini untuk hamba-Ku dan hamba-Ku mendapatkan apa yang ia mohonkan”. (HR. Muslim).

Allah Swt tidak terasing dari orang yang sedang melaksanakan shalat, Allah Swt memperkenankan permohonannya, oleh sebab itu mesti ada interaksi antara orang yang shalat dengan Allah Swt, menghadirkan hati dalam setiap gerakan shalat, dalam setiap waktu shalat dan dalam setiap rukun shalat.

Baca juga: Inilah Jumlah Rakaat Sholat Tarawih yang Dikerjakan Rasulullah, Begini Penjelasan Ustaz Abdul Somad

Orang-orang yang shalat dan hanya memikirkan ingin segera selesai melaksanakan shalat dan melemparkan shalat seakan-akan shalat itu beban berat di pundak mereka, bukanlah itu shalat yang diharapkan.

Banyak orang yang melaksanakan shalat pada bulan Ramadhan sebanyak dua puluh rakaat dan dua puluh tiga rakaat dalam hitungan beberapa menit saja.

Yang mereka inginkan hanyalah cepat menyelesaikan shalat dalam waktu sesingkat mungkin.

Tidak sempurna ruku’, sujud dan khusyu’nya. Ini sama seperti yang disebutkan dalam hadits:

“Shalat itu naik ke langit dalam keadaan hitam pekat. Ia berkata kepada pemiliknya, “Engkau disia-siakan
Allah Swt sebagaimana engkau telah menyia-nyiakanku”.

Shalat yang khusyu’ dan tenang akan naik ke langit dalam keadaan putih bercahaya, ia akan berkata kepada pemiliknya, “Semoga Allah SWT menjagamu sebagaimana engkau telah menjagaku”.

Nasihat saya kepada para imam dan mereka yang melaksanakan shalat dengan jumlah rakaat yang banyak akan tetapi tidak dengan cara yang benar, tidak khusyu’, tidak menghadirkan hati dan tidak dengan ketenangan tubuh, sebaiknya mereka melaksanakan delapan rakaat dengan tenang dan khusyu’, itu lebih baik daripada dua puluh rakaat.

Yang dilihat bukanlah kuantitas dan banyaknya.

Akan tetapi yang dilihat adalah cara dan sifatnya.

Yang dinilai adalah shalat itu sendiri, apakah shalat yang dilaksanakan oleh orang-orang yang khusyu’ atau shalat orang yang tergesa-gesa.

Kita memohon kepada Allah Swt semoga menjadikan kita tergolong orang-orang beriman yang khusyuk.

Cek Berita dan Artikel Sripoku.com lainnya di Google News

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved